Rabu, 27 Mei 2015

Kepemimpinan dan Komunikasi

KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI???

Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys, hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang bermanfaat dapat menjadi AMAL JARIAH yang tidak terputus amal pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Hubungan Komunikasi dan Kepemimpinan. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka pada Kamis, 16 April 2015.

KLIK YA, mari kita ramaikan khasanah KARYA TULIS Indonesia...
Semoga dapat membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^




PAPER II
MATA KULIAH KEPEMIMPINAN

KOMUNIKASI DAN KEPEMIMPINAN




Oleh :
YOGI SUDIRMAN



PROGRAM    STUDI    MANAJEMEN    SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
JAKARTA 2015



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
“Effective leadership means effective communication” kata Henry Clay Lindgren dalam bukunya “Effective Leadership in Human Communication” dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA yang berjudul Kepemimpinan dan Komunikasi (1977).
Banyak pemimpin yang gagal dalam kepemimpinannya tidak menyadari, bahwa kegagalannya itu disebabkan mereka tidak bisa berkomunikasi.
Di negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, ilmu komunikasi (publisistik) semakin dikembangkan disertai penelitian yang mendalam dalam segala aspeknya, mengingat pentingnya ilmu tersebut, bukan saja untuk masyarakat Amerika sendiri, tetapi untuk hubungan antar bangsa dan antar kebudayaan.
Alhamdulillah, ditanah-air pun dewasa ini semakin tampak kesadaran para pemimpin dan masyarakat pada umumnya akan pentingnya komunikasi. Memang, bagaimanapun bagusnya sebuah rencana yang dibuat oleh seorang pemimpin, kalau tidak dilaksanakan, tidak akan menghasilkan apa-apa. Para pelaksana perlu diberi pengertian dan digerakkan. Dan ini semua adalah komunikasi. Berhasil tidaknya pelaksanaan itu banyak tergantung dari komunikasi yang dilakukan para pemimpin, baik pemimpin ditingkat atas, tingkat tengah, maupun tingkat bawah.
Dengan demikian sangat penting komunikasi dalam kepemimpinan, maka ditulislah makalah ini untuk menjelaskan tentang kepemimpinan dan komunikasi, agar dapat membantu memahami definisi dan hubungan dari masing-masingnya. Bahwa penulisan makalah ini belum sempurna, kami menyadarinya. Karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari siapapun. Semoga penulisan ini menjadi sumbangan yang berharga bagi pembaca secara umum dan kami sebagai penyusun khususnya. 


BAB II
KEPEMIMPINAN

2.1.  Arti Kepemimpinan
Istilah “kepemimpinan” sebagai terjemahan dari “leadership” seringkali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari; terdengar dalam percakapan, dalam pertemuan, dari televisi, radio, atau bacaan dalam surat kabar, buku dan sebagainya.
Apa arti kepemimpinan itu sebenarnya?
Dalam pengertian umum, kepemimpinan menunjukkan proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkahlaku orang lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui suatu karya, seperti buku, tulisan, dsb., atau melalui kontak pribadi antara seseorang dengan orang lain secara tatap-muka (face-to-face). Kepemimpinan melalui karangan atau ciptaan yang dituangkan dalam bentuk buku atau lukisan dapat dikatakan kepemimpinan yang tidak langsung, karena sang pemimpin dalam usaha mempengaruhinya tidak seketika pada saat ia bergiat. Pemimpin-pemimpin jenis ini adalah para ilmuwan, seniman, atau sastrawan yang hasil karyanya atau ide-idenya dapat mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan yang bersifat tatap-muka berlangsung melalui kata-kata secara lisan. Kepemimpinan jenis ini bersifat langsung, karena sang pemimpin dalam usahanya mempengaruhi orang lain, bergiat langsung kepada sasarannya. Oleh karena berhadapan muka, ia mengetahui seketika hasil kegiatannya itu. Berkenaan dengan berkembangnya teknologi seperti radio, televisi dan handphone, kegiatan kepemimpinan melalui kata-kata lisan ini dapat lebih efektif dengan memperoleh sasaran yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada kalau berhadapan muka. Jika Socrates dahulu melakukan kegiatan kepemimpinannya dengan komunikasi antar pribadi (interpersonal communication), kemudian Demosthenes dengan komunikasi kelompok (group communication), maka sekarang ini para pemimpin bergiat dengan komunikasi massa (mass communication).
Dari sejarah dapat diperoleh pengetahuan bagaimana Hitler, Musolini, Roosevelt, dan pemimpin-pemimpin dunia lainnya sukses dalam usaha mempengaruhi rakyatnya melalui siaran radio. Di Indonesia mungkin masih diingat bagaimana Bung Tomo pada waktu berrevolusi mengusir Belanda, sukses dalam usahanya membangkitkan elan perjuangan pemuda-pemuda melalui Radio Pemberontak-nya.
Faktor penting dalam kepemimpinan, yakni dalam mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkah-laku orang lain itu, ialah tujuan. Tujuan ini adalah tujuan pihak si pemimpin. Kepemimpinan adalah kegiatan si pemimpin untuk mengarahkan tingkah-laku orang lain ke suatu tujuan tertentu. Jadi tindakan seorang pengemudi bis yang karena jam-tangannya pecah menyebabkan puluhan pegawai yang dibawanya terlambat datang dikantornya, tidak bisa dikatakan kepemimpinan, meskipun apa yang ia lakukan mempengaruhi tingkah-laku orang lain. Si pengemudi bis tidak bermaksud mengontrol tingkah-laku para penumpangnya; juga apa yang terjadi tidak terarahkan kepada tujuan tertentu. Andaikata ia dengan sengaja memecahkan jam-tangannya dan merusak jadwal perjalanannya dengan tujuan agar para penumpangnya marah kepada pemilik perusahaan bis, ini baru bisa dikatakan kepemimpinan.
Tetapi itu tidak berarti, bahwa kepemimpinan selalu merupakan kegiatan yang direncanakan dan dilakukan dengan sengaja. Seringkali kepemimpinan berlangsung juga secara spontan. Meskipun demikian, direncakan atau tidak direncanakan, maksud dan tujuan selalu ada. (Onong Uchjana Effendy)

2.2.  Fungsi Kepemimpinan
Fungsi seorang pemimpin beserta teknik kepemimpinannya berbeda menurut situasi dimana sang pemimpin melakukan kegiatannya. Kelompok-kelompok yang satu sama lain berbeda macamnya, berbeda dasarnya, berbeda sifat pemilihannya, serta berbeda fungsi dan tujuannya, menghendaki cara kepemimpinan yang berbeda pula. Sifat sang pemimpin beserta proses kepemimpinannya dalam suatu rapat dewan, dalam suatu bencana kebakaran, atau dalam suatu konperensi politik, jelas sekali berbeda satu sama lain. Jenis kepemimpinan dan jenis kepribadian dari orang yang dipilih nyata-nyata berbeda antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya, dan antara periode yang satu dengan periode lainnya. Dalam kepemimpinan tidak ada asas-asas yang universal; yang tampak ialah, bahwa proses-proses kepemimpinan dan pola-pola hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin mempunyai ciri-ciri khas dalam setiap jenis kelompoknya.
Fungsi utama kepemimpinan terletak dalam jenis khusus dari perwakilan kelompoknya (group representation). Seorang pemimpin harus mewakili kelompoknya melalui saluran-saluran yang khusus direncanakan dan dibuat oleh kelompoknya sendiri. Mewakili kepentingan kelompoknya mengandung arti, bahwa si pemimpin mewakili fungsi administrasi secara eksekutif. Ini meliputi koordinasi dan integrasi berbagai aktivitas, kristalisasi kebijaksanaan kelompok, dan penilaian terhadap macam-macam peristiwa yang beru terjadi, yang membawakan fungsi kelompok. Lain daripada itu seorang pemimpin juga merupakan perantara dari orang-orang dalam kelompoknya dengan orang-orang diluar kelompoknya. (Onong Uchjana Effendy)

2.3.  Jenis Kepemimpinan
Berikut ini beberapa jenis kepemimpinan dalam perspektif komunikasi menurut Onong Uchjana Effendy:
a.      Pemimpin sebagai Eksekutif
Pemimpin eksekutif (executive leader) seringkali disebut pula administrator. Fungsinya adalah “menterjemahkan” kebijaksanaan yang bersifat lisan menjadi suatu kegiatan. Dia memimpin dan mengawasi tingkah-laku orang-orang yang menjadi bahwahannya. Dia membuat keputusan-keputusan dan memerintahkannya untuk dilaksanakan.
Kepemimpinan eksekutif atau kepemimpinan administratif tersebut merupakan kepemimpinan yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat, karena memang merupakan kebutuhan berbagai bidang dalam masyarakat. Kepemimpinan dalam ketentaraan dapat dikatakan sebagai jenis kepemimpinan eksekutif. Demikian pula kepemimpinan dalam cabang-cabang yang bersifat administratif dalam suatu pemerintahan, mulai dari pusat sampai kedaerah-daerah, memerlukan fungsi eksekutif tersebut.
b.      Pemimpin sebagai Hakim
Pemimpin sebagai hakim atau penimbang atau pelerai sudah dikenal sejak dahulu kala. Dari berbagai sumber dapat diketahui cerita-cerita atau kisah-kisah dimana seorang pemimpin bertindak sebagai hakim atau penengah, yang setiap keputusannya dilaksanakan dengan taat.
Dalam masyarakat modern tanggung-jawab keadilan terletak ditangan para pemimpin dengan keahliannya yang khusus dan ditunjuk secara khusus. Ini dikenal sebagai pengadilan. Dalam bidang lainnya, umpamanya dalam bidang olahraga, terdapat korps wasit yang mempunyai fungsi sebagai hakim.
Pemimpin sebagai hakim adalah seorang otokrat, karena setiap keputusannya adalah bersifat mutlak.
c.      Pemimpin sebagai Penganjur
Pemimpin sebagai penganjur, sebagai propagandis, sebagai juru-bicara, atau sebagai “pengarah opini publik (mobilizer of opinion) merupakan orang-orang penting dalam masyarakat. Mereka ini bergerak dalam bidang komunikasi atau publisistik yang perlu menguasai ilmu komunikasi.
Penganjur adalah sejenis pemimpin yang memberi inspirasi kepada orang lain. Seringkali ia merupakan orang yang pandai bergaul dan fasih berbicara. Acapkali ia adalah pioner dalam bidang sosial dan berjuang untuk perubahan-perubahan. Jika ia dalam kedudukannya sebagai penganjur itu berada jauh di depan kelompoknya, dia bisa menjadi lambang penjelmaan ide-ide yang dibawakannya. Pemimpin seperti itu ialah umpamanya: Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, Gajah Mada, Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, Martin Luther, dan lain-lain.
Akan tetapi pemimpin-penganjur atau advocate-leader itu tidak hanya dijumpai dalam kehidupan nasional. Seorang anggota DPRD yang menampilkan ide untuk mengatasi masalah kesulitan perumahan bagi pegawai negeri, juga dapat dikatakan pemimpin-penganjur; atau seorang kiai yang menyerukan kepada khalayak untuk hidup damai dengan tetangga.
d.      Pemimpin sebagai Ahli
Pemimpin sebagai ahli, umpamanya seorang instruktur atau seorang juru-penerang, berada dalam posisi yang khusus dalam hubungannya dengan unit sosial dimana ia bekerja. Dia lebih terpelajar daripada orang-orang lainnya. Kepemimpinannya hanya berdasarkan fakta, dan hanya pada bidang dimana terdapat fakta. Termasuk dalam kategori ini ialah, guru, petugas sosial, dosen, dokter, ahli hukum, dan yang lainnya lagi, yang mencapai dan memelihara pengaruhnya karena mereka mempunyai pengetahuan untuk diberikan kepada orang lain. Hal yang membuat seseorang menjadi instructor leader ialah kenyataan, bahwa ia lebih banyak memiliki pengetahuan berbanding dengan anggota-anggota kelompok lainnya dan bahwa fungsinya yang penting ialah memberikan penerangan kepada kelompoknya. Alasan utama bagi eksistensinya ialah, bahwa “ia tahu dan orang lain tidak tahu.” dan ia mempunyai wewenang.
e.      Pemimpin sebagai Pemimpin-Diskusi
Pemimpin jenis ini dijumpai dalam lingkungan kepemimpinan demokratis dimana komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Seseorang yang secara lengkap memenuhi kriteria kepemimpinan demokratis ialah orang yang menerima peranannya sebagai pemimpin diskusi. Jika seorang pejabat melaksanakan metode demokratis, dia bukan lagi seorang eksekutif, melainkan seorang pemimpin diskusi (discussion leader). Bila seorang guru melaksanakan metode-metode demokratis, dia bukan lagi seorang pemimpin diskusi. Diskusi yang bebas adalah satu-satunya proses dimana kelompok secara keseluruhan ikut berperan dan dimana semua anggota kelompok sama-sama diwakili dalam membuat suatu keputusan. Adalah melalui diskusi, bahwa seorang pemimpin dapat menampilkan bakat-bakat kreatif dari anggota-anggota kelompok, membantu mereka memecahkan persoalan, dan mencapai keputusan yang mereka buat.



BAB III
KOMUNIKASI DALAM KEPEMIMPINAN

3.1.  Pengertian Komunikasi
“Effective leadership means effective communication”, kata Henry Clay Lindgren dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA.
Bab sebelumnya telah dikemukakan, bahwa kepemimpinan ialah proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkah-laku orang lain dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Antara sang pemimpin dan si pengikut terdapat suatu kesangkut-pautan (relationship) dan kesangkut-pautan ini bersifat komunikatif. Seorang pemimpin – apakah ia pemimpin sebagai eksekutif, sebagai hakim atau penengah, sebagai penganjur, sebagai ahli, ataupun sebagai pemimpin diskusi – pasti terlibat dalam kegiatan komunikasi. Terlebih kalau ia bergiat dalam kepemimpinan demokratis, ia akan banyak melakukan komunikasi.
Hakekat kepemimpinan ialah apa yang si pemimpin komunikasikan dan bagaimana ia mengkomunikasikannya. Karena itulah, maka Lindgren mengatakan, bahwa kepemimpinan yang efektif berarti komunikasi yang efektif. Ini berarti pula, bahwa seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus belajar untuk bisa berkomunikasi dengan efektif. Dan seseorang yang kini sedang berada dalam tampuk kepemimpinan dan ingin meningkatkan efektivitasnya harus meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi.
Apa sebenarnya komunikasi itu?
Komunikasi sudah lama menjadi objek penelitian para ahli disebabkan pentingnya hal itu, baik bagi kepentingan masyarakat sendiri, maupun untuk hubungan antar bangsa. Charles Cooley, umpamanya, pada tahun 1909 menampilkan definisi komunikasi yang hingga kini masih sering disebut-sebut dan acapkali masih dikutip oleh para ahli komunikasi. Cooley dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA mendefinisikan komunikasi adalah:
Mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan antar manusia dan yang memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan alat-alat untuk menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Ini mencakup wajah, sikap dan gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, kereta-api, telegrap, telephon, dan apa saja yang merupakan penemuan mutakhir untuk menguasai ruang dan waktu.
Jika dibandingkan dengan definisi-definisi lainnya, definisi Cooley ini merupakan definisi yang paling lengkap dan paling menarik di antara sekian banyak definisi. Definisi tersebut meliputi beberapa unsur. Pertama, ide dari komunikasi sebagai dasar yang hakiki bagi hubungan manusia. Kedua, komunikasi sebagai proses yang menyebabkan hubungan tersebut menjadi suatu kegiatan. Akhirnya, dia melihat dalam mekanisme tersebut simbolisasi (kata-kata, gambar, dsb.) dan alat-alat bagi pengoperan objek-objek dari hubungan tersebut (informasi, ide, pengalaman, dan sebagainya).
Komunikasi membawa hubungan manusia dari hakekat ke eksistensi, dari non-temporal ke sejarah. Tanpa komunikasi hubungan manusia adalah bagaikan image yang mencari bentuk. Bagi hubungan manusia, komunikasi adalah seperti plot dalam drama yang menjadi action, atau perkembangan menjadi dinamika. Jadi komunikasi dan hubungan manusia tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, karena kepemimpinan adalah hubungan manusia, maka komunikasi dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan. Komunikasi dan kepemimpinan merupakan suatu kesatuan.
Komunikasi dari tahun ke tahun tetap menjadi objek penelitian yang intensif. Setiap penelitian pada umumnya melakukan kegiatannya berdasarkan rumus Lasswell yang terkenal. Harold D. Laswell dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA menyatakan, bahwa cara yang tepat untuk menerangkan komunikasi ialah menjawab pertanyaan-pertanyaan:
-     Siapa (Who)
-     Mengatakan apa (Says what)
-     Melalui saluran apa (In which channel)
-     Kepada siapa (To whom)
-     Dengan efek yang bagaimana (With what effect).
Studi ilmiah mengenai komunikasi cenderung untuk konsentrasi pada satu atau beberapa pertanyaan tersebut di atas. Para cedekiawan yang mempelajari unsur “siapa”, yakni komunikator meneropong faktor yang memprakarsai dan membimbing kegiatan komunikasi. Sub-bagian dari bidang penelitian ini dinamakan analisa pengawasan (control analysis). Para peneliti yang memfokuskan diri pada “mengatakan apa” bercecimpung dalam analisa isi (content analysis). Mereka yang terutama menaruh perhatian kepada pers, radio, televisi, film, dan saluran-saluran komunikasi lainnya melakukan analisa media (media analysis). Apabila sangkut-paut yang utama adalah orang-orang yang dicapai oleh media, maka ini sedang berbicara mengenai analisa sasaran komunikasi (audience analysis). Jika pertanyaannya adalah efek atau pengaruh kepada sasaran komunikasi, masalahnya adalah analisa efek (effect analysis).

3.2.  Proses Komunikasi
Berdasarkan definisi Cooley dan rumus Lasswell dapat diambil kesimpulan, bahwa komunikasi adalah suatu proses operan lambang-lambang yang mengandung pengertian tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Dan proses komunikasi tersebut meliputi unsur-unsur:
-     Komunikator, yakni orang yang menyampaikan atau mengatakan atau menyiarkan pesan (message).
-     Pesan (message), yaitu ide, informasi, opini, dsb.
-     Saluran (channel, media), ialah alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan.
-     Komunikan (communicant, audience), yaitu orang yang menerima pesan.
-     Efek (effect), yakni efek atau pengaruh kegiatan komunikasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.
Bagi seorang pemimpin, unsur terakhir dari proses komunikasi tersebut di atas, yakni “efek”, harus merupakan faktor yang selalu mendapat perhatian. Ia senantiasa harus bertanya apakah ada efeknya dan sejauh mana efek dari kegiatan komunikasinya itu. Sukses tidaknya komunikasinya tergantung dari efek dari kegiatan komunikasinya. Sudah tentu ini tergantung pula dari apa yang ia komunikasikan dan bagaimana ia mengkomunikasikannya.
Apa yang dikomunikasikan oleh seorang pemimpin kepada pengikutnya atau anak-buahnya, dalam proses komunikasi adalah pesan yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi, menampilkan istilah “informasi” untuk pesan komunikasi tersebut. Ia menyajikan batasan mengenai komunikasi sebagai “pengikutsertaan suatu orientasi ke dalam isyarat-isyarat yang bersifat informasi” (the sharing of an orientation toward a set of informational signs).
Informasi dalam pengertian tersebut di atas harus diartikan secara luas. Jelasnya: tidak terbatas pada berita atau “fakta” atau apa yang terdapat dalam buku atau yang diajarkan dalam kelas. Informasi adalah setiap isi komunikasi yang mengurangi ketidakpastian atau kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu situasi. Ini dapat mencakup emosi. Dapat pula meliputi fakta atau opini, bimbingan atau persuasi. Ia tidak harus berbentuk kata-kata; pengertian yang tersembunyipun atau bahasa bisu (the silent language) adalah informasi yang penting. Ia tidak harus benar-benar sama pada komunikator dan komunikan.
Pendapat Wilbur Schramm tersebut di atas merupakan perbaikan – untuk tidak mengatakan sanggahan – bagi teorinya yang ia tuangkan dalam bukunya terdahulu. Ia selanjutnya menegaskan, bahwa hal ini perasaan ragu-ragu, bahwa pesan komunikasi pernah sama pada komunikator dan komunikan dan tidak mungkin untuk mengukur kesesuaian tersebut secara lengkap sekali. Ide yang sudah kuno, yakni ide pengoperan fakta-fakta dari benak yang satu ke benak yang lain tidak lagi merupakan cara yang sempurna untuk memikirkan komunikasi manusia. Akan lebih bermanfaat jika memikirkan seseorang atau sejumlah orang bersangkutan dengan sejemput informasi, masing-masing dengan kebutuhan dan tujuannya sendiri, masing-masing memahami dan menggunakan informasi dengan caranya sendiri.
Karena itu, menurut Schramm, komunikasi didasarkan atas kesangkutpautan (relationship). Kesangkutpautan ini dapat terjadi antara dua orang, atau antara seseorang dengan sejumlah orang. Hakekat kesangkutpautan ini adalah “setala” (“in tune”) antara satu sama lainnya, terfokuskan kepada informasi yang sama. Unsur sentral kesangkutpautan komunikasi tersebut biasanya dipancangkan dalam kesangkutpautan sosial tertentu yang menunjang penggunaan dan interpretasi terhadap informasi.
Kesangkutpautan tersebut tidak harus berada dalam komunikasi tatap muka (face to face communication). Definisi Cooley menampilkan alat-alat untuk menyiarkan lambang-lambang melalui ruang dan merekamnya dalam waktu. Jadi media massa memungkinkan komunikasi dalam jarak yang sangat jauh; alat-alat tersebut ialah mesin-mesin yang dipergunakan dalam proses komunikasi untuk melipatkan tulisan orang (mesin cetak) atau untuk memperluas indera penglihatan dan pendengaran (televisi, film, radio). Demikian juga, isyarat-isyarat dan lambang-lambang dari zaman dahulu kala dapat dikomunikasikan, seperti apa yang dikenal sebagai karya orang-orang ternama yang sudah tidak ada. Akan tetapi tampak jelas bahwa disitu terdapat perbedaan/dalam kualitas antara kesangkutpautan komunikasi yang dekat dan langsung dengan yang dijauhkan dalam ruang dan waktu. Tak mungkinlah terdapat komunikasi dua-arah dengan pengarang yang sudah tiada. Akan tetapi komunikasi jarak jauh ini dapat menimbulkan akibat yang mengandung suatu kekuatan; salah satu sebab mengapa buku-buku termashur tetap abadi dan media massa tetap hidup ialah karena adanya kekuatan untuk “mentala” (“tune in”) dengan massa komunikan di tempat yang jauh.
Demikian mengenai apa yang dikomunikasikan. Sekarang mengenai bagaimana komunikasi dilangsungkan. Seperti telah disinggung di muka, dalam proses komunikasi terdapat unsur-unsur komunikator dan komunikan. Komunikator berfungsi sebagai “encoder”, yakni sebagai orang yang memformulasikan pesan yang kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Orang yang menerima pesan ini adalah komunikan yang berfungsi sebagai “decoder”, yakni menterjemahkan lambang-lambang pesan kedalam konteks pengertiannya sendiri. Lalu komunikan ini mereaksi atau memberi tanggapan; dan jika melakukan secara terbuka (overtly), ia menjadi encoder (komunikator) yang menyampaikan pesan kepada komunikator yang semula; atau bisa juga kepada orang lain. Dengan perkataan lain, decoder menjadi encoder bagi pesan yang baru, biasanya pesan balik. Pesan balik ini, yang disampaikan oleh penerima kembali ke pengirim, biasanya disebut “umpan balik” atau “feed-back”. Sampainya umpan balik ini kembali ke pengirim pesan yang semula, bisa berlalu secara langsung atau tertunda.
Umpan-balik langsung terjadi dalam percakapan antar pribadi (interpersonal conversation) atau percakapan dalam kelompok kecil. Ini bisa terjadi dalam setiap situasi komunikasi dimana seorang pembicara dapat diinterupsi oleh sebuah pertanyaan.
Umpan-balik yang tertunda terjadi dalam berbagai situasi, tetapi yang sering terjadi ialah dalam situasi yang bersangkutan dengan komunikasi massa, dimana-umpamanya, pembaca surat kabar mengirim surat keredaksi mengenai suatu hal yang ia baca, atau penonton televisi yang menelepon studio mengenai beberapa hal yang ia lihat dalam programa televisi tersebut.
Dalam bab sebelumnya mengenai arti kepemimpinan ditandaskan, bahwa kepemimpinan adalah suatu usaha untuk mengarahkan tingkah laku orang lain ke suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu bagi seorang pemimpin kurang sempurnalah definisi Cooley, yang menyatakan, bahwa komunikasi adalah mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan antar manusia dan yang memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan alat-alat untuk menyiarkannnya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Demikian pula kurang sempurnalah definisi William Albig yang menyatakan, bahwa komunikasi adalah proses pengoperan lambang-lambang yang mengandung pengertian antara individu-individu (communication is the process of transmitting meaningful symbols between individuals).
Cooley dan Abig hanya mengatakan, bahwa komunikasi adalah proses penyampaikan pesan oleh seseorang kepada orang lain. Bagi seorang pemimpin barangkali definisi yang dikemukakan oleh Carl I. Hovland yang paling tepat untuk dijadikan pegangan dalam kegiatan komunikasinya. Hovland dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA mendefinisikan komunikasi:
Sebagai proses dimana seseorang (komunikator) mengoperkan perangsang-perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain (komunikan). (As the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behavior of other individuals (communicatees).
Dalam definisi Hovland tampak adanya penekanan, bahwa komunikasi adalah bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi “untuk mengubah tingkah laku orang lain”. Jelas adanya faktor tujuan (purpose, intention). Dan ini adalah sesuai dengan faktor penting dalam kepemimpinan, yakni juga tujuan.

3.3.  Tekhnik Berkomunikasi
Menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc dalam perkuliahan Ilmu Administrasi Publik (2015), tekhnik berkomunikasi adalah cara atau seni menyampaikan pesan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan dampak tertentu pada komunikan atau penerima pesan.
Pada umumnya bahasa yang digunakan untuk menyalurkan pernyataan/pesan tersebut dan ada juga lambang yang digunakan antara lain gerakan anggota tubuh, gambar, warna dan sebagainya. Contoh lambang gerakan anggota tubuh seperti melambaikan tangan, mengedipkan mata, mencibirkan bibir, menggelengkan atau menganggukkan kepala. Pesan gambar seperti foto, lukisan, sketsa, karikatur, diagram, grafik dan sebagainya. Warna seperti pada lampu lalu lintas.
Yang terpenting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar sesuatu pesan menimbulkan suatu dampak/efek tertentu pada si penerima pesan/komunikan. Dampak yang ditimbulkan menurut kadarnya yakni:
a.   Dampak kognitif
Yaitu penerima pesan menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya atau mengubah pikiran diri komunikan.
b.   Dampak afektif
Yaitu penerima pesan tidak hanya tahu, tetapi tergerak hatinya atau menimbulkan perasaan tertentu, seperti: iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.
c.   Dampak behavioral/perilaku
Yaitu dampak yang timbul pada perubahan perilaku, tindakan, kegiatan dan ucapan penerima pesan.

3.4.  Rintangan-Rintangan Komunikasi
1.      Gangguan Mekanik dan Semantik
Pada bab sebelumnya telah dikutip keyakinan Hendy Clay Lindgren, bahwa kepemimpinan yang efektif adalah komunikasi yang efektif. Dalam bab tersebut dan bab berikutnya telah dibahas berbagai hal sehubungan dengan komunikasi, mulai dari pengertiannya dan prosesnya sampai kepada bentuknya dan modelnya. Telah disetujui pendapat para ahli, bahwa komunikasi efektif adalah komunikasi yang berhasil membina pengertian, yang berhasil menyampaikan pesan yang membuat komunikan memberikan tanggapan yang dikehendaki komunikator. Dalam komunikasi efektif suatu pesan dapat berlaku kepada komunikan dan pengertian yang ada padanya benar-benar sama dengan pengertian yang terdapat pada komunikator. Tetapi telah ditegaskan pula bahwa bagi seorang pemimpin, komunikasi efektif bukan hanya keberhasilan dalam membina pengertian yang sama antara komunikator dan komunikan, tetapi berhasil mengubah tingkah laku komunikan ke arah yang dikehendaki komunikator.
Untuk mendapatkan komunikasi yang efektif memang tidaklah mudah. Ada banyak rintangan yang bisa merusak komunikasi. Yang paling penting diantaranya ada dua yang dalam bahasa asing biasa disebut “noises”, yang diterjemahkan menjadi “gangguan”, yaitu “mechanical noise” (gangguan mekanik) dan “semantic noise” (gangguan semantik).
a.      Gangguan Mekanik
Yang dimaksudkan dengan gangguan mekanik ialah gangguan disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Ini erat hubungannya dengan media-media atau saluran komunikasi antar-pribadi secara lisan. Sebagai contoh ialah gangguan mekanik seperti suara dobel dari pesawat radio disebabkan dua pemancar yang berdempetan, gambar berliuk-liuk atau maju berubah-ubah pada layar televisi, bunyi menggaung pada pengeras suara atau riuh hadirin pada pidato dalam suatu pertemuan. Dalam media tercetak, contoh untuk gangguan mekanik ialah huruf yang tidak jelas, jalur huruf yang hilang atau terbalik, halaman yang sobek, paragraf atau sambungan kisah-berita yang hilang, atau halaman yang kotor atau basah.
Gangguan mekanik seperti itu bagi seorang pemimpin sering kali merupakan gangguan yang berada di luar kekuasaannya untuk mengatasinya. Tetapi dengan “approach” yang baik kepada orang-orang yang berwenang dalam saluran komunikasi, setidak-tidaknya ia akan dapat memecah terjadinya gangguan yang tidak diingininya itu. Mengapa pesan Presiden melalui media massa tidak pernah mengalami gangguan mekanik? Ini disebabkan seluruh perhatian orang-orang yang berwenang dalam media massa ditumpahkan kepada komunikasi yang sedang dilakukan oleh Presiden itu. Barangkali dengan teknik “human relation”, seorang pemimpin yang akan menggunakan media massa dapat meminta kepada pimpinan media massa untuk menaruh perhatian kepadanya.
b.      Gangguan Semantik
Gangguan semantik seperti disebutkan di atas adalah terjemahan dari “semantic noise”. Istilah “noise” di sini tidak berarti “suara”. Gangguan ini bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan semantik tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan bahasa. Lebih banyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada komunikator, akan lebih banyak gangguan semantik dalam pesannya. Gangguan semantik terjadi dalam kesalahpengertian. Pada hakikatnya orang-orang yang terlibat dalam komunikasi menginterpretasikan bahasa yang menyalurkan suatu pesan dengan berbagai cara; karena itu mereka mempunyai pengertian yang berbeda dalam benaknya. Seorang komunikan mungkin menerima suatu pesan dengan jelas sekali, baik secara mekanik maupun secara phonetik – secara fisik berlalu dengan keras dan jelas – tetapi disebabkan kesukaran pengertian (gangguan semantik) komunikasinya menjadi gagal.
Rintangan-rintangan apa lagi yang cenderung untuk mengganggu atau merusak komunikasi efektif? Merril dan Lowenstein dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA menyajikan suatu daftar sebagai berikut:
-    Latar belakang pelaku komunikasi yang berbeda.
-    Perbedaan pendidikan, formal atau tidak formal.
-    Perbedaan kepentingan dalam pesan yang disampaikan.
-    Perbedaan IQ.
-    Perbedaan taraf dan penggunaan bahasa.
-    Kekurangan rasa saling hormat-menghormati di antara pelaku komunikasi.
-    Perbedaan faktor-faktor seperti umur, kelamin, ras dan kelas.
-    Tekanan mental dan/atau fisik pada waktu berkomunikasi.
-    Kondisi lingkungan pada waktu berkomunikasi.
-    Kekurangan keahlian pada pihak komunikator (penulis atau pembicara yang kurang mahir).
-    Kekurangan keahlian pada piihak komunikan (pembaca atau pendengar yang kurang mahir).
-    Kekurangan informasi dalam pesan (pesan yang “kosong”).
-    Kecil atau tidak ada kesamaan dalam pengalaman.
-    Kecil atau tidak ada umpan-balik atau interaksi.
2.      Umpan-Balik
a.   Pengertian Umpan-Balik
Di atas disebutkan, bahwa “kecil atau tidak ada umpan-balik” merupakan rintangan bagi komunikasi efektif. Umpan balik atau “feedback” ini perlu mendapat pembahasan tersendiri mengingat pentingnya hal ini dalam proses komunikasi. Suatu umpan balik selain bisa positif, juga bisa negatif yang perlu diatasi oleh komunikator dalam rangka melakukan komunikasinya yang efektif.
Apabila seorang komunikator dalam suatu situasi komunikasi antar pribadi mengubah tingkah laku bicaranya disebabkan menerima tanggapan tertentu dari komunikan, ini dapat dikatakan bahwa ia menanggapi umpan balik. Drs. Onong Uchjana Effendy, MA dalam Kepemimpinan dan Komunikasi mengatakan bahwa, “umpan balik adalah pesan baik yang disampaikan oleh komunikasi kembali kepada komunikator. Dengan mengetahui umpan balik itu, komunikator bisa menyadari apakah komunikasinya sukses atau gagal. Bila ternyata gagal, maka ia bisa segera mengubah cara menyampaikan pesannya.”
Istilah feedback yang diterjemahkan menjadi umpan balik berasal dari cybernetic, suatu cabang dari ilmu bangunan (engineering science) yang berhubungan dengan sistem kontrol. Sistem ini mengontrol suatu operasi dengan menggunakan informasi mengenai efek. Sebuah contoh untuk sistem cybernetic yang sederhana ialah termostat (alat peng-imbang panas) pada sebuah dapur-api. Jika suhu di dalam kamar menurun sampai derajat terendah, termostat menutup sebuah alat, mengirim isyarat yang menghidupkan tungku-api tadi. Termostat senantiasa mengontrol suhu kamar; jika maksimum suhu yang diinginkan tercapai, termostat tersebut membuka alat yang disebutkan tadi, yang mengirimkan isyarat yang mematikan dapur-api tadi.
b.   Umpan-Balik Positif dan Negatif
Oleh karena saat menggunakan informasi mengenai efek komunikasi untuk mengontrol sukses tidaknya komunikasi, maka wajarlah untuk memperluas konsep umpan balik ini.
Jika, umpamanya, anggukan hormat seseorang kepada orang asing (tidak saling kenal) mendapat tanggapan yang menyenangkan, maka mungkin ia meneruskan percakapannya dengan menyampaikan pesan yang lebih banyak. Ini adalah umpan balik positif. Tetapi jika pesan pertama menemui perbedaan atau bernada tidak enak, maka percakapan hanya sampai disitu; ini adalah umpan balik negatif.
Saat ini, oleh karena perkataan “positif” dan “negatif” mempunyai pengertian yang memiliki nilai tertentu, kedua perkataan itu akan mudah membingungkan apabila dalam pembicaraan mengenai umpan-balik. Dalam contoh di atas bukan tanggapan komunikan yang menyenangkan yang membuat umpan balik positif; juga bukan tanggapan yang menunjukkan keengganan yang membuat umpan balik negatif. Untuk mudahnya adalah suatu pertanyaan apakah tanggapannya tadi menyebabkan peningkatan atau penurunan dalam beberapa aspek tingkah laku komunikator. Dengan lain perkataan, pertanyaannya ialah apakah tanggapan komunikan menyebabkan komunikator memperluas atau mengakhiri percakapan?
Theodore Clevenger, Jr. dan Jack Matthews dalam karyanya “Feedback” dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA menegaskan, bahwa tanggapan komunikan yang menyenangkan sering juga menunjukkan umpan balik negatif; sebaliknya tanggapan yang tidak menyenangkan dapat menunjukkan umpan balik positif.
“Jika saya menerangkan sesuatu kepada anda dan mengetahui suatu isyarat dari anda tanpa bentuk kata-kata yang menunjukkan, bahwa anda tidak mengerti apa yang saya katakan tadi, tanggapan anda dapat dikarakteristikkan sebagai negatif; tetapi umpan balik yang sampai kepada saya adalah positif jika ia membuat saya mengulangi atau memperluas penerangan saya. Dalam pada itu, jika anda menunjukkan, bahwa anda mengerti, tanggapan anda dapat dikatakan positif; tetapi efek kepada tingkah laku saya akan negatif, bila ia memberi isyarat, bahwa saya harus berhenti memberikan penjelasan.”
Demikian kata Clevenger dan Matthews.
Dengan keterangan di atas jelaskan, bahwa istilah umpan balik tidak menunjuk kepada setiap tingkah-laku komunikan, melainkan kepada kesangkutpautan (relationship) antara tingkah laku komunikator, tanggapan komunikan, dan efek tanggapan tersebut kepada tingkah laku komunikator selanjutnya. Jadi tanggapan komunikan bukanlah umpan balik, kalau tanggapan tersebut tidak menimbulkan efek pada tingkah laku komunikator selanjutnya.
c.   Umpan-Balik Langsung dan Tertunda
Umpan balik langsung (immediate feedback) dan umpan balik tertunda (delayed feedback) telah dibicarakan pada Bab sebelumnya ketika membahas proses komunikasi.
Umpan balik langsung terjadi dalam komunikasi tatap muka antar pribadi (face to face communication; person to person communication) atau komunikasi dalam kelompok kecil. Ini bisa terjadi dalam setiap situasi komunikasi dimana si komunikator dalam proses komunikasinya dapat diinterupsi oleh suatu pertanyaan dari komunikan.
Umpan balik tertunda terjadi dalam berbagai jenis situasi komunikasi, tetapi seringkali dalam hal yang erat hubungannya dengan komunikasi massa. Sebagai contoh ialah surat pembaca yang dikirimkan kepada redaksi surat kabar mengenai salah satu hal dari isi surat kabar, atau telepon yang disampaikan kepada studio televisi oleh penonton mengenai programa yang telah dilihatnya. Umpan balik tertunda dalam komunikasi massa bersifat selektif, dan komunikator hanya memperoleh wawasan mengenai bagaimana sebagian kecil dari komunikannya merasakan tentang pesan yang disampaikannya. Tambahan pula, umpan balik tertunda ini biasanya masuk sedemikian lambatnya, sehingga komunikator tidak dapat menggunakannya untuk memperbaiki pesannya. Mungkin pula orang-orang yang menyampaikan umpan balik itu adalah orang-orang yang “luar biasa”; karena itu komunikator tidak dapat mempunyai dugaan yang terlalu banyak berdasarkan umpan balik tertunda itu.
Dalam pada itu, dalam kelompok kecil – komunikasi tatap muka yang memungkinkan adanya umpan balik langsung – komunikator dapat segera melihat (serempak dengan pesannya) bagaimana ia sedang melakukannya agar dimengerti; dan jika diperlukan ia dapat memperbaiki pesannya atau dapat mengulanginya, baik seluruhnya maupun sebagian, sehingga salah pengertian dapat dihilangkan.
d.   Umpan-Balik Ditentukan dan Dinyatakan
Benjemin Singer dalam bukunya “Feedback and Society” dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA mengetengahkan dua jenis umpan balik yang erat hubungannya dengan politik. Jenis yang pertama ialah umpan balik yang ditentukan (determinative feedback), yang ia artikan sebagai proses pengikut sertaan politik dengan tujuan yang ditetapkan dalam pikiran seperti memilih partai, mendapatkan peraturan daerah yang baru, dan sebagainya.
Umpan balik tersebut oleh Singer dipertentangkan dengan jenis yang kedua, yakni umpan balik yang dinyatakan (expressive feedback); ini mencakup opini terhadap isu-isu. Jadi poll dan survey, bahkan surat-surat merupakan umpan balik yang dinyatakan, dimana untuk suatu tujuan tertentu tidak dipergunakan alat-alat dalam bentuk perkakas.
Public opinion poll merupakan metode yang dapat diterima dewasa ini dengan mana lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat di negara yang sudah maju menerima berbagai informasi mengenai opini penduduk. Jadi poll seperti itu menyatakan sikap yang terdapat pada penduduk.
Tetapi poll, disebabkan beberapa alasan tidak merupakan jawaban yang cukup untuk keperluan mekanisme umpan balik; pada kenyataannya jawaban-jawaban tersebut terbatas sekali  dalam kemampuannya umpan balik yang benar-benar relevan.
Dalam hubungannya secara konsepsionil antara penggunaan umpan balik yang dinyatakan yang berbeda satu sama lain, kita juga bisa menemukan jalan dimana struktur umpan balik bisa dipakai untuk membedakan macam-macam sistem sosial. Benjamin Singer telah mengutip pendapat Kenneth Boulding yang menyatakan, bahwa dalam sistem politik yang bersifat otoriter, keputusan “berasal dari pemegang peranan yang lebih tinggi dan disampaikan kepada pemegang peranan yang lebih rendah sebagai perintah,” sedangkan informasi “disampaikan oleh pemegang peranan yang lebih rendah kepada pemegang peranan yang lebih tinggi atas permintaan pemegang peranan yang lebih tinggi.” Dalam model otoriter, umpan balik ditangani dari atas, bukan dari bawah. Ini tidak bersifat sukarela, melainkan diminta. Dalam model otoriter, umpan balik berlaku secara tidak langsung dan dalam banyak hal berada di bawah pengawasan pemegang peranan yang lebih tinggi. Dalam model demokratis, umpan balik jauh lebih langsung dan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam merubah keputusan.

3.5.  Hambatan Dalam Komunikasi (Menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc)
Adapun hambatan, rintangan atau gangguan dalam komunikasi yang lebih ringkas dan praktis menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc adalah sebagai berikut:
a.   Hambatan sosio-antro-spikologis
Hambatan ini adalah hambatan yang dilihat pada pemerima pesan/komunikan yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, yakni:
-     Sosiologis
Yaitu hambatan yang terdiri dari pergaulan hidup yang bersifat pribadi seperti dalam kehidupan rumah tangga; dan pergaulan hidup yang tidak pribadi, dinamis dan rasional seperti di kantor atau dalam organisasi.
-     Antropologis
Yaitu manusia yang dilahirkan dan ditakdir berbeda-beda: postur, warna kulit, ras, agama dan kebudayaan termasuk berbeda dalam gaya hidup, norma, kebiasaan dan bahasanya. Misalnya, lewat media televisi, masakan daging babi lezat sekali. Sebagian pemirsa (komunikan) hanya menerimanya secara accepted/rohani dan tidak secara received/inderawi.
-     Psikologis
Yaitu hambatan yang disebabkan komunikator tidak mengkaji keadaan diri komunikan. Biasanya sulit berhasil apabila si penerima/komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa kecewa, iri hati dan kondisi psikologis lainnya. Komunikan/penerima pesan bisa saja menaruh prasangka (prejudice) kepada komunikator.
b.   Hambatan semantik
Hambatan sosio-antro-psikologis terdapat pada komunikan/penerima pesan, sedangkan hambatan semantik terdapat pada komunikator. Yaitu bahasa yang digunakan komunikator tidak tepat/pas/jelas, karena mungkin terlalu cepat berbicara/penyampaiannya sehingga menimbulkan salah pengertian yang berakibat salah pengertian (miscommunication). Misalnya: maksudnya mengatakan kedelai terucap keledai; maksudnya demokrasi terlontar demonstrasi; maksudnya partisipasi terlontar/terdengar partisisapi.
Gangguan semantik disebabkan pula oleh aspek antropologis: kata-kata yang sama tulisan maupun ucapannya tetapi berbeda artinya, misalnya: rampung (bagi orang sunda dan orang jawa memiliki arti yang berbeda masing-masingnya); atos (antara orang jawa dan sunda); bujang (antara orang sunda dan sumatra).
c.   Hambatan mekanis/teknis
Hambatan yang pada umumnya terdapat pada media yang diguanakan, seperti telepon, televisi, radio, surat kabar yang tidak mungkin dapat diatasi oleh komunikator maupun komunikan.
d.   Hambatan ekologis
Hambatan yang terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan pada saat proses berlangsungnya komunikasi, seperti: suara bising, hujan, petir, suara pesawat dan sebagainya.

BAB IV
PERAN PEMIMPIN DALAM KOMUNIKASI

4.1.  Pemimpin Sebagai Komunikator
Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, keberhasilan seorang pemimpin banyak tergantung dari keberhasilannya dalam kegiatan komunikasi. Seseorang tidak mungkin menjadi pemimpin tanpa punya pengikut. Lebih tinggi kedudukannya sebagai pemimpin, akan lebih banyak pengikutnya. Akan tetapi tidak mungkin ia dapat menaiki anak tangga kepemimpinannya tanpa kemampuan membina hubungan komunikatif dengan pengikut-pengikutnya dan bakal pengikut-pengikutnya.
Telah disinggung di awal bahwa yang sangat penting bagi seorang pemimpin dalam kegiatannya sebagai komunikator ialah adanya faktor “daya tarik komunikator” (source attractivenes) dan faktor “kepercayaan pada komunikator” (source credibility).
Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku komunikan melalui mekanisme daya tarik jika pihak komunikan merasa bahwa komunikator ikut serta dengannya; dengan kata lain pihak komunikan merasa ada kesamaan antara komunikator dengannya, sehingga dengan demikian komunikan bersedia untuk taat pada isi pesan yang dipersuasikan komunikator.
Sikap komunikator yang berusaha menyamakan diri dengan komunikan ini akan menimbulkan simpati komunikan pada komunikator.
Hubungan pentingnya usaha membangkitkan perhatian dalam rangka melaksanakan persuasi. Dalam hubungan ini perlu diingat agar dalam rangka menumbuhkan perhatian itu (attention arousing) dihindarkan munculnya appeal yang negatif. Appeal yang negatif bukan attention arousing, melainkan anxiety atousing, atau menumbuhkan kegelisahan. William J. McGuire, seorang ahli komunikasi ternama, menegaskan bahwa “anxiety arousing communication” menimbulkan efek ganda. Di satu pihak ia membangkitkan rasa takut akan bahaya sehingga mempertinggi motivasi untuk melakukan tindakan preventif. Di lain pihak rasa takut tersebut juga menimbulkan tanggapan-tanggapan yang umum disebut “flight and fight”, yang dalam kasus komunikasi persuasi dapat berbentuk permusuhan pada komunikator atau tidak menaruh perhatian sama sekali.
Faktor kedua ialah “kepercayaan pada komunikator” (source credibility). Kepercayaan komunikan pada komunikator ditentukan oleh keahlian komunikator dalam bidang tugas pekerjaannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Seorang ahli hukum akan mendapat kepercayaan apabila ia berbicara mengenai masalah hukum. Demikian pula seorang dokter akan memperoleh kepercayaan kalau yang ia bahas adalah soal kesehatan.
Kepercayaan pada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang disampaikan kepada komunikan dianggap olehnya sebagai benar dan sesuai dengan kenyataan empiris.
Dalam pada itu secara umum diakui pula bahwa keahlian seorang komunikator – apakah keahliannya itu khas atau bersifat umum seperti timbul dari pendidikan yang lebih baik atau status sosial yang lebih tinggi atau jabatan profesi yang lebih tinggi – akan membuat pesan yang dikomunikasikannya mempunyai daya pengaruh yang besar. Akan tetapi hal ini terjadi apabila si komunikator mahir dalam mengkomunikasikan pesannya.
Sehubungan dengan itu, maka berikut ini adalah beberapa faktor yang perlu diperhatikan apabila seorang pemimpin tampil sebagai komunikator:
1.   Kerangka Referensi
Seorang pemimpin akan berhasil dalam komunikasinya apabila pesan yang ia sampaikan cocok dengan kerangka referensi (frame of reference) komunikan.
Kerangka referensi seseorang dibentuk sebagai hasil dari pengalaman, pendidikan dan pengertian-pengertian yang diperoleh dari kelompoknya atau dari orang lain. Kereangka referensi seorang anak murid SD tidak sama dengan murid SMP, apalagi dengan murid SMA, lebih-lebih lagi dengan seorang mahasiswa. Jelas bahwa meskipun umurnya sama, tetapi kalau pendidikan dan pengalamannya berlainan, kerangka referensi orang yang satu dengan orang lainnya tidak akan sama. Kerangka referensi seorang petani tidak sama dengan seorang dokter, juga dengan seorang perwira tentara.
Seorang manajer perusahaan dapat saja menyampaikan pesan yang sama kepada wakilnya dan kepada sopirnya, tetapi formulasinya harus sesuai dengan kerangka referensi kedua orang tersebut. Kerangka referensi wakil manajer tidak akan sama dengan kerangka referensi seorang sopir.
Dengan memahami kerangka referensi orang yang menjadi lawan bicara, setidak-tidaknya akan dapat diduga sikap dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.
Dalam situasi komunikasi antar pribadi mudah untuk menjajaki kerangka referensi komunikan, juga dalam situasi komunikasi kelompok dengan komunikan yang sedikit jumlahnya dan homogen sifatnya. Yang sulit ialah menjajaki kerangka referensi komunikan dalam kelompok besar (macro group) atau kalau komunikasi dilakukan melalui media massa. Dalam situasi komunikasi seperti itu, komunikator biasanya mengambil ukuran kerangka referensi secara rata-rata dalam derajat pendidikan. Maka bahasa yang digunakan adalah bahasa yang umum dimengerti, dengan kata-kata yang lazim dan sederhana, sedang pesannya sendiri dikaitkan dengan kepentingan umum.
2.   Situasi dan Kondisi
Situasi dan kondisi sangat berpengaruh pada berhasilnya kelangsungan komunikasi.
Yang dimaksudkan dengan situasi di sini ialah suasana pada saat suatu pesan komunikasi akan disampaikan kepada seseorang. Pesan politik yang akan dilancarkan sudah tentu harus diperhitungkan dengan situasi politik. Akan tetapi pesan komunikasi tidak selalu bersangkutan dengan masalah politik. Hari Minggu, bulan Puasa (Ramadhan) atau hari Tahun Baru mungkin merupakan situasi yang kurang menyenangkan bagi orang-orang tertentu untuk diajak berkomunikasi, untuk diberi pesan komunikasi apapun, sekalipun mereka berada dalam keadaan bahagia sehat walafiat.
Yang dimaksud dengan kondisi dalam hubungannya dengan komunikasi, ialah “state of personality” dari komunikan. Dia mungkin berada dalm kondisi yang tidak atau kurang menyenagkan untuk menerima suatu pesan, umpamanya sedang sakit, sedih, marah, lapar, bingung, dan lain sebagainya, baik kondisi jasmaniah maupun kondisi rokhaniah.
Komunikasi yang dilancarkan dalam situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan komunikan, tidak akan fungsional (functional), melainkan akan disfungsional (disfunctional), bahkan mungkin akan menjadi bumerang kepada komunikator, artinya bukan saja komunikasi tidak berhasil, malahan komunikan menjadi benci kepada komunikator.
3.   Konotasi
Konotasi menyangkut kata-kata sebagai alat untuk mengekspresikan “isi kesadaran” (Bewusstseinsinhalte; istilah Dr. Walter Hagemann) atau “gambaran dalam benak” (picture in our head; istilah Walter Lippmann), yakni pikiran dan perasaan. Jadi pesan komunikasi, apakah itu merupakan ide, informasi, motivasi atau opini, adalah pikiran atau perasaan komunikator yang dengan menggunakan “kendaraan” bahasa sampai kepada benak komunikan.
Dalam memilih kata-kata untuk menyatakan pikiran atau perasaan perlu disadari bahwa lambang kata yang sama mungkin mengandung pengertian yang berbeda bagi setiap orang.
Kata-kata mempunyai dua jenis pengertian, yakni pengertian denotatif dan pengertian konotatif. Pengertian denotatif adalah pengertian biasa sebagaimana diartikan dalam kamus (dictionary meaning) yang diterima secara umum oleh kebanyakan orang dengan bahasa dan kebudayaan yang sama. Pengertian konotatif adalah pengertian emosional atau mengandung penilaian tertentu (emotional or evaluative meaning) disebabkan latar belakang dan pengalaman seseorang.
Perkataan “anjing” dalam pengertian denotatif sama saja bagi setiap orang, yakni binatang berkaki empat, berbulu dan mempunyai daya cium yang tajam. Dalam pengertian konotatif anjing bagi seorang kiai yang fanatik mungkin merupakan binatang yang harus dihindari untuk bersentuh, bagi seorang polisi merupakan kawan penyusur lacak pencuri, dan bagi seorang bintang film Amerika menjadi kawan tidur di saat kesepian; mereka ini berbeda pandangannya terhadap seekor anjing. Perkataan “demokrasi” dalam pengertian denotatif adalah pemerintahan rakyat; dalam pengertian konotatif, demokrasi tidak sama artinya bagi seorang Amerika, bagi seorang Rusia dan bagi seorang Indonesia.
“Kata-kata dapat merupakan dinamit” kata Cutlip dan Center dalam bukunya “Effective Public Relations”. Dikatakannya, terdapat bukti bahwa kesalahan dalam menterjemahkan sebuah pesan oleh pemerintah Jepang dalam Perang Dunia II, telah menggetarkan Hirosima dengan dihancurkannya dengan bom atom.
Perkataan “mokusatsu” yang dipergunakan Jepang sebagai tanggapan terhadap ultimatum Amerika agar menyerah, telah diterjemahkan oleh Domei menjadi “ignore”, padahal arti sebenarnya dalam bahasa Inggris adalah “withholding comment until a decision has been made.” Demikian pula krisis yang pernah terjadi antara Amerika dan Panama adalah disebabkan kesulitan semantik antara bahasa Inggris “negotiate” dengan bahasa Spanyol “negociar”. Orang-orang Panama mengartikan “negotiate” dalam bahasa Inggris sebagai “commitment to negotiate a new treaty”, sedang bagi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tidak mengandung pengertian “to discuss”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi seorang pemimpin – lebih-lebih tokoh politik – pemakaian bahasa dan pemilihan kata-kata untuk menyampaikan pesan komunikasinya perlu dilakukan dengan seksama untuk menghindarkan terjadinya salah pengertian dan salah tafsir. Terutama hal ini sangat penting bagi seorang diplopat, karena erat sekali hubungannya dengan nuansa-nuansa (nuances). Justru nuansalah yang menjadi darah daging profesi diplomasi.

4.2.  Pemimpin Sebagai Negosiator
Sebagai negosiator dalam situasi perundingan, seorang pemimpin bertindak bukan saja sebagai komunikator tetapi sekaligus sebagai komunikan. Dalam situasi itu ia menyampaikan pesan persuasinya tetapi pada saat itu pula ia pada gilirannya menerima pesan persuasi dari lawannya, apakah lawannya itu sendirian ataupun lebih dari satu orang. Berikut ini adalah beberapa faktor yang perlu diperhatikan bagi pemimpin sebagai negosiator:
1.   Ethos
Dalam suatu perundingan penting, seorang pemimpin akan sukses apabila ia berhasil menunjukkan “source credibility”, artinya ia mendapat kepercayaan dari lawannya. Timbulnya kepercayaan disebabkan adanya “ethos” pada dirinya, yaitu apa yang pernah dikatakan oleh Aristoteles dan yang hingga kini tetap dijadikan pedoman, yakni “good sense, good moral character and good will” dan oleh para cendikiawan modern diterjemahkan menjadi “itikad baik (good intentions), dapat dipercaya (trustworthiness) dan kecakapan atau kemampuan (competence or expertness).
Jadi selagi menjadi negosiator, seorang pemimpin perlu menunjukkan bahwa dirinya mempunyai itikad baik, dapat dipercaya dan memang mempunyai kecakapan atau keahlian.
Austin J. Freeley dalam bukunya “Argumentation and Debate” menganjurkan agar seorang negosiator menampilkan ethosnya kepada komunikan dengan jalan mengadakan pilihan. Sebagai contoh, jika dalam pilihannya ia mengambil cara mengemukakan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hubungannya dengan situasi, atau bila ia dalam pilihannya mengemukakan kekurangan lawan, maka ethosnya menjadi menurun. Sebaliknya, apabila ia menampilkan rasa pekanya terhadap kebahagiaan masyarakat atau menunjukkan kejujuran dan keramahannya terhadap lawan, maka dalam pandangan komunikan ethosnya menjadi naik.
Freeley selanjutnya menyarankan agar seorang negosiator memperhatikan apa yang ia sebut “ethical standards” sebagai berikut:
1)   Hendaknya menguasai subjeknya; hendaknya melakukan persiapan secara matang; dan hendaknya mendasarkan kasusnya pada bukti dan argumen yang sebaik-baiknya.
2)   Hendaknya menyajikan fakta dan opini secara seksama.
3)   Hendaknya menyebutkan sumber informasi.
4)   Hendaknya menyambut setiap perbedaan paham dengan baik, dan kendaknya memelihara dan membina perdebatan sebagai sarana pengambilan keputusan yang rasional.
Demikianlah hendaknya seorang pemimpin manakalah ia dalam suatu perundingan mengemban misi untuk membawakan suatu pesan dengan harapan dapat menghasilkan keputusan yang menyenangkan kedua belah pihak.
2.   Peranan Mendengarkan
Dalam suatu perundingan, terutama perundingan politik yang hasil keputusannya menyangkut kepentingan negara dan rakyat, peranan seorang pemimpin bukan saja membawakan pesan dan mempersuasikannya kepada lawan, tetapi juga sebagai pendengar. Mungkin misinya gagal disebabkan ia tidak memperhatikan peranannya sebagai pendengar, sehingga bukannya ia mampu mempersuasikan pesannya, melainkan ia sendiri menjadi sasaran persuasi lawan.
Dalam hubungan dengan peranan mendengarkan ini, Harold P. Zelko dalam artikelnya yang berjudul “An Outline of the Role of Listening in Communication”, diantaranya memberikan saran sebagai berikut:
1)   Dengarkan semua peserta, jangan yang hanya anda sukai saja.
2)   Konsentrasikan perhatian ada pada pembicaraan orang. Tataplah dia.
3)   Pikirkan mengapa dia mengetengahkan suatu point khusus.
4)   Dalam menjawab atau menyangkal, hormatilah pendapatnya.
5)   Hubungkanlah dan nilailah jalannya perundingan.
6)   Hindarkanlah prasangka pribadi.
7)   Bersikaplah objektif. Hindarkanlah argumen yang panas.
Sebagai pendengar yang baik dalam suatu perundingan menurut Zelko, seorang negosiator akan dapat:
a)   membedakan fakta dari opini
b)   mengerti, menilai kesimpulan dan melakukan pertimbangan
c)   meneliti prasangka dan propaganda
d)   merekonstruksi pembahasan yang samar sehingga menjadi jelas.
Tetapi dalam suatu perundingan – juga termasuk jumpa pers atau dengar pendapat – bukan tidak mungkin seorang pembicara terpojokkan sehingga kehilangan akal. Kalau ini terjadi, maka ethosnya akan menurun. Dalam situasi seperti ini, hendaknya dipergunakan “metode red-heering” yaitu mengelakkan argumentasi dari bagian-bagian yang lemah untuk kemudian mengalihkannya sedikit demi sedikit ke bagian yang kuat dan dikuasai. Cara ini disebut juga “mengkanalisasikan argumentasi (canalizing of argumentation)”.
Lain lagi dengan saran Bettinghause. Ia menganjurkan agar dalam situasi seperti itu membawa persoalannya ke alam yang lebih abstrak. Katanya: “Lebih abstrak sebuah istilah, lebih kecil kemungkinannya bagi benak komunikan untuk memperoleh gambaran yang tepat atau gambaran yang dimaksud (the more abstract a term is, the less likely it is to elicit an accurate picture or an intended picture in the mind of a receiver).
Yang dimaksudkan dengan “more abstract” oleh Bettinghause dalam contoh yang dikemukakannya, mempunyai makna “lebih luas”. Demikianlah, maka berdasarkan pendapat Bettinghause itu, buah lebih luas dari pada mangga, tubuh lebih luas daripada hidung, manusia lebih luas daripada orang, karyawan lebih luas daripada jurutulis, politik lebih luas daripada demokrasi, dan sebagainya.

4.3.  Pemimpin Sebagai Monitor
Yang dimaksud dengan pemimpin sebagai monitor di sini ialah fungsi seorang pemimpin mengobservasi dan meneliti gejala-gejala yang muncul di masyarakat yang mungkin menimbulkan pengaruh pada dirinya, pada kelompoknya atau organisasi yang diwakilinya; kalau ia seorang diplomat, maka pengaruh ini adalah terhadap negara dan rakyat yang diwakilinya.
Gejala tersebut bisa timbul akibat kegiatan komunikasi yang pernah dilancarkannya atau muncul tanpa diduga dan tidak diketahui sebab-sebabnya. Di sini sang pemimpin bersikap dan bertindak sebagai komunikan.
Berdasarkan hal itu, ditinjau dari segi komunikasi, seorang pemimpin sebagai monitor dalam kegiatannya tidak jauh berbeda dengan “inteligen terbuka” (open intelligence), yakni inteligen yang dilakukan secara terang-terangan, misalnya:
-     membaca dan mempelajari berita-berita dalam surat kabar harian atau majalah berkala seperti mingguan dan bulanan.
-     mendengarkan, mencatat dan mempelajari siaran-siaran radio/televisi luar negeri dan dalam negeri, pemerintah maupun swasta, juga radio gelap.
-     membaca, mempelajari dan mengikuti secara terus-menerus pengumuman-pengumuman resmi pemerintah negara-negara lain.
-     membaca dan mempelajari dokumen-dokumen, statistik-statistik, dan lain sebagainya.
-     membaca dan mempelajari buku-buku dan kesusasteraan mengenai soal-soal tersebut.
-     melihat, memperhatikan dan mempelajari dengan tajam segala sesuatu yang dialami pada waktu mengadakan peninjauan di suatu tempat atau daerah.


BAB V
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat diketahui kesimpulan bahwa:
5.1.  Kepemimpinan merupakan kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkahlaku orang lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui suatu karya, seperti buku, tulisan, dsb., atau melalui kontak pribadi antara seseorang dengan orang lain secara tatap-muka (face-to-face). Fungsi seorang pemimpin beserta teknik kepemimpinannya berbeda menurut situasi dimana sang pemimpin melakukan kegiatannya. Kelompok-kelompok yang satu sama lain berbeda macamnya, berbeda dasarnya, berbeda sifat pemilihannya, serta berbeda fungsi dan tujuannya, menghendaki cara kepemimpinan yang berbeda pula. Dengan demikian fungsi kepemimpinan diklasifikasikan dalam 4 macam yaitu pemimpin sebagai eksekutif, pemimpin sebagai hakim, pemimpin sebagai penganjur, pemimpin sebagai ahli, dan pemimpin sebagai pemimpin-diskusi.
5.2.  Komunikasi merupakan mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan antar manusia dan yang memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan alat-alat untuk menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Ini mencakup wajah, sikap dan gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, kereta-api, telegrap, telephon, dan apa saja yang merupakan penemuan mutakhir untuk menguasai ruang dan waktu. Kemudian komunikasi terdiri atas unsur, siapa (who), mengatakan apa (says what), melalui saluran apa (in which channel), kepada siapa (to whom) dan dengan efek yang bagaimana (with what effect).
5.3.  Komunikasi merupakan bagian terpenting yang perlu mendapat perhatian ekstra bagi pemimpin ketika ingin mempengaruhi orang lain untuk mau mengerjakan perintahnya ataupun dalam proses pengambilan keputusan. Keberhasilan pemimpin sangatlah ditentukan dalam keterampilan berkomunikasi. Meskipun komunikasi bukan sebagai panasea (obat mujarab) untuk menyelesaikan persoalan atau konflik itu, karena persoalan atau konflik tersebut mungkin berkaitan dengan masalah struktural. Namun paling tidak, dengan adanya komunikasi kepemimpinan yang baik dan yang menyenangkan, diharapkan benturan-benturan psikologis dan konflik-konflik antara kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi yang sering terjadi, baik antara manajer atau pemimpin dengan karyawan, karyawan dengan karyawan, yang mengganggu jalannya roda organisasi dalam mencapai tujuannya bisa dihindari.
5.4.  Komunikasi kepemimpinan merupakan aktifitas penyampaian pesan, informasi, dan tugas (secara verbal ataupun non verbal) melalui media tertentu yang dilakukan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya, dengan tujuan tertentu. Inti komunikasi kepemimpinan sesungguhnya adalah bagaimana memberikan instruksi atau tugas yang jelas dan mudah dipahami oleh bawahan, bagaimana mengkomunikasikan kebijakan organisasi atau perusahaan kepada semua unsur di dalamnya, bagaimana frekuensi komunikasi pemimpin dengan bawahan dan bagaimana memotivasi pada bawahan, membangkitkan motif bawahan atau karyawan, menggugah daya gerak mereka untuk bekerja lebih giat.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Onong, Uchjana Effendy, Drs. MA. 1977. Kepemimpinan Dan Komunikasi. Bandung: Penerbit Alumni.
Abdullah Masmuh, Drs. M.Si. 2008. Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan Praktek. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Asmawi, Rewansyah, Dr. MSc. 2012. Kepemimpinan Dalam Pelayanan Publik. Jakarta Timur: PT. Rizky Grafis.

BAHAN PERKULIAHAN

Asmawi, Rewansyah, Dr. MSc. 2015. Bahan Perkuliahan Ilmu Administrasi Publik (Slide) Semester Gasal 2015. Jakarta Pusat: STIA LAN Jakarta.

Selasa, 26 Mei 2015

Menimbang Hukuman Mati

MENIMBANG HUKUMAN MATI???

Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Selamat Pagi, hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai pro dan kontra terhadap Hukuman Mati. Yuk coba kita bahas guys. Salah satu hasil Pembahasan dari salah satu media cetak juga pada Sabtu, 14 Februari 2015.

Semoga dapat membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^



MAKALAH
SISTEM HUKUM INDONESIA

MENIMBANG HUKUMAN MATI






Oleh :
YOGI SUDIRMAN
NPM. 1428.000.283

  
  
PROGRAM    STUDI    MANAJEMEN    SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
TAHUN 2015






SUMBER BAHASAN

(Potongan Sumber Pembahasan)



MENIMBANG HUKUMAN MATI

A.     LATAR BELAKANG PENULISAN
Berikut ini penulis sebagai mahasiswa STIA LAN Jakarta, akan menyimpulkan dan mengomentari sebuah tulisan yang berjudul Menimbang Hukuman Mati oleh Heru Susetyo. Penulisan ini sebagai syarat dalam Mata Kuliah Sistem Hukum Indonesia pada Semester Gasal Tahun 2015 oleh Bapak Drs. H. Sukadarto, SH. MM. MH.

B.     SUMBER BAHASAN
Koran Republika, terbitan tanggal 22 Januari 2015 halaman 6.

C.     PEMBAHASAN, KESIMPULAN DAN KOMENTAR
1.      Berikut ini kutipan paragraf 1 sampai 4
Eksekusi mati terhadap enam terpidana mati kasus narkotika yang berlangsung di Nusa Kambangan dan Boyolali pada 18 Januari 2015 dini hari menyentak publik Indonesia. Menyeruak kontroversi soal perlu tidaknya negara tetap mempertahankan hukuman mati.
Lalu, kalaupun tetap mempertahankan hukuman mati, apakah harus mempertahankan cara lama dengan ditembak oleh regu tembak dari kepolisian atau ada cara lain yang lebih "manusiawi"?
Sejatinya hukuman mati sudah sering dijatuhkan dan eksekusi mati pun sudah kesekian kalinya dilaksanakan di Indonesia. Sudah pula ada warga asing yang dieksekusi mati di Indonesia. Namun, eksekusi mati kali ini menjadi perhatian Iuas, barangkali, karena terjadi pada masa pemerintahan baru dan dua terpidana matinya Warga negara asing non-Afrika (Belanda dan Brasil). Belanda telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya dan Brasil menghapuskan hukuman mati kecuali untuk kejahatan yang luar biasa berat.
Eksekusi mati terhadap keenam terpidana mati kasus narkoba pada media Januari 2015 ini memunculkan pertanyaan kelayakan maupun manajemen (baca: hukum acara) eksekusi mati di Indonesia. Apakah eksekusi mati memiliki legitimasi sistem hukum Indonesia ataupun internasional? Kedua, apakah terpidana mati harus menjemput ajal dengan ditembak oleh regu tembak?
Kesimpulan:
Pemberitaan tentang eksekusi mati terhadap 6 terpidana dalam kasus narkotika pada tanggal 18 Januari 2015, menjadi perhatian karena di antara 6 terpidana yang dieksekusi terdapat 2 terpidana warga negara asing yaitu dari Belanda dan Brasil. Kemudian yang menjadi pertanyaan yaitu apakah eksekusi mati memiliki legitimasi sistem hukum Indonesia ataupun internasional dan apakah cara eksekusi harus dengan cara ditembak.

Komentar penulis:
Terkait dengan eksekusi mati ini sesuai dengan Undang-Undang tentang Narkotika Tahun 2009, terpidana harus dieksekusi mati karena terpidana sudah terbukti bersalah dan sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Mengenai 2 terpidana warga asing yang dieksekusi, tidak ada pengecualian terhadap terpidana karena seluruh warga yang berada di Indonesia sama di mata hukum,  baik warga negara Indonesia (WNI) ataupun warga negara asing (WNA).
Terkait terhadap legitimasi (sistem hukum dan cara pelaksanaan eksekusi tersebut, di Indonesia sudah memiliki dasar hukum yang kuat tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yaitu Undang-Undang No 2/PNPS/1964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
2.      Berikut ini kutipan paragraf 5 sampai 7
Kalangan yang tidak setuju pidana mati beralasan hukuman mati adalah sangat kejam, di luar perikemanusiaan, dan melanggar HAM, utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif serta efek jera untuk calon pelaku kejahatan. Lalu, bila di kemudian hari ditemukan kesalahan vonis, hukuman itu tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi. HaI ini bisa terjadi karena pengadilan di Indonesia belum terbukti bersih, independen, dan profesional.
Terkait dasar hukum, legalitas penolakan hukuman mati datang dari beberapa instrumen HAM internasional, antara lain, (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).
Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional, sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi 81 negara dan ditandatangani tiga negara lainnya. Protokol ini mewajibkan negara yang meratifikasinya (state parties) menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun praktiknya. Kondisi saat ini, sekitar 140 negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati atau kalaupun tidak menghapuskan, tapi sudah tidak mempraktikkannya lagi. Sisanya, 58 negara, termasuk Indonesia, masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya.
Kesimpulan:
Pada ketiga paragraf ini dapat disimpulkan bahwa penolakan terhadap hukuman mati dikarenakan hukuman mati dinilai sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar HAM, terutama hak hidup dan tidak menimbulkan efek edukatif serta efek jera untuk calon pelaku kejahatan. Kemudian pertimbangan terhadap apabila terjadi kesalahan vonis yang tidak dapat dikoreksi karena terpidana terlanjur dieksekusi, terkait dengan pengadilan di Indonesia belum terbukti bersih, independen dan profesional. Berikut dengan beberapa intrumen penolakan hukuman mati dari beberapa instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh 81 negara dan ditandatangani tiga negara lainnya.

Komentar penulis:
Menurut penulis, penolakan terhadap hukuman mati ini tidak begitu sesuai. Karena hukuman mati ini memiliki nilai efek jera yang lebih tinggi dari pada hukuman lain, hal ini menimbulkan efek edukatif serta efek jera terhadap calon pelaku kejahatan. Sehingga hukuman mati dapat diharapkan menekan timbulnya pelaku-pelaku dengan kasus yang sama, karena terkait dengan hukuman yang sangat berat terhadap terpidananya.
Terkait dengan legalitas penolakan hukuman mati dari beberapa instrumen HAM internasional, Indonesia termasuk 58 negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya.
3.      Berikut ini kutipan paragraf 8 sampai 11
Di Indonesia, legalitas hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pasal pembunuhan berencana, UU tentang Narkotika Tahun 2009, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1999 dan 2001, UU Pengadilan HAM No 26 Tahun 2000, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tahun 2003.
Di level masyarakat Indonesia, hukuman mati tidak menjadi isu serius karena banyak praktik adat dan kebiasaan di beberapa masyarakat Indonesia yang 'menoleransi pengadilan jalanan' sebagai bagian nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekatnya pengaruh hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (hadd/qishas).
Pengaturan ini membuat sebagian masyarakat Muslim Indonesia menganggap hukuman mati wajar adanya. Bagi sebagian korban dan keluarga korban tindak pidana, hukuman mati untuk pelaku justru dianggap memberikan keadilan bagi mereka dan tidak melanggar HAM.
Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998, Indonesia banyak melahirkan UU bernuasa HAM, antara lain, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, diIanjutkan dengan ratifikasi dua Kovenan Internasional, masing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada 2005.
Kesimpulan:
Di dalam empat paragraf tulisan Heru Susetyo ini dapat disimpulkan, masyarakat Indonesia memandang hukuman mati merupakan hukuman yang tidak begitu dipertentangkan. Karena, di Indonesia hidup nilai hukum kebiasaan dan adat yaitu salah satunya hukuman mati. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh hukum agama (hukum pidana Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia) yang mengenal hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu. Kemudian, sebagian korban dan keluarga korban tindak pidana justru menganggap pemberian hukuman mati adalah yang paling pantas terhadap terpidana dan tidak melanggar HAM.

Komentar penulis:
Dari kesimpulan di atas, hidupnya nilai hukum kebiasaan dan adat yaitu salah satunya hukuman mati dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan salah satu klasifikasi hukum di Indonesia menurut bentuknya yaitu hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan dan hukum adat).
Terkait dengan yang disebut permasalahan munculnya banyak Undang-Undang bernuansa HAM pada pascareformasi 1998, antara lain Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan ratifikasi dua Kovenan Internasional pada tahun 2005. Hal ini jika dipandang HAM terhadap korban tindak pidana, maka pantas kiranya hukuman mati tersebut dijatuhkan kepada terpidana. Mengenai terpidana narkotika, penulis juga menilai hukuman mati layak diberikan kepada terpidana, karena jika tidak diberikan hukum yang berat layaknya hukuman mati maka kasus yang serupa mungkin akan lebih banyak terjadi.
4.      Berikut ini kutipan paragraf 12 sampai 13
Permasalahannya, manajemen dan hukum acara eksekusi mati di Indonesia. Rata-rata terpidana mati harus menunggu lama sejak putusan pengadilan negeri sampai grasi ditolak dan eksekusi mati dilakukan. Mengapa harus memenjara orang hingga 20 tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga?
Terpidana mati di Surabaya, Sumiarsih dan Sugeng, harus menunggu sekitar 20 tahun sejak putusan pidana mati dari pengadilan negeri, hingga akhirnya dieksekusi mati. Lalu, terpidana mati kasus narkoba Namaona Denis (WN Malawi) harus menunggu 14 tahun sejak 2001, Marco Moreira (Brasil) menunggu 11 tahun sejak 2004, Daniel Enemuo (WN Nigeria) menunggu 11 tahun sejak 2004, dan Rani Andriani, asal Cianjur, divonis mati oleh PN pada 2000 dan baru dieksekusi mati 15 tahun kemudian.
Kesimpulan:
Di dalam dua paragraf ini jelas dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan hukum di Indonesia berjalan lambat. Rata-rata terpidana mati harus menunggu lama sejak putusan pengadilan negeri sampai grasi ditolak dan eksekusi mati dilaksanakan.

Komentar penulis:
Terkait hal ini hanya mengenai pelaksanaan hukum di Indonesia, kiranya pelaksanaan proses dan eksekusi dari putusan pengadilan dapat berjalan dengan cepat. Agar terpidana tidak menunggu lama, bahkan hingga 20 tahun.
5.      Berikut ini kutipan paragraf 14 sampai 15
Cara mengeksekusi mati juga pertu dikaji kembali. Apakah masih tepat menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok regu tembak kepolisian yang bekerja berdasarkan UU No 2/PNPS/7964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, ataukah ada cara Iain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati, kursi listrik, kamar gas beracun, digantung, ataupun dipenggal kepalanya, misalnya? Negara yang masih menerapkan pidana mati bervariasi dalam pilihan metode eksekusi ini. Maka, amat wajar apabila Indonesia meninjau kembali metode eksekusi mati, apalagi produk hukumnya sudah berusia lebih dari 50 tahun (UU No 2/PNPS/1964).
Apabila permasalahan di atas tidak dituntaskan, Indonesia akan terus kontroversi dan 'perang urat saraf' yang melebar tak lagi di ranah hukum, juga sosial dan politik, baik dalam maupun luar negeri. Apalagi, ada dua terpidana mati kasus BaIi Nine, warga Australia, negara yang telah menghapuskan hukuman mati sejak 1985.
Kesimpulan:
Berdasarkan tiga paragraf di atas, disimpulkan tata cara pelaksanaan eksekusi terpidana mati perlu di pertimbangkan yaitu eksekusi mati dengan menggunakan regu tembak berdasarkan UU No 2/PNPS/1964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Hal ini terkait dengan keefektifan cara eksekusi dan meringankan penderitaan terpidana disaat eksekusi terjadi, contoh alternatif lain dalam eksekusi yaitu suntikan mati, kursi listrik, kamar gas beracun, digantung ataupun dipenggal kepalanya.

Komentar penulis:
Mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia yang menggunakan tembakan oleh regu tembak kepolisian lebih baik dilaksanakan, karena beberapa alternatif lain yang digunakan oleh beberapa negara lain juga tidak terbukti efektif dalam meringankan penderitaan terpidana di dalam eksekusi mati.

D.     KESIMPULAN, KOMENTAR DAN SARAN SECARA UMUM
1.      Pengadilan di Indonesia perlu meningkatkan profesionalitasnya untuk membuktikan pengadilan di Indonesia bersih, independen dan profesional. Terkait tulisan Heru Susetyo yang menilai pengadilan di Indonesia belum terbukti bersih, independen dan profesional.
2.      Pelaksanaan hukum di Indonesia perlu meningkatkan efiensi waktu dalam pelaksanaan hukum, hal ini terkait dengan terpidana yang menunggu lama hingga dipenjara bertahun-tahun hingga akhirnya di eksekusi.
3.      Pelaksanaan hukuman mati tindak kejahatan narkotika di Indonesia mengalami banyak interfensi dari berbagai pihak, termasuk negara yang warganya dieksekusi mati di Indoensia. Namun menurut penulis hukuman mati ini pantas dilaksanakan di Indonesia, karena selain menimbang aturan yang sudah ditetapkan, juga karena narkotika dapat menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi disebabkan dampak penggunaan narkotika tersebut. Maka, wajar hukuman ini layak dilaksanakan untuk mengurangi dan memperingatkan kepada calon dan pengguna narkotika yang berada di Indonesia.