Selasa, 16 Juni 2015

Hukum Waris dalam Islam

Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys, hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang bermanfaat dapat menjadi AMAL JARIAH yang tidak terputus amal pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Hukum Waris dalam Islam. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka pada Jumat, 29 Mei 2015.

KLIK YA, mari kita ramaikan khasanah KARYA TULIS Indonesia...

Semoga dapat membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^



MAKALAH
AGAMA ISLAM

HUKUM WARIS DALAM ISLAM





Oleh :

YOGI SUDIRMAN
NPM. 1428.000.283





PROGRAM    STUDI    MANAJEMEN    SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
2015






BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang Penulisan
Pada dasarnya yang Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak. Sedangkan sumber utama dalam Hukum Waris Islam adalah Al Quran surat An-Nisa' ayat 11-12. Hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui, siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.
Mengingat pentingnya ilmu faraidh dalam kehidupan di dunia agar terwujud adil dalam waris dan warisan yang merupakan persiapan kehidupan akhirat nantinya. Maka penulis bermaksud menuliskan sebuah makalah tentang “Hukum Waris Dalam Islam” yang juga merupakan salah satu syarat dalam mata kuliah Agama Islam program sarjana di STIA LAN Jakarta tahun 2015.
Pembahasan makalah ini berdasarkan tinjauan pustaka dan buku referensi terutama penjelasan dari Dr. Muhtadin, MA dalam bukunya Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015). Dengan tambahan referensi berbasis online melalui media internet.
Penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca dan penulis khususnya dalam memahami hukum warisan dalam islam, yaitu pengertian, syarat, hukum, pembagian dan sebagainya mengenai waris dan warisan. Dengan keterbatasan ilmu dan pengetahuan penulis, disadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan yang butuh masukan agar dapat lebih baik di masa yang akan datang. Atas masukan yang diberikan diucapkan terima kasih.

B.     Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini berdasarkan tinjauan pustaka dan referensi-referensi yang ada, dengan pembahasan sebagai berikut:
1.      Pengertian Warisan/Harta Pusaka
2.      Hak-hak Mayat
3.      Sebab-sebab Mendapat dan Tidak Mendapat Warisan
4.      Ahli Waris
5.      Dzawil Furudh
6.      ‘Ashabah
7.      Hijab
8.      Cara Penghitungan Harta Pusaka





BAB II
PEMBAHASAN

Berikut ini penjelasan dari Dr. Muhtadin, MA dalam bukunya Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015), mengenai hukum waris dalam Islam:
A.     Pengertian Warisan/Harta Pusaka
Di dalam ajaran Islam apabila ada orang yang meninggal dunia dan ia mempunyai harta kekayaan yang ditinggalkan, harta kekayaan tersebut disebut harta pusaka/warisan. Dinamakan demikian karena harta tersebut menjadi hak ahli waris, yang wajib diwariskan kepada ahli waris tersebut sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Perbagian harta pusaka/warisan kepada ahli waris si mayat, di dalam syariat Islam ada ketentuan khusus untuk mengaturnya yang disebut “Faraidh”. Kata “Faraidh” adalah bentuk jama’ dari kata “Faridhah” yang artinya “ketentuan bagian” atau bagian yang telah ditentukan. Jadi faraidh artinya bagian tertentu dalam masalah pembagian harta pusaka si mayat bagi ahli waris yang berhak menerimanya.
Nabi Muhammad saw, memerintahkan kepada umat-Nya untuk mempelajari faraidh, bahkan diharuskan mengajarkannya kepada orang lain, apabila seseorang sudah memahaminya. Sesuai dengan sabda Nabi, sebagai berikut:
“Pelajarilah faraidh (pembagian harta warisan) dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku adalah seorang manusia yang akan dicabut nyawa, dan sesungguhnya ilmu itupun akan ikut tercabut pula dan juga akan lahir fitnah-fitnah sehingga terjadilah perselisihan antara dua orang karena hal warisan. Kemudian mereka berdua itu tidak akan mendapatkan orang yang akan memberi keputusan (terhadap masalah yang diperselisihkan itu) di antara mereka berdua”. H.R. Al-Hakim
Hadist lain Nabi, juga menyatakan sebagai berikut:
“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, sebab hal tersebut menjadi separuhnya ilmu dan dilupakan, lagi pula faraidh itu adalah ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umatku”. H.R. Ibnu Majah dan Ad Daruquthni

B.     Hak-hak Mayat
Hak-hak mayat adalah segala keperluan yang harus dikeluarkan untuk si mayat, sebelum pembagian warisan atau harta pusaka dibagikan kepada ahli waris. Berikut haknya:
1.      Biaya jenazah
Yaitu biaya pengurusan penyelenggaraan jenazah, mulai dari memandikan sampai penguburan. Contohnya, membeli kafan, biaya memandikan, mengubur dan sebagainya.
2.      Wasiat
Yaitu wasiat dari si mayat sewaktu hidupnya mengenai harta pusaka/warisan, misalnya dia mewasiatkan bahwa sebagian hartanya dihibahkan kepada anak angkatnya atau untuk membangun masjid. Maka wasiat tersebut wajib dilaksanakan terlebih dahulu apabila ia telah meninggal, namun wasiatnya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta pusakanya.
Berikut ini syarat melaksanakan wasiat:
a.      Jumlah kadar wasiat tidak boleh melebihi sepertiga (1/3) dari harta pusaka/warisan, bahkan diupayakan agar kurang dari sepertiga. Karena sepertiga itu sudah termasuk banyak. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw, sebagai berikut:
“Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: (Alangkah baiknya) Jika sekiranya orang-orang itu mau mengurangi (jumlah kadar wasiatnya) dari sepertiga menjadi seperempat dari harta pusakanya, karena sesunggungnya Rasulullah saw, bersabda: Wasiat itu sepertiga sudah banyak”. H.R. Buhori dan Muslim
b.      Wasiat tidak boleh kepada ahli waris yang akan mendapat bagian harta pusaka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, sebagai berikut:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. H.R. Imam lima kecuali Imam Nasai
Sebagian ulama membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat harus dimusyawarahkan di antara seluruh ahli waris untuk mengambil manfaat tentang boleh/sah atau tidaknya wasiat tersebut.
3.      Hutang
Yaitu hutang yang dimiliki si mayat sewaktu hidupnya, baik hutang kepada sesama manusia maupun hutang kepada Allah SWT (seperti nadzar), sampai ia meninggal belum sempat ia lunasi. Maka pembayaran hutangnya harus didahulukan/dibayarkan yang biayanya diambilkan dari harta pusaka tersebut sebelum dibagi warisannya, begitu juga masalah zakat hartanya juga diselesaikan terlebih dahulu.
Apabila biaya pengurusan jenazah sudah beres, wasiat sudah ditunaikan dan hutang-hutangnya juga sudah diselesaikan dengan baik, maka barulah melaksanakan pembagian harta pusaka/warisan tersebut secara ilmu faraidh.

C.     Sebab-sebab Mendapat dan Tidak Mendapat Warisan
Sebab-sebab yang berhak menerima pusaka menurut adat kebiasaan jahiliyah, semuanya tidak ada yang sesuai dengan kehendak syariat Islam. Oleh sebab itu, menurut syariat Islam sebab-sebab yang berhak menerima harta pusaka/warisan adalah sebagai berikut:
a.      Sebab-sebab berhak mendapat warisan
1.      Sebab nasab (hubungan keluarga),
Sebab mendapat warisan karena nasab (hubungan keluarga) sesuai dengan Al-Qur’an, surat An Nisa’ ayat 7 artinya sebagai berikut:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. Q.S An-Nisa’ 4 : 7
2.      Sebab nikah (perkawinan),
Dari sebab inilah lahirnya istilah-istilah dalam, seperti Dzawil Furudh, Ashabah dan sebagainya.
3.      Sebab jalan memerdekakan hamba sahaya,
Tuan atau sayyid yang memerdekakan hamba sahayanya, apabila hamba sahaya yang dimerdekakan itu meninggal dunia, maka tuan atau sayyidnya itu berhak menerima harta pusaka/warisan peninggalan hamba sahaya yang meninggal itu. Hal ini Rasulullah saw, bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya hak menerima harta pusaka itu bagi yang memerdekakan”. H.R. Buhori dan Muslim
4.      Sebab Hubungan Agama
Hal ini terjadi apabila orang yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris, sedangkan dia meninggalkan harta pusaka, seseorang yang meninggal itu mempunyai ahli waris hanya seorang saja yang tidak bisa menghabiskan semua harta pusaka.
Misalnya seorang suami atau seorang istri, ahli waris yang lain tidak ada. Maka bagi orang yang sama sekali tidak mempunyai ahli waris, semua harta pusakanya setelah diambil untuk pengurusan penyelenggaraan jenazah, melunasi hutangnya dan menunaikan wasiatnya, harus diserahkan kepada Baitul Maal atau Bank Negara atau Lembaga Sosial, untuk kepentingan umat Islam sebagai warisan dari yang meninggal itu. Begitu juga bagi yang ahli warisnya hanya satu, maka sisa harta pusakanya harus diserahkan kepada lembaga-lembaga tersebut di atas. Kelau lembaga-lembaga tersebut belum teratur dengan baik atau para pengurusnya diragukan dalam kejujuran dan keadilannya, maka harta warisan itu harus diserahkan kepada seseorang muslim yang ahli, adil dan bijaksana supaya dapat menyalurkan untuk kemaslahatan umat Islam.
Dengan demikian, maka umat Islam menjadi ahli waris dari orang-orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi hanya satu saja dan tidak menjadi ashabah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw, sebagai berikut:
“Saya adalah pewaris bagi orang yang tidak berahli waris”. H.R. Ahmad dan Abu Daud
Hadist ini menyatakan bahwa Nabi sebagai pewaris dari orang yang tidak berahli waris, namun maksudnya adalah untuk kepentingan umum.
b.     Sebab-sebab tidak berhak mendapat warisan
Ada orang yang tidak berhak menerima warisan meskipun mereka adalah ahli waris. Hal ini dikarenakan adanya sebab-sebab sebagai berikut:
1.      Hamba
Seorang hamba  tidak mendapat bagian dari peninggalan orang tuanya, selama ia masih berstatus hamba, demikian pula harta tuannya (sayyidnya). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“Hamba sahaya yang dimiliki, tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun juga”. Q.S. An-Nahl : 75
2.      Pembunuh
Orang yang membunuh keluarganya tidak akan mendapat harta pusaka dari orang yang dibunuh itu. Hal ini Nabi pernah menyatakan sebagai berikut:
“Tidaklah mewarisi orang yang membunuh itu dari orang yang dibunuhnya”. H.R. Nasai
3.      Murtad
Orang yang keluar dari agama Islam tidak dapat harta pusaka dari keluarganya yang memeluk agama Islam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, sebagai berikut:
“Dari Abu Burdah ra, ia berkata: Aku diutus Rasulullah saw, kepada seorang laki-laki yang kawin dengan istri bapaknya, maka beliau menyuruh aku supaya membunuh laki-laki itu dan merampas hartanya, sedang laki-laki tersebut dalam keadaan murtad”
4.      Kafir
Seseorang kafir tidak berhak menerima harta pusaka dari keluarganya yang memeluk agama Islam, begitu pula sebaliknya, orang Islam tidak berhak pula mendapat harta pusaka dari keluarganya yang kafir. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, sebagai berikut:
“Tidak mewarisi seseorang muslim terhadap harta pusakanya seorang kafir, demikian pula seorang kafir tidak juga mewarisi harta pusakanya orang muslim”. H.R. Buhori dan Muslim
Hadist ini menjelaskan bahwa seorang ayah yang memeluk agama Islam, dia meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka, sedangkan anaknya kafir, anak yang kafir tersebut tidak berhak menerima warisan dari harta peninggalan ayahnya yang beragama Islam tersebut. Sebaliknya apabila ayahnya itu kafiir, sedangkan anaknya itu Islam, maka anaknya yang muslim itu tidak berhak menerima harta pusaka dari bapaknya yang masih kafir tersebut.

D.     Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang menjadi ahli dari seseorang yang meninggal dunia seluruhnya ada dua puluh lima orang, yaitu terdiri dari lima belas orang laki-laki dan sepuluh orang perempuan.
1.      Ahli waris laki-laki
1)      Anak laki-laki
2)      Anak laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3)      Bapak
4)      Kakek dari bapak dan seterusnya ke atas, atas pertaliannya belum putus dari bapak
5)      Saudara laki-laki kandung
6)      Saudara laki-laki sebapak
7)      Saudara laki-laki seibu
8)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10)   Saudara laki-laki bapak yang sekandung
11)   Saudara laki-laki bapak yang sebapak
12)   Anak laki-laki saudara laki-laki bapak yang sekandung
13)   Anak laki-laki saudara laki-laki bapak yang sebapak
14)   Suami
15)   Laki-laki yang memerdekakannya
Apabila ahli waris yang lima belas itu ada semua, maka yang berhak menerima harta pusaka hanya tiga orang saja, yaitu:
a.      Anak laki-laki
b.      Suami, dan
c.      Bapak

2.      Ahli waris perempuan
1)      Anak perempuan
2)      Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannya dengan yang meninggal terus masih laki-laki
3)      Ibu
4)      Ibu dari bapak
5)      Ibu dari ibu terus ke atas dari pihak ibu sebelum berselang dengan laki-laki
6)      Saudara perempuan kandung
7)      Saudara perempuan sebapak
8)      Saudara perempuan seibu
9)      Istri
10)   Perempuan yang memerdekakannya
Apabila ahli waris perempuan yang sepuluh itu ada semuanya, maka yang berhak menerima harta pusaka ada lima orang, yaitu:
a.      Istri
b.      Anak perempuan
c.      Anak perempuan dari anak laki-laki
d.      Ibu
e.      Saudara perempuan yang sekandung
Adapun anak yang masih dalam kandungan ibunya, tetap dia mendapat harta pusaka dari keluarganya yang meninggal, sebagaimana sabda Nabi saw, sebagai berikut:
“Apabila menangis anak yang baru dilahirkan itu, ia mendapat harta pusaka”. H.R. Abu Daud
Pada garis besarnya ahli waris itu ada tiga kelompok, yaitu:
1)      Dzawil Furudh
Adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang meninggal dunia, dan mereka mempunyai bagiian harta pusaka/warisan yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
2)      ‘Ashabah
Adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan yang meninggal dunia, dan mereka akan menerima bagian sisa atau seluruh harta pusaka/warisan.
3)      Dzawil Arham
Adalah orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang meninggal, tetapi mereka termasuk dzawil furudh atau ‘ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dan anak perempuan dan sebagainya.

E.      Dzawil Furudh
Jumlah bagian harta pusaka/warisan yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an itu ada enam macam, yaitu:
1)      Seperdua (1/2)
2)      Seperempat (1/4)
3)      Seperdelapan (1/8)
4)      Dua pertiga (2/3)
5)      Sepertiga (1/3)
6)      Seperenam (1/6)
Berikut ini penjelasan dari pembagian harta pusaka/warisan berdasarkan jumlah bagian harta.
1.      Ahli waris yang berhak mendapatkan seperdua (1/2)
Orang yang berhak mendapat bagian harta warisan seperdua/separo itu ada lima orang, yaitu:
1)      Suami
Seorang suami berhak untuk mendapat bagian seperdua dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh istri, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“Dan bagi kalian (para suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ...” Q.S. An-Nisa’ 4 : 12
2)      Anak perempuan (kandung)
Anak perempuan mendapat seperdua dengan syarat:
a.  Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Jadi anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
b.    Anak perempuan tersebut adalah anak tunggal, Jadi anak tersebut tidak mempunyai saudara.
3)      Cucu perempuan dari anak laki-laki
Cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat seperdua dengan syarat:
a.      Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki
b.      Apabila hanya seorang. Jadi anak tunggal
c.      Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau anak laki-laki
4)      Saudara perempuan sekandung
Saudara perempuan sekandung mendapat bagian seperdua dengan syarat:
a.      Ia tidak mempunyai saudara laki-laki
b.      Ia hanya sendiri. Jadi saudara perempuan tunggal
c.      Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki atau perempuan
5)      Saudara perempuan seayah
Saudara perempuan seayah mendapat bagian seperdua dengan syarat:
a.      Apabila tidak mempunyai saudara laki-laki
b.      Apabila ia hanya seorang diri atau saudara tunggal
c.      Pewaris tidak mempunyai saudara perempuan sekandung
d.      Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan baik dari anak laki-laki atau perempuan

2.      Ahli waris yang berhak mendapat seperempat (1/4)
Ahli waris yang mendapat bagian seperempat adalah:
1)      Suami
Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan oleh istrinya dengan syarat apabila istri tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki. Anak atau cucu tersebut baik dari darah dagingnya sendiri atau dari suami yang lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya ...”
2)      Istri
Seorang istri akan mendapat bagian seperempat dari harta peninggalan suaminya dengan dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut dari rahimnya sendiri maupun dari istri yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu (suami) tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ...”
3.      Ahli waris yang berhak mendapat seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang berhak mendapat seperdelapan hanya seorang saja, yaitu istri dengan syarat apabila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari istri yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah hutang-hutangnya ...”
4.      Ahli waris yang berhak mendapat dua pertiga (2/3)
Ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga ada empat orang, dan semuanya terdiri dari wanita. Mereka adalah:
1)      Dua anak perempuan sekandung atau lebih
Dua anak perempuan sekandung atau leibh mendapat dua pertiga dengan syarat mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ...”
2)      Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
Mereka mendapat bagian dua pertiga dengan syarat:
a.      Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki maupun perempuan
b.      Pewaris tidak mempunyai dua orang anak perempuan sekandung
c.      Dua cucu perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki
3)      Dua saudara perempuan kandung atau lebih
Mereka mendapat bagian dua pertiga dengan syarat:
a.      Pewaris tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan, dan juga tidak mempunyai ayah atau kakek
b.      Dua saudara perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki
c.      Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... tetapi jika saudara perempuan itu dua orangg, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ...”
4)      Dua saudara perempuan seayah atau lebih
Mereka mendapat bagian dua pertiga dengan syarat:
a.      Pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek
b.      Mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
c.      Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung, baik laki-laki atau perempuan

5.      Ahli waris yang berhak mendapat sepertiga (1/3)
Ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga adalah:
1)      Ibu
Seorang ibu berhak mendapat bagian sepertiga, dengan syarat:
a.      Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan laki-laki
b.      Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, sekandung atau seayah atau seibu. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... dan jika yang meninggal tidak mempunyai anak, dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga ...”
“... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam ...”
2)      Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih
Mereka mendapat bagian sepertiga dengan syarat:
a.      Pewaris tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan, dan juga tidak mempunyai bapak atau kakek.
b.      Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut
“... Jika seseorang meninggal dunia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mempunyai bapak dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga.”
6.      Ahli waris yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6)
Ahli waris yang berhak mendapat bagian seperenam itu ada tujuh orang, yaitu:
1)      Bapak
Seorang bapak akan mendapat bagian seperenam, apabila pewaris mempunyai anak, baik laki-laki maupun merempuan, atau cucu dari keturunan anak laki-laki (baik cucu laki-laki atau perempuan). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ...”
2)      Kakek (bapak dari bapak)
Kakek akan mendapat bagian seperenam, apabila pewaris mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau cucu dari keturunan anak laki-laki, dan bapak tidak ada. Jadi kakek disini sebagai pengganti bapak.
3)      Ibu
Ibu akan mendapat bagian seperenam dengan syarat:
a.      Pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki
b.      Pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu
4)      Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki
Ia mendapat bagian seperenam, apabila pewaris mempunyai anak tunggal perempuan. Akan tetapi apabila pewaris mempunyai anak perempuan dua atau lebih, maka cucu perempuan tersebut tidak mendapat bagian. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah saw, sebagai berikut:
“Nabi saw, pernah memberikan seperenam kepada cucu perempuan dari anak laki-laki, beserta ada anak perempuan”. H.R. Buhori
Jadi cucu perempuan akan mendapat bagian seperenam, dengan syarat:
a.      Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, sebab kalau ada anak laki-laki, maka anak laki-laki tersebut sebagai penghalang cucu perempuan dari anak laki-laki
b.      Pewaris tidak mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab kalau ada anak perempuan lebih dari satu, maka mereka mendapat bagian dua pertiga (2/3), dan mereka sekaligus penghalang cucu perempuan dari anak laki-laki tersebut
5)      Saudara perempuan sebapak satu orang atau lebih
Ia mendapat bagian seperenam dengan syarat, bahwa pewaris mempunyai seorang saudara perempuan sekandung. Sebab kalau pewaris ada dua saudara sekandung atau lebih, maka ia tidak akan mendapat bagian
6)      Saudara laki-laki atau perempuan seibu.
Ia mendapat bagian seperenam, apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris kecuali hanya ia.
7)      Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak)
Ia mendapat seperenam, apabila pewaris tidak mempunyai ibu. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah saw, sebagai berikut:
“Sesungguhnya Nabi saw, telah menetapkan bagian nenek seperenam bagian dari harta warisan”.
Jika nenek dari pihak bapak dan pihak ibu masih ada, maka kedua-duanya mendapat bagian yang sama, dari bagian seperenam itu.

Dalam pembagian harta warisan dimulai memberikan bagian kepada ahli waris Dzawil Furudh atau Ashhabul Furudh, kemudia kalau masih ada sisa diberikan kepada ‘Ashabah. Apabila tidak ada ‘Ashabah, maka sisa tersebut dilakukan Radd, atau diserahkan kepada Baitul Mal.

F.      ‘Ashabah
Ahli waris ‘Ashabah ialah ahli waris yang berhak mendapat sisa atau semua harta pusaka/ warisan. Ahli waris ‘ashabah ada tiga macam, yaitu:
1.      ‘Ashabah bin nafsi
‘Ashabah bin nafsi adalah ahli waris yang langsung menjadi ‘ashabah tanpa disebabkan oleh ahli waris yang lain. Adapun ahli waris yang langsung menjadi ‘ashabah bin nafsi secara urut adalah sebagai berikut:
1)      Anak laki-laki
2)      Cucu laki-laki dari anak laki-laki, terus ke bawah, asal saja pertaliannya masih laki-laki
3)      Bapak
4)      Bapak dari bapak (kakek) dari pihak bapak, dan terus ke atas asal saja pertariannya belum putus dari pihak bapak.
5)      Saudara laki-laki sekandung
6)      Saudara laki-laki sebapak
7)      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8)      Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
9)      Saudara laki-laki bapak yang sekandung
10)   Saudara laki-laki bapak yang sebapak
11)   Anak laki-laki saudara laki-laki bapak yang sekandung
12)   Anak laki-laki saudara laki-laki bapak yang sebapak
Apabila ahli waris ‘ashabah bin nafsi ini semuanya ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi mereka yang akan mendapat bagian adalah ahli waris yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris. Jadi penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut di atas.
2.      ‘Ashabah bin ghair
‘Ashabah bin ghair yaitu orang (anak perempuan) menjadi ‘ashabah karena terbawa oleh ‘ashabah bin nafsi. Mereka adalah:
a.      Anak perempuan, mereka akan menjadi ‘ashabah apabila bersamaan dengan saudara laki-lakinya
b.      Cucu perempuan dari anak laki-laki, mereka menjadi ‘ashabah apabila bersamaan dengan saudara laki-lakinya
c.      Saudara perempuan sekandung, mereka akan menjadi ‘ashabah apabila bersamaan dengan saudara laki-lakinya
d.      Saudara perempuan seayah juga akan menjadi ‘ashabah, apabila bersamaan dengan saudara laki-lakinya juga.
Adapun pembagiannya adalah bahwa anak laki-laki mendapat dua bagian dari anak perempuan.
3.      ‘Ashabah ma’al ghair
‘Ashabah ma’al ghair yaitu ahli waris menjadi ‘ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain. Seperti saudara perempuan sekandung atau sebapak menjadi ‘ashabah karena bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Jadi saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah apabila berbarengan dengan anak perempuan dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya, maka ia akan menjadi ‘Ashabah ma’al ghair.

Berikut ini contoh pembagian warisan, tersebut:
Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia, ia meninggalkan ahli waris: anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki sebapak, maka pembagiannya adalah:
-        Anak perempuan                      = seperdua (1/2)
-        Saudara perempuan = ‘ashabah ma’al ghair
-        Saudara laki-laki sebapak       = tidak dapat (terhalang)

Contoh Kedua
Mayat meninggalkan ahli waris: suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki sebapak. Maka pembagiannya adalah:
-        Suami                                                         = seperempat (1/4)
-        Cucu perempuan                                     = seperdua (1/2)
-        Saudara perempuan sekandung           = ‘ashabah ma’al ghair
-        Saudara laki-laki sebapak                      = tidak mendapat (terhalang)
Contoh Ketiga
Mayat meninggalkan ahli waris: dua orang anak perempuan, saudara perempuan sebapak dan anak laki-laki dari saudara laki-laki. Maka pembagiannya adalah:
-        Dua anak perempuan                             = dua pertiga (2/3)
-        Saudara perempuan sebapak               = ‘ashabah ma’al ghair
-        Anak laki-laki dari saudara laki-laki     = tidak mendapat (terhalang)

Contoh Keempat
Mayat meninggalkan ahli waris: seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan sebapak, dan saudara laki-laki bapak (paman). Maka pembagiannya adalah:
-        Anak perempuan                                     = seperdua (1/2)
-        Cucu perempuan                                     = seperenam (1/6)
-        Ibu                                                              = seperenam (1/6)
-        Saudara perempuan sebapak               = ‘ashabah ma’al ghair
-        Saudara laki-laki sebapak                      = tidak mendapat (terhalang)

G.     Hijab
Pengertian hijab menurut kalangan ulama Faraidh ialah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima harta pusaka/warisan, baik secara keseluruhan atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih dekat/berhak untuk menerimanya. Istilah lain hijab adalah halangan atau rintangan untuk mendapat warisan bagi sebagian ahli waris yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal itu.
a.      Macam-macam hijab
1.      Hijab bil washfi
Yaitu orang yang terkena hijab tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan. Misalnya orang yang membunuh pewarisnya, murtad dan kafir. Hak waris mereka menjadi gugur atau terhalang.
2.      Hijab bi syahshi
Yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya.
Hijab bi syahshi ini ada dua macam, yaitu:
1)      Hijab hiraman, ialah penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Misalnya terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya bapak, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara sebapak karena adanya saudara kandung, terhalang hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
2)      Hijab nuqshan, ialah penghalang terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya penghalang terhadap ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam diisebabkan pewaris mempunyai anak. Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapat setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.

b.     Ahli waris yang tidak terkena hijab hiraman
Ahli waris yang tidak mungkin terkena hijab hirman itu ada enam orang yaitu anak laki-laki sekandung, anak perempuan sekandung, bapak, ibu, suami dan istri. Bila mayat meninggalkan salah satu atau bahkan keenam ini, maka semuanya harus mendapatkan warisan.
c.      Ahli waris yang dapat terkena hijab hiraman
Ahli waris yang dapat terkena hijab hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Ahli waris dari laki-laki yang terkena hijab hiraman adalah sebagai berikut:
1.      Kakek (bapak dari bapak) terhalang oleh adanya bapak
2.      Saudara laki-laki sekandung akan terhalang oleh adanya bapak, dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit dan seterusnya)
3.      Saudara laki-laki seayah akan terhalang adanya saudara laki-laki sekandung, juga terhalang oleh adanya saudara perempuan sekandung yang akan menjadi ‘ashabah ma’al ghair, dan juga terhalang oleh adanya bapak dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit dan seterusnya)
4.      Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalang oleh pokok (bapak, kakek, dan seterusnya), dan juga terhalang oleh cabang (anak, cucu, cicit dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun perempuan
5.      Cucu laki-laki dari keturunan laki-laki, akan terhalang oleh adanya anak laki-laki. Demikian pula para cucu akan terhalang oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat dengan mayat)
6.      Anak saudara laki-laki sekandung (keponakan) akan terhalang oleh bapak dan kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki kandung serta saudara laki-laki seayah.
7.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (keponakan) akan terhalang oleh orang yang menghalangi keponakan (dari anak saudara laki-laki sekandung), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara laki-laki sekandung
8.      Saudara laki-laki bapak yang sekandung (paman kandung bapak), akan terhalang adanya anak laki-laki dari saudara laki-laki, juga terhalang oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
9.      Saudara laki-laki bapak yang seayah (paman) akan terhalang oleh sosok yang menghalang paman kandung, dan juga adanya paman kandung
10.   Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang sekandung (sepupu) akan terhalang oleh adanya paman sebapak, dan sosok yang menghalangi paman sebapak
11.   Sepupu laki-laki (anak paman sebapak) akan terhalang oleh anak paman yang sekandung, dan dengan adanya sosok yang menghalang sepupu laki-laki (anak paman kandung)
Sedangkan, ahli waris perempuan yang terkena hijab hirman ada sebagai berikut:
1.      Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) akan terhalang dengan adanya ibu
2.      Anak perempuan dari keturunan anak laki-laki (cucu perempuan) akan terhalang oleh anak laki-laki, baik cucu itu seorang atau lebih. Selain itu juga terhalang oleh adanya dua orang anak perempuan atau lebih, kecuali jika ada ‘ashabah
3.      Saudara perempuan sekandung terhalang oleh bapak, anak, cucu, cicit dan seterusnya (semuanya laki-laki)
4.      Saudara perempuan sebapak akan terhalang oleh saudara perempuan sekandung jika ia menjadi ‘ashabah ma’al ghair. Selain itu juga terhalang oleh bapak, dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya khusus dari laki-laki), serta terhalang olehdua orang saudara perempuan sekandung bila keduanya menyempurnakan bagian dua pertinga (2/3), kecuali bila adanya ‘ashabah
5.      Saudara perempuan seibu akan terhalang oleh adanya pokok laki-laki (bapak, kakek, dan seterusnya) baik laki-laki maupun perempuan

H.     Cara Penghitungan Harta Pusaka
Mengetahui “pokok permasalahan” merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraidh. Hal ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama faraidh tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu diketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya mengetahui apakah ahli waris yang ada itu semuanya hanya ‘ashabah, atau semuanya dzawil furudh, atau gabungan antara ‘ashabah dengan dzawil furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari ‘ashabah, maka pokok permasalahannya dihitung per kepala, jika semuanya anak laki-laki. Misalnya seseorang meninggal dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok permasalahannya dari lima, atau seseorang wafat hanya meninggalkan ahli waris sepuluh saudara laki-laki sekandung, maka pokok masalahnya juga sepuluh dan seterusnya.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka setiap satu anak laki-laki dihitung dua bagian anak perempuan. Misalnya seseorang wafat, meninggalkan lima orang anak, terdiri dari dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan, maka pokok masalahannya menjadi tujuh. Contoh lain, misalnya mayat meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya menjadi sebelas, dan seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari dzawil furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, mayat meninggalkan ahli waris seorang suami dan saudara perempuan sekandung. Maka pokok masalahnya menjadi dua. Karena suami mendapat bagian seperdua (1/2), sedangkan saudara perempuan sekandung juga seperdua (1/2). Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama, misalnya masing-masing mendapat seperenam, maka pokok masalahnya dari enam. Apabila ahli waris semuanya berhak menerima sepertiga, maka pokok masalahnya juga sepertiga, dan seterusnya.



Jika pewaris yang ditinggalkan terdiri dari banyak bagian yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak seperdua, ada seperempat, seperenam dan sebagainya, maka kita harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadahillah (saling berpadu) atau mutabayinah (saling berbeda). Untuk menjelaskan masalah ini para ulama ilmu faraidh membagi menjadi dua kaidah yaitu:
                         I.   Pertama       : bagian seperdua (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8)
                       II.   Kedua           : bagian dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6)
Apabila pada dzawil furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, dan 1/8), berarti pokok permasalahannya yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya mendapat bagian seperdua dan seperempat, maka pokok masalahnya dari empat. Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya mendapat sepertiga, dua pertiga dan seperenam, maka pokok masalahnya adalah enam.
Akan tetapi apabila keadaan ahli warisnya bercampur antara dzawil furudh kelompok pertama dan kedua, maka diperlukan kaidah lain untuk mengetahui pokok masalah tersebut. Kaidah tersebut adalah:
1.      Apabila dalam suatu keadaan, dzawil furudh seperdua (kelompok pertama), bercampur dengan kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok permasalahannya adalah 6 (enam).
2.      Apabila dalam suatu keadaan, dzawil furudh seperempat (kelompok pertama), bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalah adalah 12 (dua belas).
3.      Apabila dalam suatu keadaan, dzawil furudh seperdelapan (kelompok pertama), bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalahnya adalah 24 (dua puluh empat)
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, maka Dr. Muhtadin, MA menuliskan beberapa contoh sebagai berikut:
a.      Seorang meninggal dunia, ia meninggalkan ahli waris: suami, saudara laki-laki seibu, ibu dan paman kandung. Maka bagian mereka adalah:
1)      Suami                                  = seperdua (1/2)
2)      Saudara laki-laki seibu       = seperenam (1/6)
3)      Ibu                                       = sepertiga (1/3)
4)      Paman kandung                  = ‘ashabah
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama dan kedua, yaitu seperdua (1/2), sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6). Maka pokok masalahnya adalah enam (6). Jadi bagian mereka adalah:
1)      Suami (1/2)                                 = 3
2)      Saudara laki-laki seibu (1/6)       = 1
3)      Ibu  (1/3)                                      = 2
4)      Paman kandung (‘ashabah)         = 0
                       Jumlah                 = 6




b.      Mayat meninggalkan ahli waris: istri, ibu, dua saudara laki-laki seibu dan saudara laki-laki kandung. Maka bagiannya adalah:
1)      Istri                                                     = seperempat (1/4)
2)      Ibu                                                      = seperenam (1/6)
3)      Dua saudara laki-laki seibu               = sepertiga (1/3)
4)      Saudara laki-laki sekandung             = ‘ashabah
Pokok masalahnya adalah : dua belas (12). Jadi bagiannya adalah:
1)      Istri  (1/4)                                                           = 3
2)      Ibu  (1/6)                                                            = 2
3)      Dua saudara laki-laki seibu (1/3)                       = 4
4)      Saudara laki-laki sekandung (‘ashabah)            = 3
                       Jumlah                                        = 12





BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Di dalam ajaran Islam, orang yang meninggal dunia dan ia mempunyai harta kekayaan yang ditinggalkan, harta kekayaan tersebut disebut harta pusaka/warisan. Dinamakan demikian karena harta tersebut menjadi hak ahli waris, yang wajib diwariskan kepada ahli waris tersebut sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
2.      Sebelum pembagian warisan atau harta pusaka dibagikan kepada ahli waris harus  mengeluarkan/ menyelesaikan hak-hak mayat, yaitu segala keperluan yang harus dikeluarkan untuk si mayat.
3.      Sebab-sebab yang berhak menerima pusaka menurut adat kebiasaan jahiliyah, semuanya tidak ada yang sesuai dengan kehendak syariat Islam. Oleh sebab itu, menurut syariat Islam sebab-sebab yang berhak menerima harta pusaka diatur dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.
4.      Ahli waris adalah orang-orang yang menjadi ahli dari seseorang yang meninggal dunia seluruhnya ada dua puluh lima orang, yaitu terdiri dari lima belas orang laki-laki dan sepuluh orang perempuan.
5.      Jumlah bagian harta pusaka/warisan yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an itu ada enam macam, yaitu; seperdua (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
6.      Ahli waris ‘Ashabah ialah ahli waris yang berhak mendapat sisa atau semua harta pusaka/ warisan.
7.      Pengertian hijab menurut kalangan ulama Faraidh ialah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima harta pusaka/warisan, baik secara keseluruhan atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih dekat/berhak untuk menerimanya. Istilah lain hijab adalah halangan atau rintangan untuk mendapat warisan bagi sebagian ahli waris yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal itu.
8.      Untuk mengetahui pokok masalah dalam menghitung pembagian harta pusaka/warisan, terlebih dahulu perlu diketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya mengetahui apakah ahli waris yang ada itu semuanya hanya ‘ashabah, atau semuanya dzawil furudh, atau gabungan antara ‘ashabah dengan dzawil furudh.
Demikianlah pentingnya mengetahui Hukum Waris sebagai suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, termasuk juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.

REFERENSI:
Al-Qur’an al-Karim

Dr. Muhtadin, MA. 2015. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)