Kata
Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys, hari ini
mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang
bermanfaat dapat menjadi AMAL JARIAH yang tidak terputus amal
pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Hukum Waris dalam Islam. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka pada Jumat, 29
Mei 2015.
KLIK YA, mari kita
ramaikan khasanah KARYA TULIS Indonesia...
Semoga dapat membantu
serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar
sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^
MAKALAH
AGAMA ISLAM
HUKUM WARIS DALAM ISLAM
Oleh :
YOGI SUDIRMAN
NPM. 1428.000.283
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Penulisan
Pada
dasarnya yang Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta
seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak. Sedangkan sumber
utama dalam Hukum Waris Islam adalah Al Quran surat An-Nisa' ayat 11-12. Hukum Waris
Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang diketahui, siapa yang berhak mendapat
waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli
waris.
Mengingat
pentingnya ilmu faraidh dalam kehidupan di dunia agar terwujud adil dalam waris
dan warisan yang merupakan persiapan kehidupan akhirat nantinya. Maka penulis
bermaksud menuliskan sebuah makalah tentang “Hukum Waris Dalam Islam”
yang juga merupakan salah satu syarat dalam mata kuliah Agama Islam program
sarjana di STIA LAN Jakarta tahun 2015.
Pembahasan
makalah ini berdasarkan tinjauan pustaka dan buku referensi terutama penjelasan
dari Dr. Muhtadin, MA dalam bukunya Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi (2015). Dengan tambahan referensi berbasis online melalui media
internet.
Penulisan makalah
ini diharapkan dapat membantu pembaca dan penulis khususnya dalam memahami
hukum warisan dalam islam, yaitu pengertian, syarat, hukum, pembagian dan
sebagainya mengenai waris dan warisan. Dengan keterbatasan ilmu dan pengetahuan
penulis, disadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan yang butuh
masukan agar dapat lebih baik di masa yang akan datang. Atas masukan yang
diberikan diucapkan terima kasih.
B. Sistematika
Penulisan
Penulisan makalah ini berdasarkan tinjauan pustaka
dan referensi-referensi yang ada, dengan pembahasan sebagai berikut:
1.
Pengertian Warisan/Harta Pusaka
2. Hak-hak Mayat
3. Sebab-sebab Mendapat dan Tidak Mendapat Warisan
4. Ahli Waris
5. Dzawil Furudh
6. ‘Ashabah
7. Hijab
8. Cara Penghitungan Harta Pusaka
BAB II
PEMBAHASAN
Berikut ini penjelasan dari Dr. Muhtadin, MA dalam
bukunya Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015), mengenai hukum waris
dalam Islam:
A.
Pengertian Warisan/Harta Pusaka
Di dalam ajaran Islam apabila ada orang yang
meninggal dunia dan ia mempunyai harta kekayaan yang ditinggalkan, harta
kekayaan tersebut disebut harta pusaka/warisan. Dinamakan demikian karena harta
tersebut menjadi hak ahli waris, yang wajib diwariskan kepada ahli waris
tersebut sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Perbagian harta pusaka/warisan kepada ahli waris si
mayat, di dalam syariat Islam ada ketentuan khusus untuk mengaturnya yang
disebut “Faraidh”. Kata “Faraidh” adalah bentuk jama’ dari kata “Faridhah” yang
artinya “ketentuan bagian” atau bagian yang telah ditentukan. Jadi faraidh
artinya bagian tertentu dalam masalah pembagian harta pusaka si mayat bagi ahli
waris yang berhak menerimanya.
Nabi Muhammad saw, memerintahkan kepada umat-Nya
untuk mempelajari faraidh, bahkan diharuskan mengajarkannya kepada orang lain,
apabila seseorang sudah memahaminya. Sesuai dengan sabda Nabi, sebagai berikut:
“Pelajarilah faraidh (pembagian
harta warisan) dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku adalah
seorang manusia yang akan dicabut nyawa, dan sesungguhnya ilmu itupun akan ikut
tercabut pula dan juga akan lahir fitnah-fitnah sehingga terjadilah
perselisihan antara dua orang karena hal warisan. Kemudian mereka berdua itu
tidak akan mendapatkan orang yang akan memberi keputusan (terhadap masalah yang
diperselisihkan itu) di antara mereka berdua”. H.R. Al-Hakim
Hadist lain Nabi, juga menyatakan sebagai berikut:
“Pelajarilah faraidh dan
ajarkanlah kepada orang lain, sebab hal tersebut menjadi separuhnya ilmu dan
dilupakan, lagi pula faraidh itu adalah ilmu yang pertama kali akan dicabut dari
umatku”. H.R. Ibnu Majah dan Ad Daruquthni
B.
Hak-hak Mayat
Hak-hak mayat adalah segala keperluan yang harus
dikeluarkan untuk si mayat, sebelum pembagian warisan atau harta pusaka
dibagikan kepada ahli waris. Berikut haknya:
1.
Biaya jenazah
Yaitu biaya pengurusan penyelenggaraan jenazah,
mulai dari memandikan sampai penguburan. Contohnya, membeli kafan, biaya
memandikan, mengubur dan sebagainya.
2.
Wasiat
Yaitu wasiat dari si mayat sewaktu hidupnya mengenai
harta pusaka/warisan, misalnya dia mewasiatkan bahwa sebagian hartanya
dihibahkan kepada anak angkatnya atau untuk membangun masjid. Maka wasiat
tersebut wajib dilaksanakan terlebih dahulu apabila ia telah meninggal, namun
wasiatnya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta pusakanya.
Berikut ini syarat melaksanakan wasiat:
a. Jumlah kadar wasiat tidak boleh melebihi sepertiga (1/3)
dari harta pusaka/warisan, bahkan diupayakan agar kurang dari sepertiga. Karena
sepertiga itu sudah termasuk banyak. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw,
sebagai berikut:
“Dari Ibnu Abbas ra, dia
berkata: (Alangkah baiknya) Jika sekiranya orang-orang itu mau mengurangi
(jumlah kadar wasiatnya) dari sepertiga menjadi seperempat dari harta
pusakanya, karena sesunggungnya Rasulullah saw, bersabda: Wasiat itu sepertiga
sudah banyak”. H.R. Buhori dan Muslim
b. Wasiat tidak boleh kepada ahli waris yang akan
mendapat bagian harta pusaka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, sebagai
berikut:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. H.R. Imam lima
kecuali Imam Nasai
Sebagian ulama membolehkan wasiat kepada ahli waris
dengan syarat harus dimusyawarahkan di antara seluruh ahli waris untuk
mengambil manfaat tentang boleh/sah atau tidaknya wasiat tersebut.
3.
Hutang
Yaitu hutang yang dimiliki si mayat sewaktu
hidupnya, baik hutang kepada sesama manusia maupun hutang kepada Allah SWT
(seperti nadzar), sampai ia meninggal belum sempat ia lunasi. Maka pembayaran
hutangnya harus didahulukan/dibayarkan yang biayanya diambilkan dari harta
pusaka tersebut sebelum dibagi warisannya, begitu juga masalah zakat hartanya
juga diselesaikan terlebih dahulu.
Apabila biaya pengurusan jenazah sudah beres, wasiat
sudah ditunaikan dan hutang-hutangnya juga sudah diselesaikan dengan baik, maka
barulah melaksanakan pembagian harta pusaka/warisan tersebut secara ilmu
faraidh.
C.
Sebab-sebab Mendapat dan Tidak Mendapat Warisan
Sebab-sebab yang berhak menerima pusaka menurut adat
kebiasaan jahiliyah, semuanya tidak ada yang sesuai dengan kehendak syariat
Islam. Oleh sebab itu, menurut syariat Islam sebab-sebab yang berhak menerima harta
pusaka/warisan adalah sebagai berikut:
a.
Sebab-sebab berhak mendapat warisan
1. Sebab nasab (hubungan keluarga),
Sebab mendapat warisan karena nasab (hubungan
keluarga) sesuai dengan Al-Qur’an, surat An Nisa’ ayat 7 artinya sebagai
berikut:
“Bagi laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak
bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. Q.S An-Nisa’ 4 : 7
2. Sebab nikah (perkawinan),
Dari sebab inilah lahirnya istilah-istilah dalam,
seperti Dzawil Furudh, Ashabah dan sebagainya.
3. Sebab jalan memerdekakan hamba sahaya,
Tuan atau sayyid yang memerdekakan hamba sahayanya,
apabila hamba sahaya yang dimerdekakan itu meninggal dunia, maka tuan atau
sayyidnya itu berhak menerima harta pusaka/warisan peninggalan hamba sahaya
yang meninggal itu. Hal ini Rasulullah saw, bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya hak menerima harta
pusaka itu bagi yang memerdekakan”. H.R. Buhori dan Muslim
4. Sebab Hubungan Agama
Hal ini terjadi apabila orang yang meninggal itu
tidak mempunyai ahli waris, sedangkan dia meninggalkan harta pusaka, seseorang
yang meninggal itu mempunyai ahli waris hanya seorang saja yang tidak bisa
menghabiskan semua harta pusaka.
Misalnya seorang suami atau seorang istri, ahli
waris yang lain tidak ada. Maka bagi orang yang sama sekali tidak mempunyai
ahli waris, semua harta pusakanya setelah diambil untuk pengurusan
penyelenggaraan jenazah, melunasi hutangnya dan menunaikan wasiatnya, harus
diserahkan kepada Baitul Maal atau Bank Negara atau Lembaga Sosial, untuk
kepentingan umat Islam sebagai warisan dari yang meninggal itu. Begitu juga
bagi yang ahli warisnya hanya satu, maka sisa harta pusakanya harus diserahkan
kepada lembaga-lembaga tersebut di atas. Kelau lembaga-lembaga tersebut belum
teratur dengan baik atau para pengurusnya diragukan dalam kejujuran dan keadilannya,
maka harta warisan itu harus diserahkan kepada seseorang muslim yang ahli, adil
dan bijaksana supaya dapat menyalurkan untuk kemaslahatan umat Islam.
Dengan demikian, maka umat Islam menjadi ahli waris
dari orang-orang Islam yang tidak mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli
waris tetapi hanya satu saja dan tidak menjadi ashabah. Hal ini sebagaimana
sabda Nabi saw, sebagai berikut:
“Saya adalah pewaris bagi orang
yang tidak berahli waris”. H.R. Ahmad dan Abu Daud
Hadist ini menyatakan bahwa Nabi sebagai pewaris
dari orang yang tidak berahli waris, namun maksudnya adalah untuk kepentingan
umum.
b.
Sebab-sebab tidak berhak mendapat warisan
Ada orang yang tidak berhak menerima warisan
meskipun mereka adalah ahli waris. Hal ini dikarenakan adanya sebab-sebab
sebagai berikut:
1. Hamba
Seorang hamba
tidak mendapat bagian dari peninggalan orang tuanya, selama ia masih
berstatus hamba, demikian pula harta tuannya (sayyidnya). Hal ini berdasarkan
firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“Hamba sahaya yang dimiliki,
tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun juga”. Q.S. An-Nahl : 75
2. Pembunuh
Orang yang membunuh keluarganya tidak akan mendapat
harta pusaka dari orang yang dibunuh itu. Hal ini Nabi pernah menyatakan
sebagai berikut:
“Tidaklah mewarisi orang yang
membunuh itu dari orang yang dibunuhnya”. H.R. Nasai
3. Murtad
Orang yang keluar dari agama Islam tidak dapat harta
pusaka dari keluarganya yang memeluk agama Islam. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi saw, sebagai berikut:
“Dari Abu Burdah ra, ia berkata:
Aku diutus Rasulullah saw, kepada seorang laki-laki yang kawin dengan istri
bapaknya, maka beliau menyuruh aku supaya membunuh laki-laki itu dan merampas
hartanya, sedang laki-laki tersebut dalam keadaan murtad”
4. Kafir
Seseorang kafir tidak berhak menerima harta pusaka
dari keluarganya yang memeluk agama Islam, begitu pula sebaliknya, orang Islam
tidak berhak pula mendapat harta pusaka dari keluarganya yang kafir. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi saw, sebagai berikut:
“Tidak mewarisi seseorang muslim
terhadap harta pusakanya seorang kafir, demikian pula seorang kafir tidak juga
mewarisi harta pusakanya orang muslim”. H.R. Buhori dan Muslim
Hadist ini menjelaskan bahwa seorang ayah yang
memeluk agama Islam, dia meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka,
sedangkan anaknya kafir, anak yang kafir tersebut tidak berhak menerima warisan
dari harta peninggalan ayahnya yang beragama Islam tersebut. Sebaliknya apabila
ayahnya itu kafiir, sedangkan anaknya itu Islam, maka anaknya yang muslim itu
tidak berhak menerima harta pusaka dari bapaknya yang masih kafir tersebut.
D.
Ahli Waris
Ahli waris adalah orang-orang yang menjadi ahli dari
seseorang yang meninggal dunia seluruhnya ada dua puluh lima orang, yaitu
terdiri dari lima belas orang laki-laki dan sepuluh orang perempuan.
1.
Ahli waris laki-laki
1) Anak laki-laki
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke
bawah
3) Bapak
4) Kakek dari bapak dan seterusnya ke atas, atas
pertaliannya belum putus dari bapak
5) Saudara laki-laki kandung
6) Saudara laki-laki sebapak
7) Saudara laki-laki seibu
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10) Saudara laki-laki bapak yang sekandung
11) Saudara laki-laki bapak yang sebapak
12) Anak laki-laki saudara laki-laki bapak yang
sekandung
13) Anak laki-laki saudara laki-laki bapak yang sebapak
14) Suami
15) Laki-laki yang memerdekakannya
Apabila ahli waris yang lima belas itu ada semua,
maka yang berhak menerima harta pusaka hanya tiga orang saja, yaitu:
a. Anak laki-laki
b. Suami, dan
c. Bapak
2.
Ahli waris perempuan
1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke
bawah, asal pertaliannya dengan yang meninggal terus masih laki-laki
3) Ibu
4) Ibu dari bapak
5) Ibu dari ibu terus ke atas dari pihak ibu sebelum
berselang dengan laki-laki
6) Saudara perempuan kandung
7) Saudara perempuan sebapak
8) Saudara perempuan seibu
9) Istri
10) Perempuan yang memerdekakannya
Apabila ahli waris perempuan yang sepuluh itu ada
semuanya, maka yang berhak menerima harta pusaka ada lima orang, yaitu:
a. Istri
b. Anak perempuan
c. Anak perempuan dari anak laki-laki
d. Ibu
e. Saudara perempuan yang sekandung
Adapun anak yang masih dalam kandungan ibunya, tetap
dia mendapat harta pusaka dari keluarganya yang meninggal, sebagaimana sabda
Nabi saw, sebagai berikut:
“Apabila menangis anak yang baru
dilahirkan itu, ia mendapat harta pusaka”. H.R. Abu Daud
Pada garis besarnya ahli waris itu ada tiga
kelompok, yaitu:
1) Dzawil Furudh
Adalah orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang yang meninggal dunia, dan mereka mempunyai
bagiian harta pusaka/warisan yang telah ditentukan oleh syariat Islam.
2) ‘Ashabah
Adalah orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan yang meninggal dunia, dan mereka akan menerima bagian
sisa atau seluruh harta pusaka/warisan.
3) Dzawil Arham
Adalah orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang yang meninggal, tetapi mereka termasuk dzawil
furudh atau ‘ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman
(saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu
laki-laki dan anak perempuan dan sebagainya.
E.
Dzawil Furudh
Jumlah bagian harta pusaka/warisan yang telah
ditentukan oleh Al-Qur’an itu ada enam macam, yaitu:
1) Seperdua (1/2)
2) Seperempat (1/4)
3) Seperdelapan (1/8)
4) Dua pertiga (2/3)
5) Sepertiga (1/3)
6) Seperenam (1/6)
Berikut ini penjelasan dari pembagian harta
pusaka/warisan berdasarkan jumlah bagian harta.
1.
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperdua (1/2)
Orang yang berhak mendapat bagian harta warisan
seperdua/separo itu ada lima orang, yaitu:
1) Suami
Seorang suami berhak untuk
mendapat bagian seperdua dari harta pusaka yang ditinggalkan oleh istri, dengan
syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun
anak perempuan, baik keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“Dan bagi kalian (para suami)
mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka
(para istri) tidak mempunyai anak ...” Q.S. An-Nisa’ 4 : 12
2) Anak perempuan (kandung)
Anak perempuan mendapat seperdua
dengan syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Jadi anak
perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
b. Anak perempuan tersebut adalah anak tunggal, Jadi
anak tersebut tidak mempunyai saudara.
3) Cucu perempuan dari anak laki-laki
Cucu perempuan dari anak
laki-laki mendapat seperdua dengan syarat:
a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki
b. Apabila hanya seorang. Jadi anak tunggal
c. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau
anak laki-laki
4) Saudara perempuan sekandung
Saudara perempuan sekandung
mendapat bagian seperdua dengan syarat:
a. Ia tidak mempunyai saudara laki-laki
b. Ia hanya sendiri. Jadi saudara perempuan tunggal
c. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak
pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki atau perempuan
5) Saudara perempuan seayah
Saudara perempuan seayah
mendapat bagian seperdua dengan syarat:
a. Apabila tidak mempunyai saudara laki-laki
b. Apabila ia hanya seorang diri atau saudara tunggal
c. Pewaris tidak mempunyai saudara perempuan sekandung
d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak
pula mempunyai keturunan baik dari anak laki-laki atau perempuan
2.
Ahli waris yang berhak mendapat seperempat (1/4)
Ahli waris yang mendapat bagian seperempat adalah:
1) Suami
Seorang suami berhak mendapat
bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan oleh istrinya dengan syarat
apabila istri tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki. Anak atau cucu tersebut baik dari darah dagingnya sendiri atau dari
suami yang lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang
artinya sebagai berikut:
“... Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya ...”
2) Istri
Seorang istri akan mendapat
bagian seperempat dari harta peninggalan suaminya dengan dengan satu syarat,
yaitu apabila suami tidak mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut dari
rahimnya sendiri maupun dari istri yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah
SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu (suami) tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak
...”
3.
Ahli waris yang berhak mendapat seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang berhak mendapat seperdelapan hanya
seorang saja, yaitu istri dengan syarat apabila suami mempunyai anak atau cucu,
baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari istri yang lain. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... Jika kamu (suami) mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah hutang-hutangnya ...”
4.
Ahli waris yang berhak mendapat dua pertiga (2/3)
Ahli waris yang mendapat bagian dua pertiga ada
empat orang, dan semuanya terdiri dari wanita. Mereka adalah:
1) Dua anak perempuan sekandung atau lebih
Dua anak perempuan sekandung
atau leibh mendapat dua pertiga dengan syarat mereka tidak mempunyai saudara
laki-laki. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan ...”
2) Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki
Mereka mendapat bagian dua
pertiga dengan syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki
maupun perempuan
b. Pewaris tidak mempunyai dua orang anak perempuan
sekandung
c. Dua cucu perempuan tersebut tidak mempunyai saudara
laki-laki
3) Dua saudara perempuan kandung atau lebih
Mereka mendapat bagian dua
pertiga dengan syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupun
perempuan, dan juga tidak mempunyai ayah atau kakek
b. Dua saudara perempuan tersebut tidak mempunyai
saudara laki-laki
c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang
artinya sebagai berikut:
“... tetapi jika saudara
perempuan itu dua orangg, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan ...”
4) Dua saudara perempuan seayah atau lebih
Mereka mendapat bagian dua
pertiga dengan syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek
b. Mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
c. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung, baik laki-laki
atau perempuan
5.
Ahli waris yang berhak mendapat sepertiga (1/3)
Ahli waris yang berhak mendapat
bagian sepertiga adalah:
1) Ibu
Seorang ibu berhak mendapat
bagian sepertiga, dengan syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki
dari keturunan laki-laki
b. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau
lebih, baik laki-laki maupun perempuan, sekandung atau seayah atau seibu. Hal
ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... dan jika yang meninggal
tidak mempunyai anak, dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka ibunya
mendapat sepertiga ...”
“... jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam ...”
2) Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua
orang atau lebih
Mereka mendapat bagian sepertiga
dengan syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupun
perempuan, dan juga tidak mempunyai bapak atau kakek.
b. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut
“... Jika seseorang meninggal
dunia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mempunyai bapak dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga.”
6.
Ahli waris yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6)
Ahli waris yang berhak mendapat bagian seperenam itu
ada tujuh orang, yaitu:
1) Bapak
Seorang bapak akan mendapat
bagian seperenam, apabila pewaris mempunyai anak, baik laki-laki maupun
merempuan, atau cucu dari keturunan anak laki-laki (baik cucu laki-laki atau
perempuan). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya sebagai berikut:
“... Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak ...”
2) Kakek (bapak dari bapak)
Kakek akan mendapat bagian
seperenam, apabila pewaris mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan,
atau cucu dari keturunan anak laki-laki, dan bapak tidak ada. Jadi kakek disini
sebagai pengganti bapak.
3) Ibu
Ibu akan mendapat bagian
seperenam dengan syarat:
a. Pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau
cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki
b. Pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik
laki-laki atau perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu
4) Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak
laki-laki
Ia mendapat bagian seperenam,
apabila pewaris mempunyai anak tunggal perempuan. Akan tetapi apabila pewaris mempunyai
anak perempuan dua atau lebih, maka cucu perempuan tersebut tidak mendapat
bagian. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah saw, sebagai berikut:
“Nabi saw, pernah memberikan
seperenam kepada cucu perempuan dari anak laki-laki, beserta ada anak perempuan”.
H.R. Buhori
Jadi cucu perempuan akan mendapat bagian seperenam,
dengan syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, sebab kalau
ada anak laki-laki, maka anak laki-laki tersebut sebagai penghalang cucu
perempuan dari anak laki-laki
b. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan lebih dari
satu orang. Sebab kalau ada anak perempuan lebih dari satu, maka mereka
mendapat bagian dua pertiga (2/3), dan mereka sekaligus
penghalang cucu perempuan dari anak laki-laki tersebut
5) Saudara perempuan sebapak satu orang atau lebih
Ia mendapat bagian seperenam
dengan syarat, bahwa pewaris mempunyai seorang saudara perempuan sekandung.
Sebab kalau pewaris ada dua saudara sekandung atau lebih, maka ia tidak akan
mendapat bagian
6) Saudara laki-laki atau perempuan seibu.
Ia mendapat bagian seperenam,
apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris kecuali hanya ia.
7) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak)
Ia mendapat seperenam, apabila
pewaris tidak mempunyai ibu. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah saw, sebagai
berikut:
“Sesungguhnya Nabi saw, telah
menetapkan bagian nenek seperenam bagian dari harta warisan”.
Jika nenek dari pihak bapak dan pihak ibu masih ada,
maka kedua-duanya mendapat bagian yang sama, dari bagian seperenam itu.
Dalam pembagian harta warisan dimulai memberikan
bagian kepada ahli waris Dzawil Furudh atau Ashhabul Furudh, kemudia kalau
masih ada sisa diberikan kepada ‘Ashabah. Apabila tidak ada ‘Ashabah, maka sisa
tersebut dilakukan Radd, atau diserahkan kepada Baitul Mal.
F.
‘Ashabah
Ahli waris ‘Ashabah ialah ahli waris yang berhak
mendapat sisa atau semua harta pusaka/ warisan. Ahli waris ‘ashabah ada tiga
macam, yaitu:
1.
‘Ashabah bin nafsi
‘Ashabah bin nafsi adalah ahli waris yang langsung
menjadi ‘ashabah tanpa disebabkan oleh ahli waris yang lain. Adapun ahli waris
yang langsung menjadi ‘ashabah bin nafsi secara urut adalah sebagai berikut:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, terus ke bawah,
asal saja pertaliannya masih laki-laki
3) Bapak
4) Bapak dari bapak (kakek) dari pihak bapak, dan terus
ke atas asal saja pertariannya belum putus dari pihak bapak.
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki sebapak
7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
9) Saudara laki-laki bapak yang sekandung
10) Saudara laki-laki bapak yang sebapak
11) Anak laki-laki saudara laki-laki bapak yang
sekandung
12) Anak laki-laki saudara laki-laki bapak yang sebapak
Apabila ahli waris ‘ashabah bin nafsi ini semuanya
ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi mereka yang akan
mendapat bagian adalah ahli waris yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris.
Jadi penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut di atas.
2.
‘Ashabah bin ghair
‘Ashabah bin ghair yaitu orang (anak perempuan)
menjadi ‘ashabah karena terbawa oleh ‘ashabah bin nafsi. Mereka adalah:
a. Anak perempuan, mereka akan menjadi ‘ashabah apabila
bersamaan dengan saudara laki-lakinya
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki, mereka menjadi
‘ashabah apabila bersamaan dengan saudara laki-lakinya
c. Saudara perempuan sekandung, mereka akan menjadi
‘ashabah apabila bersamaan dengan saudara laki-lakinya
d. Saudara perempuan seayah juga akan menjadi ‘ashabah,
apabila bersamaan dengan saudara laki-lakinya juga.
Adapun pembagiannya adalah bahwa anak laki-laki
mendapat dua bagian dari anak perempuan.
3.
‘Ashabah ma’al ghair
‘Ashabah ma’al ghair yaitu ahli
waris menjadi ‘ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain. Seperti
saudara perempuan sekandung atau sebapak menjadi ‘ashabah karena bersama-sama
dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Jadi saudara
perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah apabila berbarengan dengan
anak perempuan dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya,
maka ia akan menjadi ‘Ashabah ma’al ghair.
Berikut ini contoh pembagian warisan, tersebut:
Contoh
Pertama
Seseorang meninggal dunia, ia meninggalkan ahli
waris: anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki sebapak, maka
pembagiannya adalah:
-
Anak perempuan =
seperdua (1/2)
-
Saudara perempuan = ‘ashabah ma’al ghair
-
Saudara laki-laki sebapak = tidak dapat (terhalang)
Contoh Kedua
Mayat meninggalkan ahli waris:
suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara
perempuan sekandung, dan saudara laki-laki sebapak. Maka pembagiannya adalah:
-
Suami =
seperempat (1/4)
-
Cucu perempuan =
seperdua (1/2)
-
Saudara perempuan sekandung = ‘ashabah ma’al ghair
-
Saudara laki-laki sebapak = tidak mendapat
(terhalang)
Contoh Ketiga
Mayat meninggalkan ahli waris:
dua orang anak perempuan, saudara perempuan sebapak dan anak laki-laki dari
saudara laki-laki. Maka pembagiannya adalah:
-
Dua anak perempuan = dua pertiga (2/3)
-
Saudara perempuan sebapak = ‘ashabah ma’al ghair
-
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki = tidak mendapat (terhalang)
Contoh Keempat
Mayat meninggalkan ahli waris:
seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, seorang
ibu, saudara perempuan sebapak, dan saudara laki-laki bapak (paman). Maka
pembagiannya adalah:
-
Anak perempuan = seperdua
(1/2)
-
Cucu perempuan = seperenam
(1/6)
-
Ibu =
seperenam (1/6)
-
Saudara perempuan sebapak = ‘ashabah ma’al ghair
-
Saudara laki-laki sebapak = tidak mendapat
(terhalang)
G.
Hijab
Pengertian hijab menurut kalangan ulama Faraidh
ialah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima harta pusaka/warisan, baik
secara keseluruhan atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih
dekat/berhak untuk menerimanya. Istilah lain hijab adalah halangan atau
rintangan untuk mendapat warisan bagi sebagian ahli waris yang lebih dekat
pertaliannya dengan orang yang meninggal itu.
a.
Macam-macam hijab
1. Hijab bil washfi
Yaitu orang yang terkena hijab
tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan. Misalnya
orang yang membunuh pewarisnya, murtad dan kafir. Hak waris mereka menjadi gugur
atau terhalang.
2. Hijab bi syahshi
Yaitu gugurnya hak waris
seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya.
Hijab bi syahshi ini ada dua macam, yaitu:
1) Hijab hiraman, ialah penghalang yang menggugurkan
seluruh hak waris seseorang. Misalnya terhalangnya hak waris seorang kakek
karena adanya bapak, terhalangnya hak waris cucu karena adanya anak,
terhalangnya hak waris saudara sebapak karena adanya saudara kandung, terhalang
hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
2) Hijab nuqshan, ialah penghalang terhadap hak waris
seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya penghalang terhadap
ibu yang seharusnya mendapatkan sepertiga menjadi seperenam diisebabkan pewaris
mempunyai anak. Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang
seharusnya mendapat setengah menjadi seperempat, sang istri dari seperempat
menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak, dan seterusnya.
b.
Ahli waris yang tidak terkena hijab hiraman
Ahli waris yang tidak mungkin terkena hijab hirman
itu ada enam orang yaitu anak laki-laki sekandung, anak perempuan sekandung,
bapak, ibu, suami dan istri. Bila mayat meninggalkan salah satu atau bahkan
keenam ini, maka semuanya harus mendapatkan warisan.
c.
Ahli waris yang dapat terkena hijab hiraman
Ahli waris yang dapat terkena hijab hirman ada enam
belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan lima dari wanita. Ahli waris dari
laki-laki yang terkena hijab hiraman adalah sebagai berikut:
1. Kakek (bapak dari bapak) terhalang oleh adanya bapak
2. Saudara laki-laki sekandung akan terhalang oleh
adanya bapak, dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit dan seterusnya)
3. Saudara laki-laki seayah akan terhalang adanya
saudara laki-laki sekandung, juga terhalang oleh adanya saudara perempuan
sekandung yang akan menjadi ‘ashabah ma’al ghair, dan juga terhalang oleh
adanya bapak dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit dan seterusnya)
4. Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan
terhalang oleh pokok (bapak, kakek, dan seterusnya), dan juga terhalang oleh
cabang (anak, cucu, cicit dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun perempuan
5. Cucu laki-laki dari keturunan laki-laki, akan
terhalang oleh adanya anak laki-laki. Demikian pula para cucu akan terhalang
oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat dengan mayat)
6. Anak saudara laki-laki sekandung (keponakan) akan
terhalang oleh bapak dan kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak
laki-laki kandung serta saudara laki-laki seayah.
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
(keponakan) akan terhalang oleh orang yang menghalangi keponakan (dari anak
saudara laki-laki sekandung), ditambah dengan adanya keponakan (anak laki-laki
dari keturunan saudara laki-laki sekandung
8. Saudara laki-laki bapak yang sekandung (paman
kandung bapak), akan terhalang adanya anak laki-laki dari saudara laki-laki,
juga terhalang oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak
9. Saudara laki-laki bapak yang seayah (paman) akan
terhalang oleh sosok yang menghalang paman kandung, dan juga adanya paman
kandung
10. Anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak yang
sekandung (sepupu) akan terhalang oleh adanya paman sebapak, dan sosok yang
menghalangi paman sebapak
11. Sepupu laki-laki (anak paman sebapak) akan terhalang
oleh anak paman yang sekandung, dan dengan adanya sosok yang menghalang sepupu
laki-laki (anak paman kandung)
Sedangkan, ahli waris perempuan yang terkena hijab
hirman ada sebagai berikut:
1. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) akan
terhalang dengan adanya ibu
2. Anak perempuan dari keturunan anak laki-laki (cucu
perempuan) akan terhalang oleh anak laki-laki, baik cucu itu seorang atau
lebih. Selain itu juga terhalang oleh adanya dua orang anak perempuan atau
lebih, kecuali jika ada ‘ashabah
3. Saudara perempuan sekandung terhalang oleh bapak, anak,
cucu, cicit dan seterusnya (semuanya laki-laki)
4. Saudara perempuan sebapak akan terhalang oleh
saudara perempuan sekandung jika ia menjadi ‘ashabah ma’al ghair. Selain itu
juga terhalang oleh bapak, dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya
khusus dari laki-laki), serta terhalang olehdua orang saudara perempuan
sekandung bila keduanya menyempurnakan bagian dua pertinga (2/3),
kecuali bila adanya ‘ashabah
5. Saudara perempuan seibu akan terhalang oleh adanya
pokok laki-laki (bapak, kakek, dan seterusnya) baik laki-laki maupun perempuan
H.
Cara Penghitungan Harta Pusaka
Mengetahui “pokok permasalahan” merupakan suatu
keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraidh. Hal ini agar kita dapat
mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya
benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Dalam hal
ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak
setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama
faraidh tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya
tanpa menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu
perlu diketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya mengetahui apakah ahli waris
yang ada itu semuanya hanya ‘ashabah, atau semuanya dzawil furudh, atau
gabungan antara ‘ashabah dengan dzawil furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari
‘ashabah, maka pokok permasalahannya dihitung per kepala, jika semuanya anak
laki-laki. Misalnya seseorang meninggal dan meninggalkan lima orang anak
laki-laki, maka pokok permasalahannya dari lima, atau seseorang wafat hanya
meninggalkan ahli waris sepuluh saudara laki-laki sekandung, maka pokok
masalahnya juga sepuluh dan seterusnya.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak
laki-laki dan perempuan, maka setiap satu anak laki-laki dihitung dua bagian
anak perempuan. Misalnya seseorang wafat, meninggalkan lima orang anak, terdiri
dari dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan, maka pokok masalahannya menjadi
tujuh. Contoh lain, misalnya mayat meninggalkan lima anak perempuan dan tiga
anak laki-laki, maka pokok masalahnya menjadi sebelas, dan seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya
dari dzawil furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, mayat
meninggalkan ahli waris seorang suami dan saudara perempuan sekandung. Maka
pokok masalahnya menjadi dua. Karena suami mendapat bagian seperdua (1/2),
sedangkan saudara perempuan sekandung juga seperdua (1/2).
Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama, misalnya
masing-masing mendapat seperenam, maka pokok masalahnya dari enam. Apabila ahli
waris semuanya berhak menerima sepertiga, maka pokok masalahnya juga sepertiga,
dan seterusnya.
Jika pewaris yang ditinggalkan terdiri dari banyak
bagian yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak seperdua, ada
seperempat, seperenam dan sebagainya, maka kita harus mengalikan dan mencampur
antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama)
atau yang mutadahillah (saling berpadu) atau mutabayinah (saling berbeda).
Untuk menjelaskan masalah ini para ulama ilmu faraidh membagi menjadi dua
kaidah yaitu:
I. Pertama :
bagian seperdua (1/2), seperempat (1/4),
dan seperdelapan (1/8)
II. Kedua :
bagian dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3),
dan seperenam (1/6)
Apabila pada dzawil furudh hanya terdiri dari bagian
yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4,
dan 1/8), berarti pokok permasalahannya yang paling
besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya mendapat bagian
seperdua dan seperempat, maka pokok masalahnya dari empat. Begitu juga bila
dalam suatu keadaan ahli warisnya mendapat sepertiga, dua pertiga dan
seperenam, maka pokok masalahnya adalah enam.
Akan tetapi apabila keadaan ahli warisnya bercampur
antara dzawil furudh kelompok pertama dan kedua, maka diperlukan kaidah lain
untuk mengetahui pokok masalah tersebut. Kaidah tersebut adalah:
1. Apabila dalam suatu keadaan, dzawil furudh seperdua
(kelompok pertama), bercampur dengan kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok
permasalahannya adalah 6 (enam).
2. Apabila dalam suatu keadaan, dzawil furudh
seperempat (kelompok pertama), bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau
salah satunya, maka pokok masalah adalah 12 (dua belas).
3. Apabila dalam suatu keadaan, dzawil furudh
seperdelapan (kelompok pertama), bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau
salah satunya, maka pokok masalahnya adalah 24 (dua puluh empat)
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, maka Dr.
Muhtadin, MA menuliskan beberapa contoh sebagai berikut:
a. Seorang meninggal dunia, ia meninggalkan ahli waris:
suami, saudara laki-laki seibu, ibu dan paman kandung. Maka bagian mereka
adalah:
1) Suami =
seperdua (1/2)
2) Saudara laki-laki seibu = seperenam (1/6)
3) Ibu =
sepertiga (1/3)
4) Paman kandung =
‘ashabah
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara
kelompok pertama dan kedua, yaitu seperdua (1/2),
sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6).
Maka pokok masalahnya adalah enam (6). Jadi bagian mereka adalah:
1) Suami (1/2) = 3
2) Saudara laki-laki seibu (1/6) = 1
3) Ibu (1/3) = 2
4) Paman kandung (‘ashabah) = 0
Jumlah = 6
b. Mayat meninggalkan ahli waris: istri, ibu, dua
saudara laki-laki seibu dan saudara laki-laki kandung. Maka bagiannya adalah:
1) Istri =
seperempat (1/4)
2) Ibu =
seperenam (1/6)
3) Dua saudara laki-laki seibu = sepertiga (1/3)
4) Saudara laki-laki sekandung = ‘ashabah
Pokok masalahnya adalah : dua belas (12). Jadi
bagiannya adalah:
1) Istri (1/4) =
3
2) Ibu (1/6) =
2
3) Dua saudara laki-laki seibu (1/3) = 4
4) Saudara laki-laki sekandung (‘ashabah) = 3
Jumlah =
12
BAB II
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Di dalam ajaran Islam, orang yang meninggal dunia
dan ia mempunyai harta kekayaan yang ditinggalkan, harta kekayaan tersebut
disebut harta pusaka/warisan. Dinamakan demikian karena harta tersebut menjadi
hak ahli waris, yang wajib diwariskan kepada ahli waris tersebut sesuai dengan
ketentuan syariat Islam.
2. Sebelum pembagian warisan atau harta pusaka
dibagikan kepada ahli waris harus
mengeluarkan/ menyelesaikan hak-hak mayat, yaitu segala keperluan yang harus
dikeluarkan untuk si mayat.
3. Sebab-sebab yang berhak menerima pusaka menurut adat
kebiasaan jahiliyah, semuanya tidak ada yang sesuai dengan kehendak syariat
Islam. Oleh sebab itu, menurut syariat Islam sebab-sebab yang berhak menerima
harta pusaka diatur dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.
4. Ahli waris adalah orang-orang yang menjadi ahli dari
seseorang yang meninggal dunia seluruhnya ada dua puluh lima orang, yaitu
terdiri dari lima belas orang laki-laki dan sepuluh orang perempuan.
5. Jumlah bagian harta pusaka/warisan yang telah
ditentukan oleh Al-Qur’an itu ada enam macam, yaitu; seperdua (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8),
dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3),
dan seperenam (1/6).
6. Ahli waris ‘Ashabah ialah ahli waris yang berhak
mendapat sisa atau semua harta pusaka/ warisan.
7. Pengertian hijab menurut kalangan ulama Faraidh
ialah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima harta pusaka/warisan, baik
secara keseluruhan atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih
dekat/berhak untuk menerimanya. Istilah lain hijab adalah halangan atau
rintangan untuk mendapat warisan bagi sebagian ahli waris yang lebih dekat
pertaliannya dengan orang yang meninggal itu.
8. Untuk mengetahui pokok masalah dalam menghitung
pembagian harta pusaka/warisan, terlebih dahulu perlu diketahui siapa-siapa
ahli warisnya. Artinya mengetahui apakah ahli waris yang ada itu semuanya hanya
‘ashabah, atau semuanya dzawil furudh, atau gabungan antara ‘ashabah dengan
dzawil furudh.
Demikianlah pentingnya mengetahui Hukum Waris sebagai
suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal
dunia diberikan kepada yang berhak, termasuk juga berapa ukuran untuk setiap
ahli waris.
REFERENSI:
Al-Qur’an al-Karim
Dr. Muhtadin, MA. 2015. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)