KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI???
Kata
Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys, hari ini
mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang
bermanfaat dapat menjadi AMAL JARIAH yang tidak terputus amal
pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Hubungan
Komunikasi dan Kepemimpinan. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka pada Kamis, 16 April 2015.
KLIK YA, mari kita
ramaikan khasanah KARYA TULIS Indonesia...
Semoga dapat membantu
serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar
sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^
PAPER II
MATA KULIAH KEPEMIMPINAN
KOMUNIKASI DAN KEPEMIMPINAN
Oleh :
YOGI SUDIRMAN
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
JAKARTA 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
“Effective leadership means effective communication” kata Henry Clay
Lindgren dalam bukunya “Effective Leadership in Human Communication” dalam Drs.
Onong Uchjana Effendy, MA yang berjudul Kepemimpinan dan Komunikasi (1977).
Banyak pemimpin yang gagal dalam kepemimpinannya tidak menyadari, bahwa
kegagalannya itu disebabkan mereka tidak bisa berkomunikasi.
Di negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, ilmu komunikasi
(publisistik) semakin dikembangkan disertai penelitian yang mendalam dalam
segala aspeknya, mengingat pentingnya ilmu tersebut, bukan saja untuk
masyarakat Amerika sendiri, tetapi untuk hubungan antar bangsa dan antar
kebudayaan.
Alhamdulillah, ditanah-air pun dewasa ini semakin tampak kesadaran para
pemimpin dan masyarakat pada umumnya akan pentingnya komunikasi. Memang,
bagaimanapun bagusnya sebuah rencana yang dibuat oleh seorang pemimpin, kalau
tidak dilaksanakan, tidak akan menghasilkan apa-apa. Para pelaksana perlu
diberi pengertian dan digerakkan. Dan ini semua adalah komunikasi. Berhasil
tidaknya pelaksanaan itu banyak tergantung dari komunikasi yang dilakukan para
pemimpin, baik pemimpin ditingkat atas, tingkat tengah, maupun tingkat bawah.
Dengan demikian sangat penting komunikasi dalam kepemimpinan, maka
ditulislah makalah ini untuk menjelaskan tentang kepemimpinan dan komunikasi,
agar dapat membantu memahami definisi dan hubungan dari masing-masingnya. Bahwa
penulisan makalah ini belum sempurna, kami menyadarinya. Karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari siapapun. Semoga penulisan
ini menjadi sumbangan yang berharga bagi pembaca secara umum dan kami sebagai
penyusun khususnya.
BAB II
KEPEMIMPINAN
2.1. Arti Kepemimpinan
Istilah “kepemimpinan” sebagai terjemahan dari “leadership” seringkali
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari; terdengar dalam percakapan, dalam
pertemuan, dari televisi, radio, atau bacaan dalam surat kabar, buku dan
sebagainya.
Apa arti kepemimpinan itu sebenarnya?
Dalam pengertian umum, kepemimpinan menunjukkan proses kegiatan
seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran,
perasaan, atau tingkahlaku orang lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukan
melalui suatu karya, seperti buku, tulisan, dsb., atau melalui kontak pribadi
antara seseorang dengan orang lain secara tatap-muka (face-to-face).
Kepemimpinan melalui karangan atau ciptaan yang dituangkan dalam bentuk buku atau
lukisan dapat dikatakan kepemimpinan yang tidak langsung, karena sang pemimpin
dalam usaha mempengaruhinya tidak seketika pada saat ia bergiat.
Pemimpin-pemimpin jenis ini adalah para ilmuwan, seniman, atau sastrawan yang
hasil karyanya atau ide-idenya dapat mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan yang bersifat tatap-muka berlangsung melalui kata-kata
secara lisan. Kepemimpinan jenis ini bersifat langsung, karena sang pemimpin
dalam usahanya mempengaruhi orang lain, bergiat langsung kepada sasarannya.
Oleh karena berhadapan muka, ia mengetahui seketika hasil kegiatannya itu.
Berkenaan dengan berkembangnya teknologi seperti radio, televisi dan handphone,
kegiatan kepemimpinan melalui kata-kata lisan ini dapat lebih efektif dengan
memperoleh sasaran yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada kalau berhadapan
muka. Jika Socrates dahulu melakukan kegiatan kepemimpinannya dengan komunikasi
antar pribadi (interpersonal communication), kemudian Demosthenes dengan
komunikasi kelompok (group communication), maka sekarang ini para pemimpin
bergiat dengan komunikasi massa (mass communication).
Dari sejarah dapat diperoleh pengetahuan bagaimana Hitler, Musolini,
Roosevelt, dan pemimpin-pemimpin dunia lainnya sukses dalam usaha mempengaruhi
rakyatnya melalui siaran radio. Di Indonesia mungkin masih diingat bagaimana
Bung Tomo pada waktu berrevolusi mengusir Belanda, sukses dalam usahanya
membangkitkan elan perjuangan pemuda-pemuda melalui Radio Pemberontak-nya.
Faktor penting dalam kepemimpinan, yakni dalam mempengaruhi atau
mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkah-laku orang lain itu, ialah tujuan.
Tujuan ini adalah tujuan pihak si pemimpin. Kepemimpinan adalah kegiatan si
pemimpin untuk mengarahkan tingkah-laku orang lain ke suatu tujuan tertentu.
Jadi tindakan seorang pengemudi bis yang karena jam-tangannya pecah menyebabkan
puluhan pegawai yang dibawanya terlambat datang dikantornya, tidak bisa
dikatakan kepemimpinan, meskipun apa yang ia lakukan mempengaruhi tingkah-laku
orang lain. Si pengemudi bis tidak bermaksud mengontrol tingkah-laku para
penumpangnya; juga apa yang terjadi tidak terarahkan kepada tujuan tertentu.
Andaikata ia dengan sengaja memecahkan jam-tangannya dan merusak jadwal
perjalanannya dengan tujuan agar para penumpangnya marah kepada pemilik
perusahaan bis, ini baru bisa dikatakan kepemimpinan.
Tetapi itu tidak berarti, bahwa kepemimpinan selalu merupakan kegiatan
yang direncanakan dan dilakukan dengan sengaja. Seringkali kepemimpinan
berlangsung juga secara spontan. Meskipun demikian, direncakan atau tidak
direncanakan, maksud dan tujuan selalu ada. (Onong Uchjana Effendy)
2.2. Fungsi Kepemimpinan
Fungsi seorang pemimpin beserta teknik kepemimpinannya berbeda menurut
situasi dimana sang pemimpin melakukan kegiatannya. Kelompok-kelompok yang satu
sama lain berbeda macamnya, berbeda dasarnya, berbeda sifat pemilihannya, serta
berbeda fungsi dan tujuannya, menghendaki cara kepemimpinan yang berbeda pula.
Sifat sang pemimpin beserta proses kepemimpinannya dalam suatu rapat dewan,
dalam suatu bencana kebakaran, atau dalam suatu konperensi politik, jelas
sekali berbeda satu sama lain. Jenis kepemimpinan dan jenis kepribadian dari
orang yang dipilih nyata-nyata berbeda antara kebudayaan yang satu dengan
kebudayaan lainnya, dan antara periode yang satu dengan periode lainnya. Dalam
kepemimpinan tidak ada asas-asas yang universal; yang tampak ialah, bahwa
proses-proses kepemimpinan dan pola-pola hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpin mempunyai ciri-ciri khas dalam setiap jenis kelompoknya.
Fungsi utama kepemimpinan terletak dalam jenis khusus dari perwakilan
kelompoknya (group representation). Seorang pemimpin harus mewakili kelompoknya
melalui saluran-saluran yang khusus direncanakan dan dibuat oleh kelompoknya
sendiri. Mewakili kepentingan kelompoknya mengandung arti, bahwa si pemimpin
mewakili fungsi administrasi secara eksekutif. Ini meliputi koordinasi dan
integrasi berbagai aktivitas, kristalisasi kebijaksanaan kelompok, dan
penilaian terhadap macam-macam peristiwa yang beru terjadi, yang membawakan
fungsi kelompok. Lain daripada itu seorang pemimpin juga merupakan perantara
dari orang-orang dalam kelompoknya dengan orang-orang diluar kelompoknya.
(Onong Uchjana Effendy)
2.3. Jenis Kepemimpinan
Berikut ini
beberapa jenis kepemimpinan dalam perspektif komunikasi menurut Onong Uchjana
Effendy:
a. Pemimpin sebagai
Eksekutif
Pemimpin eksekutif (executive leader) seringkali disebut pula
administrator. Fungsinya adalah “menterjemahkan” kebijaksanaan yang bersifat
lisan menjadi suatu kegiatan. Dia memimpin dan mengawasi tingkah-laku
orang-orang yang menjadi bahwahannya. Dia membuat keputusan-keputusan dan
memerintahkannya untuk dilaksanakan.
Kepemimpinan eksekutif atau kepemimpinan administratif tersebut
merupakan kepemimpinan yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat, karena
memang merupakan kebutuhan berbagai bidang dalam masyarakat. Kepemimpinan dalam
ketentaraan dapat dikatakan sebagai jenis kepemimpinan eksekutif. Demikian pula
kepemimpinan dalam cabang-cabang yang bersifat administratif dalam suatu
pemerintahan, mulai dari pusat sampai kedaerah-daerah, memerlukan fungsi
eksekutif tersebut.
b. Pemimpin sebagai Hakim
Pemimpin sebagai hakim atau penimbang atau pelerai sudah dikenal sejak
dahulu kala. Dari berbagai sumber dapat diketahui cerita-cerita atau
kisah-kisah dimana seorang pemimpin bertindak sebagai hakim atau penengah, yang
setiap keputusannya dilaksanakan dengan taat.
Dalam masyarakat modern tanggung-jawab keadilan terletak ditangan para
pemimpin dengan keahliannya yang khusus dan ditunjuk secara khusus. Ini dikenal
sebagai pengadilan. Dalam bidang lainnya, umpamanya dalam bidang olahraga,
terdapat korps wasit yang mempunyai fungsi sebagai hakim.
Pemimpin sebagai hakim adalah seorang otokrat, karena setiap
keputusannya adalah bersifat mutlak.
c. Pemimpin sebagai
Penganjur
Pemimpin sebagai penganjur, sebagai propagandis, sebagai juru-bicara,
atau sebagai “pengarah opini publik (mobilizer of opinion) merupakan
orang-orang penting dalam masyarakat. Mereka ini bergerak dalam bidang
komunikasi atau publisistik yang perlu menguasai ilmu komunikasi.
Penganjur adalah sejenis pemimpin yang memberi inspirasi kepada orang
lain. Seringkali ia merupakan orang yang pandai bergaul dan fasih berbicara.
Acapkali ia adalah pioner dalam bidang sosial dan berjuang untuk
perubahan-perubahan. Jika ia dalam kedudukannya sebagai penganjur itu berada
jauh di depan kelompoknya, dia bisa menjadi lambang penjelmaan ide-ide yang
dibawakannya. Pemimpin seperti itu ialah umpamanya: Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi
Muhammad, Gajah Mada, Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, Martin Luther, dan
lain-lain.
Akan tetapi pemimpin-penganjur atau advocate-leader itu tidak hanya
dijumpai dalam kehidupan nasional. Seorang anggota DPRD yang menampilkan ide
untuk mengatasi masalah kesulitan perumahan bagi pegawai negeri, juga dapat
dikatakan pemimpin-penganjur; atau seorang kiai yang menyerukan kepada khalayak
untuk hidup damai dengan tetangga.
d. Pemimpin sebagai Ahli
Pemimpin sebagai ahli, umpamanya seorang instruktur atau seorang
juru-penerang, berada dalam posisi yang khusus dalam hubungannya dengan unit
sosial dimana ia bekerja. Dia lebih terpelajar daripada orang-orang lainnya.
Kepemimpinannya hanya berdasarkan fakta, dan hanya pada bidang dimana terdapat
fakta. Termasuk dalam kategori ini ialah, guru, petugas sosial, dosen, dokter,
ahli hukum, dan yang lainnya lagi, yang mencapai dan memelihara pengaruhnya
karena mereka mempunyai pengetahuan untuk diberikan kepada orang lain. Hal yang
membuat seseorang menjadi instructor leader ialah kenyataan, bahwa ia lebih
banyak memiliki pengetahuan berbanding dengan anggota-anggota kelompok lainnya
dan bahwa fungsinya yang penting ialah memberikan penerangan kepada
kelompoknya. Alasan utama bagi eksistensinya ialah, bahwa “ia tahu dan orang
lain tidak tahu.” dan ia mempunyai wewenang.
e. Pemimpin sebagai Pemimpin-Diskusi
Pemimpin jenis ini dijumpai dalam lingkungan kepemimpinan demokratis
dimana komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Seseorang yang secara
lengkap memenuhi kriteria kepemimpinan demokratis ialah orang yang menerima
peranannya sebagai pemimpin diskusi. Jika seorang pejabat melaksanakan metode
demokratis, dia bukan lagi seorang eksekutif, melainkan seorang pemimpin
diskusi (discussion leader). Bila seorang guru melaksanakan metode-metode
demokratis, dia bukan lagi seorang pemimpin diskusi. Diskusi yang bebas adalah
satu-satunya proses dimana kelompok secara keseluruhan ikut berperan dan dimana
semua anggota kelompok sama-sama diwakili dalam membuat suatu keputusan. Adalah
melalui diskusi, bahwa seorang pemimpin dapat menampilkan bakat-bakat kreatif
dari anggota-anggota kelompok, membantu mereka memecahkan persoalan, dan
mencapai keputusan yang mereka buat.
BAB III
KOMUNIKASI DALAM
KEPEMIMPINAN
3.1. Pengertian Komunikasi
“Effective leadership means effective communication”, kata Henry Clay
Lindgren dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA.
Bab sebelumnya telah dikemukakan, bahwa kepemimpinan ialah proses
kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol
pikiran, perasaan, atau tingkah-laku orang lain dalam rangka mencapai suatu
tujuan tertentu. Antara sang pemimpin dan si pengikut terdapat suatu
kesangkut-pautan (relationship) dan kesangkut-pautan ini bersifat komunikatif.
Seorang pemimpin – apakah ia pemimpin sebagai eksekutif, sebagai hakim atau
penengah, sebagai penganjur, sebagai ahli, ataupun sebagai pemimpin diskusi –
pasti terlibat dalam kegiatan komunikasi. Terlebih kalau ia bergiat dalam
kepemimpinan demokratis, ia akan banyak melakukan komunikasi.
Hakekat kepemimpinan ialah apa yang si pemimpin komunikasikan dan
bagaimana ia mengkomunikasikannya. Karena itulah, maka Lindgren mengatakan,
bahwa kepemimpinan yang efektif berarti komunikasi yang efektif. Ini berarti
pula, bahwa seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus belajar untuk bisa
berkomunikasi dengan efektif. Dan seseorang yang kini sedang berada dalam
tampuk kepemimpinan dan ingin meningkatkan efektivitasnya harus meningkatkan
kemampuannya dalam berkomunikasi.
Apa sebenarnya komunikasi itu?
Komunikasi sudah lama menjadi objek penelitian para ahli disebabkan
pentingnya hal itu, baik bagi kepentingan masyarakat sendiri, maupun untuk
hubungan antar bangsa. Charles Cooley, umpamanya, pada tahun 1909 menampilkan
definisi komunikasi yang hingga kini masih sering disebut-sebut dan acapkali
masih dikutip oleh para ahli komunikasi. Cooley dalam Drs. Onong Uchjana
Effendy, MA mendefinisikan komunikasi adalah:
Mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan antar manusia dan yang
memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan alat-alat untuk
menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Ini mencakup wajah, sikap
dan gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, kereta-api, telegrap,
telephon, dan apa saja yang merupakan penemuan mutakhir untuk menguasai ruang
dan waktu.
Jika dibandingkan dengan definisi-definisi lainnya, definisi Cooley ini
merupakan definisi yang paling lengkap dan paling menarik di antara sekian
banyak definisi. Definisi tersebut meliputi beberapa unsur. Pertama, ide dari
komunikasi sebagai dasar yang hakiki bagi hubungan manusia. Kedua, komunikasi
sebagai proses yang menyebabkan hubungan tersebut menjadi suatu kegiatan.
Akhirnya, dia melihat dalam mekanisme tersebut simbolisasi (kata-kata, gambar,
dsb.) dan alat-alat bagi pengoperan objek-objek dari hubungan tersebut
(informasi, ide, pengalaman, dan sebagainya).
Komunikasi membawa hubungan manusia dari hakekat ke eksistensi, dari
non-temporal ke sejarah. Tanpa komunikasi hubungan manusia adalah bagaikan
image yang mencari bentuk. Bagi hubungan manusia, komunikasi adalah seperti
plot dalam drama yang menjadi action, atau perkembangan menjadi dinamika. Jadi
komunikasi dan hubungan manusia tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian, karena
kepemimpinan adalah hubungan manusia, maka komunikasi dan kepemimpinan tidak
bisa dipisahkan. Komunikasi dan kepemimpinan merupakan suatu kesatuan.
Komunikasi dari tahun ke tahun tetap menjadi objek penelitian yang
intensif. Setiap penelitian pada umumnya melakukan kegiatannya berdasarkan
rumus Lasswell yang terkenal. Harold D. Laswell dalam Drs. Onong Uchjana
Effendy, MA menyatakan, bahwa cara yang tepat untuk menerangkan komunikasi
ialah menjawab pertanyaan-pertanyaan:
- Siapa (Who)
- Mengatakan apa (Says what)
- Melalui saluran apa (In
which channel)
- Kepada siapa (To whom)
- Dengan efek yang bagaimana
(With what effect).
Studi ilmiah mengenai komunikasi cenderung untuk konsentrasi pada satu
atau beberapa pertanyaan tersebut di atas. Para cedekiawan yang mempelajari
unsur “siapa”, yakni komunikator meneropong faktor yang memprakarsai dan
membimbing kegiatan komunikasi. Sub-bagian dari bidang penelitian ini dinamakan
analisa pengawasan (control analysis). Para peneliti yang memfokuskan diri pada
“mengatakan apa” bercecimpung dalam analisa isi (content analysis). Mereka yang
terutama menaruh perhatian kepada pers, radio, televisi, film, dan
saluran-saluran komunikasi lainnya melakukan analisa media (media analysis).
Apabila sangkut-paut yang utama adalah orang-orang yang dicapai oleh media,
maka ini sedang berbicara mengenai analisa sasaran komunikasi (audience
analysis). Jika pertanyaannya adalah efek atau pengaruh kepada sasaran
komunikasi, masalahnya adalah analisa efek (effect analysis).
3.2. Proses Komunikasi
Berdasarkan definisi Cooley dan rumus Lasswell dapat diambil kesimpulan,
bahwa komunikasi adalah suatu proses operan lambang-lambang yang mengandung
pengertian tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Dan proses komunikasi
tersebut meliputi unsur-unsur:
- Komunikator, yakni orang
yang menyampaikan atau mengatakan atau menyiarkan pesan (message).
- Pesan (message), yaitu
ide, informasi, opini, dsb.
- Saluran (channel, media),
ialah alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan.
- Komunikan (communicant,
audience), yaitu orang yang menerima pesan.
- Efek (effect), yakni efek
atau pengaruh kegiatan komunikasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.
Bagi seorang pemimpin, unsur terakhir dari proses komunikasi tersebut di
atas, yakni “efek”, harus merupakan faktor yang selalu mendapat perhatian. Ia
senantiasa harus bertanya apakah ada efeknya dan sejauh mana efek dari kegiatan
komunikasinya itu. Sukses tidaknya komunikasinya tergantung dari efek dari
kegiatan komunikasinya. Sudah tentu ini tergantung pula dari apa yang ia
komunikasikan dan bagaimana ia mengkomunikasikannya.
Apa yang dikomunikasikan oleh seorang pemimpin kepada pengikutnya atau
anak-buahnya, dalam proses komunikasi adalah pesan yang disampaikan komunikator
kepada komunikan. Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi, menampilkan istilah
“informasi” untuk pesan komunikasi tersebut. Ia menyajikan batasan mengenai
komunikasi sebagai “pengikutsertaan suatu orientasi ke dalam isyarat-isyarat
yang bersifat informasi” (the sharing of an orientation toward a set of
informational signs).
Informasi dalam pengertian tersebut di atas harus diartikan secara luas.
Jelasnya: tidak terbatas pada berita atau “fakta” atau apa yang terdapat dalam
buku atau yang diajarkan dalam kelas. Informasi adalah setiap isi komunikasi
yang mengurangi ketidakpastian atau kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam
suatu situasi. Ini dapat mencakup emosi. Dapat pula meliputi fakta atau opini,
bimbingan atau persuasi. Ia tidak harus berbentuk kata-kata; pengertian yang
tersembunyipun atau bahasa bisu (the silent language) adalah informasi yang
penting. Ia tidak harus benar-benar sama pada komunikator dan komunikan.
Pendapat Wilbur Schramm tersebut di atas merupakan perbaikan – untuk
tidak mengatakan sanggahan – bagi teorinya yang ia tuangkan dalam bukunya
terdahulu. Ia selanjutnya menegaskan, bahwa hal ini perasaan ragu-ragu, bahwa
pesan komunikasi pernah sama pada komunikator dan komunikan dan tidak mungkin
untuk mengukur kesesuaian tersebut secara lengkap sekali. Ide yang sudah kuno,
yakni ide pengoperan fakta-fakta dari benak yang satu ke benak yang lain tidak
lagi merupakan cara yang sempurna untuk memikirkan komunikasi manusia. Akan
lebih bermanfaat jika memikirkan seseorang atau sejumlah orang bersangkutan
dengan sejemput informasi, masing-masing dengan kebutuhan dan tujuannya
sendiri, masing-masing memahami dan menggunakan informasi dengan caranya
sendiri.
Karena itu, menurut Schramm, komunikasi didasarkan atas kesangkutpautan
(relationship). Kesangkutpautan ini dapat terjadi antara dua orang, atau antara
seseorang dengan sejumlah orang. Hakekat kesangkutpautan ini adalah “setala”
(“in tune”) antara satu sama lainnya, terfokuskan kepada informasi yang sama.
Unsur sentral kesangkutpautan komunikasi tersebut biasanya dipancangkan dalam
kesangkutpautan sosial tertentu yang menunjang penggunaan dan interpretasi
terhadap informasi.
Kesangkutpautan tersebut tidak harus berada dalam komunikasi tatap muka
(face to face communication). Definisi Cooley menampilkan alat-alat untuk
menyiarkan lambang-lambang melalui ruang dan merekamnya dalam waktu. Jadi media
massa memungkinkan komunikasi dalam jarak yang sangat jauh; alat-alat tersebut
ialah mesin-mesin yang dipergunakan dalam proses komunikasi untuk melipatkan
tulisan orang (mesin cetak) atau untuk memperluas indera penglihatan dan
pendengaran (televisi, film, radio). Demikian juga, isyarat-isyarat dan
lambang-lambang dari zaman dahulu kala dapat dikomunikasikan, seperti apa yang
dikenal sebagai karya orang-orang ternama yang sudah tidak ada. Akan tetapi
tampak jelas bahwa disitu terdapat perbedaan/dalam kualitas antara
kesangkutpautan komunikasi yang dekat dan langsung dengan yang dijauhkan dalam
ruang dan waktu. Tak mungkinlah terdapat komunikasi dua-arah dengan pengarang
yang sudah tiada. Akan tetapi komunikasi jarak jauh ini dapat menimbulkan
akibat yang mengandung suatu kekuatan; salah satu sebab mengapa buku-buku termashur
tetap abadi dan media massa tetap hidup ialah karena adanya kekuatan untuk
“mentala” (“tune in”) dengan massa komunikan di tempat yang jauh.
Demikian mengenai apa yang dikomunikasikan. Sekarang mengenai bagaimana
komunikasi dilangsungkan. Seperti telah disinggung di muka, dalam proses
komunikasi terdapat unsur-unsur komunikator dan komunikan. Komunikator
berfungsi sebagai “encoder”, yakni sebagai orang yang memformulasikan pesan
yang kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Orang yang menerima pesan ini
adalah komunikan yang berfungsi sebagai “decoder”, yakni menterjemahkan
lambang-lambang pesan kedalam konteks pengertiannya sendiri. Lalu komunikan ini
mereaksi atau memberi tanggapan; dan jika melakukan secara terbuka (overtly),
ia menjadi encoder (komunikator) yang menyampaikan pesan kepada komunikator
yang semula; atau bisa juga kepada orang lain. Dengan perkataan lain, decoder
menjadi encoder bagi pesan yang baru, biasanya pesan balik. Pesan balik ini,
yang disampaikan oleh penerima kembali ke pengirim, biasanya disebut “umpan
balik” atau “feed-back”. Sampainya umpan balik ini kembali ke pengirim pesan
yang semula, bisa berlalu secara langsung atau tertunda.
Umpan-balik langsung terjadi dalam percakapan antar pribadi
(interpersonal conversation) atau percakapan dalam kelompok kecil. Ini bisa
terjadi dalam setiap situasi komunikasi dimana seorang pembicara dapat
diinterupsi oleh sebuah pertanyaan.
Umpan-balik yang tertunda terjadi dalam berbagai situasi, tetapi yang
sering terjadi ialah dalam situasi yang bersangkutan dengan komunikasi massa,
dimana-umpamanya, pembaca surat kabar mengirim surat keredaksi mengenai suatu
hal yang ia baca, atau penonton televisi yang menelepon studio mengenai
beberapa hal yang ia lihat dalam programa televisi tersebut.
Dalam bab sebelumnya mengenai arti kepemimpinan ditandaskan, bahwa
kepemimpinan adalah suatu usaha untuk mengarahkan tingkah laku orang lain ke
suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu bagi seorang pemimpin kurang sempurnalah
definisi Cooley, yang menyatakan, bahwa komunikasi adalah mekanisme yang
menyebabkan adanya hubungan antar manusia dan yang memperkembangkan semua
lambang pikiran, bersama-sama dengan alat-alat untuk menyiarkannnya dalam ruang
dan merekamnya dalam waktu. Demikian pula kurang sempurnalah definisi William
Albig yang menyatakan, bahwa komunikasi adalah proses pengoperan
lambang-lambang yang mengandung pengertian antara individu-individu
(communication is the process of transmitting meaningful symbols between
individuals).
Cooley dan Abig hanya mengatakan, bahwa komunikasi adalah proses
penyampaikan pesan oleh seseorang kepada orang lain. Bagi seorang pemimpin
barangkali definisi yang dikemukakan oleh Carl I. Hovland yang paling tepat
untuk dijadikan pegangan dalam kegiatan komunikasinya. Hovland dalam Drs. Onong
Uchjana Effendy, MA mendefinisikan komunikasi:
Sebagai proses dimana seseorang (komunikator) mengoperkan
perangsang-perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk
mengubah tingkah laku orang lain (komunikan). (As the process by which an
individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbols) to
modify the behavior of other individuals (communicatees).
Dalam definisi Hovland tampak adanya penekanan, bahwa komunikasi adalah
bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi “untuk mengubah tingkah laku orang
lain”. Jelas adanya faktor tujuan (purpose, intention). Dan ini adalah sesuai
dengan faktor penting dalam kepemimpinan, yakni juga tujuan.
3.3. Tekhnik Berkomunikasi
Menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc dalam perkuliahan Ilmu Administrasi
Publik (2015), tekhnik berkomunikasi adalah cara atau seni menyampaikan pesan
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan dampak tertentu pada komunikan atau
penerima pesan.
Pada umumnya bahasa yang digunakan untuk menyalurkan pernyataan/pesan
tersebut dan ada juga lambang yang digunakan antara lain gerakan anggota tubuh,
gambar, warna dan sebagainya. Contoh lambang gerakan anggota tubuh seperti
melambaikan tangan, mengedipkan mata, mencibirkan bibir, menggelengkan atau
menganggukkan kepala. Pesan gambar seperti foto, lukisan, sketsa, karikatur,
diagram, grafik dan sebagainya. Warna seperti pada lampu lalu lintas.
Yang terpenting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar sesuatu
pesan menimbulkan suatu dampak/efek tertentu pada si penerima pesan/komunikan.
Dampak yang ditimbulkan menurut kadarnya yakni:
a. Dampak kognitif
Yaitu penerima
pesan menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya atau mengubah pikiran diri
komunikan.
b. Dampak afektif
Yaitu penerima
pesan tidak hanya tahu, tetapi tergerak hatinya atau menimbulkan perasaan
tertentu, seperti: iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.
c. Dampak behavioral/perilaku
Yaitu dampak
yang timbul pada perubahan perilaku, tindakan, kegiatan dan ucapan penerima
pesan.
3.4. Rintangan-Rintangan
Komunikasi
1. Gangguan Mekanik dan
Semantik
Pada bab sebelumnya telah dikutip keyakinan Hendy Clay Lindgren, bahwa
kepemimpinan yang efektif adalah komunikasi yang efektif. Dalam bab tersebut
dan bab berikutnya telah dibahas berbagai hal sehubungan dengan komunikasi,
mulai dari pengertiannya dan prosesnya sampai kepada bentuknya dan modelnya.
Telah disetujui pendapat para ahli, bahwa komunikasi efektif adalah komunikasi
yang berhasil membina pengertian, yang berhasil menyampaikan pesan yang membuat
komunikan memberikan tanggapan yang dikehendaki komunikator. Dalam komunikasi
efektif suatu pesan dapat berlaku kepada komunikan dan pengertian yang ada
padanya benar-benar sama dengan pengertian yang terdapat pada komunikator.
Tetapi telah ditegaskan pula bahwa bagi seorang pemimpin, komunikasi efektif
bukan hanya keberhasilan dalam membina pengertian yang sama antara komunikator
dan komunikan, tetapi berhasil mengubah tingkah laku komunikan ke arah yang
dikehendaki komunikator.
Untuk mendapatkan komunikasi yang efektif memang tidaklah mudah. Ada
banyak rintangan yang bisa merusak komunikasi. Yang paling penting diantaranya
ada dua yang dalam bahasa asing biasa disebut “noises”, yang diterjemahkan
menjadi “gangguan”, yaitu “mechanical noise” (gangguan mekanik) dan “semantic
noise” (gangguan semantik).
a. Gangguan Mekanik
Yang dimaksudkan dengan gangguan mekanik ialah gangguan disebabkan
saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Ini erat hubungannya
dengan media-media atau saluran komunikasi antar-pribadi secara lisan. Sebagai
contoh ialah gangguan mekanik seperti suara dobel dari pesawat radio disebabkan
dua pemancar yang berdempetan, gambar berliuk-liuk atau maju berubah-ubah pada
layar televisi, bunyi menggaung pada pengeras suara atau riuh hadirin pada
pidato dalam suatu pertemuan. Dalam media tercetak, contoh untuk gangguan
mekanik ialah huruf yang tidak jelas, jalur huruf yang hilang atau terbalik,
halaman yang sobek, paragraf atau sambungan kisah-berita yang hilang, atau
halaman yang kotor atau basah.
Gangguan mekanik seperti itu bagi seorang pemimpin sering kali
merupakan gangguan yang berada di luar kekuasaannya untuk mengatasinya. Tetapi
dengan “approach” yang baik kepada orang-orang yang berwenang dalam saluran
komunikasi, setidak-tidaknya ia akan dapat memecah terjadinya gangguan yang
tidak diingininya itu. Mengapa pesan Presiden melalui media massa tidak pernah
mengalami gangguan mekanik? Ini disebabkan seluruh perhatian orang-orang yang
berwenang dalam media massa ditumpahkan kepada komunikasi yang sedang dilakukan
oleh Presiden itu. Barangkali dengan teknik “human relation”, seorang pemimpin
yang akan menggunakan media massa dapat meminta kepada pimpinan media massa
untuk menaruh perhatian kepadanya.
b. Gangguan Semantik
Gangguan semantik seperti disebutkan di atas adalah terjemahan dari
“semantic noise”. Istilah “noise” di sini tidak berarti “suara”. Gangguan ini
bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan
semantik tersaring ke dalam pesan melalui penggunaan bahasa. Lebih banyak
kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau konsep yang terdapat pada
komunikator, akan lebih banyak gangguan semantik dalam pesannya. Gangguan
semantik terjadi dalam kesalahpengertian. Pada hakikatnya orang-orang yang
terlibat dalam komunikasi menginterpretasikan bahasa yang menyalurkan suatu
pesan dengan berbagai cara; karena itu mereka mempunyai pengertian yang berbeda
dalam benaknya. Seorang komunikan mungkin menerima suatu pesan dengan jelas
sekali, baik secara mekanik maupun secara phonetik – secara fisik berlalu
dengan keras dan jelas – tetapi disebabkan kesukaran pengertian (gangguan
semantik) komunikasinya menjadi gagal.
Rintangan-rintangan apa lagi yang cenderung untuk mengganggu atau
merusak komunikasi efektif? Merril dan Lowenstein dalam Drs. Onong Uchjana
Effendy, MA menyajikan suatu daftar sebagai berikut:
- Latar belakang pelaku
komunikasi yang berbeda.
- Perbedaan pendidikan, formal
atau tidak formal.
- Perbedaan kepentingan dalam
pesan yang disampaikan.
- Perbedaan IQ.
- Perbedaan taraf dan
penggunaan bahasa.
- Kekurangan rasa saling
hormat-menghormati di antara pelaku komunikasi.
- Perbedaan faktor-faktor
seperti umur, kelamin, ras dan kelas.
- Tekanan mental dan/atau
fisik pada waktu berkomunikasi.
- Kondisi lingkungan pada
waktu berkomunikasi.
- Kekurangan keahlian pada pihak
komunikator (penulis atau pembicara yang kurang mahir).
- Kekurangan keahlian pada
piihak komunikan (pembaca atau pendengar yang kurang mahir).
- Kekurangan informasi dalam
pesan (pesan yang “kosong”).
- Kecil atau tidak ada
kesamaan dalam pengalaman.
- Kecil atau tidak ada
umpan-balik atau interaksi.
2. Umpan-Balik
a. Pengertian Umpan-Balik
Di atas disebutkan, bahwa “kecil atau tidak ada umpan-balik” merupakan
rintangan bagi komunikasi efektif. Umpan balik atau “feedback” ini perlu
mendapat pembahasan tersendiri mengingat pentingnya hal ini dalam proses
komunikasi. Suatu umpan balik selain bisa positif, juga bisa negatif yang perlu
diatasi oleh komunikator dalam rangka melakukan komunikasinya yang efektif.
Apabila seorang komunikator dalam suatu situasi komunikasi antar
pribadi mengubah tingkah laku bicaranya disebabkan menerima tanggapan tertentu
dari komunikan, ini dapat dikatakan bahwa ia menanggapi umpan balik. Drs. Onong
Uchjana Effendy, MA dalam Kepemimpinan dan Komunikasi mengatakan bahwa, “umpan
balik adalah pesan baik yang disampaikan oleh komunikasi kembali kepada
komunikator. Dengan mengetahui umpan balik itu, komunikator bisa menyadari
apakah komunikasinya sukses atau gagal. Bila ternyata gagal, maka ia bisa
segera mengubah cara menyampaikan pesannya.”
Istilah feedback yang diterjemahkan menjadi umpan balik berasal dari
cybernetic, suatu cabang dari ilmu bangunan (engineering science) yang
berhubungan dengan sistem kontrol. Sistem ini mengontrol suatu operasi dengan
menggunakan informasi mengenai efek. Sebuah contoh untuk sistem cybernetic yang
sederhana ialah termostat (alat peng-imbang panas) pada sebuah dapur-api. Jika
suhu di dalam kamar menurun sampai derajat terendah, termostat menutup sebuah
alat, mengirim isyarat yang menghidupkan tungku-api tadi. Termostat senantiasa
mengontrol suhu kamar; jika maksimum suhu yang diinginkan tercapai, termostat
tersebut membuka alat yang disebutkan tadi, yang mengirimkan isyarat yang
mematikan dapur-api tadi.
b. Umpan-Balik Positif dan
Negatif
Oleh karena saat menggunakan informasi mengenai efek komunikasi untuk
mengontrol sukses tidaknya komunikasi, maka wajarlah untuk memperluas konsep
umpan balik ini.
Jika, umpamanya, anggukan hormat seseorang kepada orang asing (tidak
saling kenal) mendapat tanggapan yang menyenangkan, maka mungkin ia meneruskan
percakapannya dengan menyampaikan pesan yang lebih banyak. Ini adalah umpan
balik positif. Tetapi jika pesan pertama menemui perbedaan atau bernada tidak
enak, maka percakapan hanya sampai disitu; ini adalah umpan balik negatif.
Saat ini, oleh karena perkataan “positif” dan “negatif” mempunyai
pengertian yang memiliki nilai tertentu, kedua perkataan itu akan mudah
membingungkan apabila dalam pembicaraan mengenai umpan-balik. Dalam contoh di
atas bukan tanggapan komunikan yang menyenangkan yang membuat umpan balik
positif; juga bukan tanggapan yang menunjukkan keengganan yang membuat umpan
balik negatif. Untuk mudahnya adalah suatu pertanyaan apakah tanggapannya tadi
menyebabkan peningkatan atau penurunan dalam beberapa aspek tingkah laku
komunikator. Dengan lain perkataan, pertanyaannya ialah apakah tanggapan
komunikan menyebabkan komunikator memperluas atau mengakhiri percakapan?
Theodore Clevenger, Jr. dan Jack Matthews dalam karyanya “Feedback”
dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA menegaskan, bahwa tanggapan komunikan yang
menyenangkan sering juga menunjukkan umpan balik negatif; sebaliknya tanggapan
yang tidak menyenangkan dapat menunjukkan umpan balik positif.
“Jika saya menerangkan sesuatu kepada anda dan mengetahui suatu isyarat
dari anda tanpa bentuk kata-kata yang menunjukkan, bahwa anda tidak mengerti
apa yang saya katakan tadi, tanggapan anda dapat dikarakteristikkan sebagai
negatif; tetapi umpan balik yang sampai kepada saya adalah positif jika ia
membuat saya mengulangi atau memperluas penerangan saya. Dalam pada itu, jika
anda menunjukkan, bahwa anda mengerti, tanggapan anda dapat dikatakan positif;
tetapi efek kepada tingkah laku saya akan negatif, bila ia memberi isyarat,
bahwa saya harus berhenti memberikan penjelasan.”
Demikian kata Clevenger dan Matthews.
Dengan keterangan di atas jelaskan, bahwa istilah umpan balik tidak
menunjuk kepada setiap tingkah-laku komunikan, melainkan kepada kesangkutpautan
(relationship) antara tingkah laku komunikator, tanggapan komunikan, dan efek
tanggapan tersebut kepada tingkah laku komunikator selanjutnya. Jadi tanggapan
komunikan bukanlah umpan balik, kalau tanggapan tersebut tidak menimbulkan efek
pada tingkah laku komunikator selanjutnya.
c. Umpan-Balik Langsung dan
Tertunda
Umpan balik langsung (immediate feedback) dan umpan balik tertunda
(delayed feedback) telah dibicarakan pada Bab sebelumnya ketika membahas proses
komunikasi.
Umpan balik langsung terjadi dalam komunikasi tatap muka antar pribadi
(face to face communication; person to person communication) atau komunikasi
dalam kelompok kecil. Ini bisa terjadi dalam setiap situasi komunikasi dimana
si komunikator dalam proses komunikasinya dapat diinterupsi oleh suatu
pertanyaan dari komunikan.
Umpan balik tertunda terjadi dalam berbagai jenis situasi komunikasi,
tetapi seringkali dalam hal yang erat hubungannya dengan komunikasi massa.
Sebagai contoh ialah surat pembaca yang dikirimkan kepada redaksi surat kabar
mengenai salah satu hal dari isi surat kabar, atau telepon yang disampaikan
kepada studio televisi oleh penonton mengenai programa yang telah dilihatnya.
Umpan balik tertunda dalam komunikasi massa bersifat selektif, dan komunikator
hanya memperoleh wawasan mengenai bagaimana sebagian kecil dari komunikannya
merasakan tentang pesan yang disampaikannya. Tambahan pula, umpan balik
tertunda ini biasanya masuk sedemikian lambatnya, sehingga komunikator tidak
dapat menggunakannya untuk memperbaiki pesannya. Mungkin pula orang-orang yang
menyampaikan umpan balik itu adalah orang-orang yang “luar biasa”; karena itu
komunikator tidak dapat mempunyai dugaan yang terlalu banyak berdasarkan umpan
balik tertunda itu.
Dalam pada itu, dalam kelompok kecil – komunikasi tatap muka yang
memungkinkan adanya umpan balik langsung – komunikator dapat segera melihat
(serempak dengan pesannya) bagaimana ia sedang melakukannya agar dimengerti;
dan jika diperlukan ia dapat memperbaiki pesannya atau dapat mengulanginya,
baik seluruhnya maupun sebagian, sehingga salah pengertian dapat dihilangkan.
d. Umpan-Balik Ditentukan dan
Dinyatakan
Benjemin Singer dalam bukunya “Feedback and Society” dalam Drs. Onong
Uchjana Effendy, MA mengetengahkan dua jenis umpan balik yang erat hubungannya
dengan politik. Jenis yang pertama ialah umpan balik yang ditentukan
(determinative feedback), yang ia artikan sebagai proses pengikut sertaan
politik dengan tujuan yang ditetapkan dalam pikiran seperti memilih partai,
mendapatkan peraturan daerah yang baru, dan sebagainya.
Umpan balik tersebut oleh Singer dipertentangkan dengan jenis yang
kedua, yakni umpan balik yang dinyatakan (expressive feedback); ini mencakup
opini terhadap isu-isu. Jadi poll dan survey, bahkan surat-surat merupakan
umpan balik yang dinyatakan, dimana untuk suatu tujuan tertentu tidak
dipergunakan alat-alat dalam bentuk perkakas.
Public opinion poll merupakan metode yang dapat diterima dewasa ini
dengan mana lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam
masyarakat di negara yang sudah maju menerima berbagai informasi mengenai opini
penduduk. Jadi poll seperti itu menyatakan sikap yang terdapat pada penduduk.
Tetapi poll, disebabkan beberapa alasan tidak merupakan jawaban yang
cukup untuk keperluan mekanisme umpan balik; pada kenyataannya jawaban-jawaban
tersebut terbatas sekali dalam
kemampuannya umpan balik yang benar-benar relevan.
Dalam hubungannya secara konsepsionil antara penggunaan umpan balik
yang dinyatakan yang berbeda satu sama lain, kita juga bisa menemukan jalan
dimana struktur umpan balik bisa dipakai untuk membedakan macam-macam sistem
sosial. Benjamin Singer telah mengutip pendapat Kenneth Boulding yang
menyatakan, bahwa dalam sistem politik yang bersifat otoriter, keputusan
“berasal dari pemegang peranan yang lebih tinggi dan disampaikan kepada
pemegang peranan yang lebih rendah sebagai perintah,” sedangkan informasi
“disampaikan oleh pemegang peranan yang lebih rendah kepada pemegang peranan
yang lebih tinggi atas permintaan pemegang peranan yang lebih tinggi.” Dalam
model otoriter, umpan balik ditangani dari atas, bukan dari bawah. Ini tidak
bersifat sukarela, melainkan diminta. Dalam model otoriter, umpan balik berlaku
secara tidak langsung dan dalam banyak hal berada di bawah pengawasan pemegang
peranan yang lebih tinggi. Dalam model demokratis, umpan balik jauh lebih
langsung dan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam merubah keputusan.
3.5. Hambatan Dalam Komunikasi (Menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc)
Adapun hambatan, rintangan atau gangguan dalam komunikasi yang lebih
ringkas dan praktis menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc adalah sebagai berikut:
a. Hambatan
sosio-antro-spikologis
Hambatan ini
adalah hambatan yang dilihat pada pemerima pesan/komunikan yang memiliki latar
belakang yang berbeda-beda, yakni:
- Sosiologis
Yaitu hambatan
yang terdiri dari pergaulan hidup yang bersifat pribadi seperti dalam kehidupan
rumah tangga; dan pergaulan hidup yang tidak pribadi, dinamis dan rasional
seperti di kantor atau dalam organisasi.
- Antropologis
Yaitu manusia
yang dilahirkan dan ditakdir berbeda-beda: postur, warna kulit, ras, agama dan
kebudayaan termasuk berbeda dalam gaya hidup, norma, kebiasaan dan bahasanya.
Misalnya, lewat media televisi, masakan daging babi lezat sekali. Sebagian
pemirsa (komunikan) hanya menerimanya secara accepted/rohani dan tidak secara
received/inderawi.
- Psikologis
Yaitu hambatan
yang disebabkan komunikator tidak mengkaji keadaan diri komunikan. Biasanya
sulit berhasil apabila si penerima/komunikan sedang sedih, bingung, marah,
merasa kecewa, iri hati dan kondisi psikologis lainnya. Komunikan/penerima
pesan bisa saja menaruh prasangka (prejudice) kepada komunikator.
b. Hambatan semantik
Hambatan
sosio-antro-psikologis terdapat pada komunikan/penerima pesan, sedangkan
hambatan semantik terdapat pada komunikator. Yaitu bahasa yang digunakan
komunikator tidak tepat/pas/jelas, karena mungkin terlalu cepat
berbicara/penyampaiannya sehingga menimbulkan salah pengertian yang berakibat
salah pengertian (miscommunication). Misalnya: maksudnya mengatakan kedelai
terucap keledai; maksudnya demokrasi terlontar demonstrasi; maksudnya
partisipasi terlontar/terdengar partisisapi.
Gangguan
semantik disebabkan pula oleh aspek antropologis: kata-kata yang sama tulisan
maupun ucapannya tetapi berbeda artinya, misalnya: rampung (bagi orang sunda
dan orang jawa memiliki arti yang berbeda masing-masingnya); atos (antara orang
jawa dan sunda); bujang (antara orang sunda dan sumatra).
c. Hambatan mekanis/teknis
Hambatan yang
pada umumnya terdapat pada media yang diguanakan, seperti telepon, televisi,
radio, surat kabar yang tidak mungkin dapat diatasi oleh komunikator maupun
komunikan.
d. Hambatan ekologis
Hambatan yang
terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan pada saat proses berlangsungnya
komunikasi, seperti: suara bising, hujan, petir, suara pesawat dan sebagainya.
BAB IV
PERAN PEMIMPIN
DALAM KOMUNIKASI
4.1. Pemimpin Sebagai Komunikator
Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, keberhasilan seorang pemimpin
banyak tergantung dari keberhasilannya dalam kegiatan komunikasi. Seseorang
tidak mungkin menjadi pemimpin tanpa punya pengikut. Lebih tinggi kedudukannya
sebagai pemimpin, akan lebih banyak pengikutnya. Akan tetapi tidak mungkin ia
dapat menaiki anak tangga kepemimpinannya tanpa kemampuan membina hubungan
komunikatif dengan pengikut-pengikutnya dan bakal pengikut-pengikutnya.
Telah disinggung di awal bahwa yang sangat penting bagi seorang
pemimpin dalam kegiatannya sebagai komunikator ialah adanya faktor “daya tarik
komunikator” (source attractivenes) dan faktor “kepercayaan pada komunikator”
(source credibility).
Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan
sikap, pendapat dan tingkah laku komunikan melalui mekanisme daya tarik jika
pihak komunikan merasa bahwa komunikator ikut serta dengannya; dengan kata lain
pihak komunikan merasa ada kesamaan antara komunikator dengannya, sehingga
dengan demikian komunikan bersedia untuk taat pada isi pesan yang dipersuasikan
komunikator.
Sikap komunikator yang berusaha menyamakan diri dengan komunikan ini
akan menimbulkan simpati komunikan pada komunikator.
Hubungan pentingnya usaha membangkitkan perhatian dalam rangka
melaksanakan persuasi. Dalam hubungan ini perlu diingat agar dalam rangka
menumbuhkan perhatian itu (attention arousing) dihindarkan munculnya appeal
yang negatif. Appeal yang negatif bukan attention arousing, melainkan anxiety
atousing, atau menumbuhkan kegelisahan. William J. McGuire, seorang ahli
komunikasi ternama, menegaskan bahwa “anxiety arousing communication”
menimbulkan efek ganda. Di satu pihak ia membangkitkan rasa takut akan bahaya
sehingga mempertinggi motivasi untuk melakukan tindakan preventif. Di lain
pihak rasa takut tersebut juga menimbulkan tanggapan-tanggapan yang umum
disebut “flight and fight”, yang dalam kasus komunikasi persuasi dapat
berbentuk permusuhan pada komunikator atau tidak menaruh perhatian sama sekali.
Faktor kedua ialah “kepercayaan pada komunikator” (source credibility).
Kepercayaan komunikan pada komunikator ditentukan oleh keahlian komunikator
dalam bidang tugas pekerjaannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Seorang ahli
hukum akan mendapat kepercayaan apabila ia berbicara mengenai masalah hukum.
Demikian pula seorang dokter akan memperoleh kepercayaan kalau yang ia bahas
adalah soal kesehatan.
Kepercayaan pada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang disampaikan
kepada komunikan dianggap olehnya sebagai benar dan sesuai dengan kenyataan
empiris.
Dalam pada itu secara umum diakui pula bahwa keahlian seorang
komunikator – apakah keahliannya itu khas atau bersifat umum seperti timbul
dari pendidikan yang lebih baik atau status sosial yang lebih tinggi atau
jabatan profesi yang lebih tinggi – akan membuat pesan yang dikomunikasikannya
mempunyai daya pengaruh yang besar. Akan tetapi hal ini terjadi apabila si
komunikator mahir dalam mengkomunikasikan pesannya.
Sehubungan dengan itu, maka berikut ini adalah beberapa faktor yang
perlu diperhatikan apabila seorang pemimpin tampil sebagai komunikator:
1. Kerangka Referensi
Seorang pemimpin akan berhasil dalam komunikasinya apabila pesan yang
ia sampaikan cocok dengan kerangka referensi (frame of reference) komunikan.
Kerangka referensi seseorang dibentuk sebagai hasil dari pengalaman,
pendidikan dan pengertian-pengertian yang diperoleh dari kelompoknya atau dari
orang lain. Kereangka referensi seorang anak murid SD tidak sama dengan murid
SMP, apalagi dengan murid SMA, lebih-lebih lagi dengan seorang mahasiswa. Jelas
bahwa meskipun umurnya sama, tetapi kalau pendidikan dan pengalamannya
berlainan, kerangka referensi orang yang satu dengan orang lainnya tidak akan
sama. Kerangka referensi seorang petani tidak sama dengan seorang dokter, juga dengan
seorang perwira tentara.
Seorang manajer perusahaan dapat saja menyampaikan pesan yang sama
kepada wakilnya dan kepada sopirnya, tetapi formulasinya harus sesuai dengan
kerangka referensi kedua orang tersebut. Kerangka referensi wakil manajer tidak
akan sama dengan kerangka referensi seorang sopir.
Dengan memahami kerangka referensi orang yang menjadi lawan bicara,
setidak-tidaknya akan dapat diduga sikap dan pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan.
Dalam situasi komunikasi antar pribadi mudah untuk menjajaki kerangka
referensi komunikan, juga dalam situasi komunikasi kelompok dengan komunikan
yang sedikit jumlahnya dan homogen sifatnya. Yang sulit ialah menjajaki
kerangka referensi komunikan dalam kelompok besar (macro group) atau kalau
komunikasi dilakukan melalui media massa. Dalam situasi komunikasi seperti itu,
komunikator biasanya mengambil ukuran kerangka referensi secara rata-rata dalam
derajat pendidikan. Maka bahasa yang digunakan adalah bahasa yang umum
dimengerti, dengan kata-kata yang lazim dan sederhana, sedang pesannya sendiri
dikaitkan dengan kepentingan umum.
2. Situasi dan Kondisi
Situasi dan
kondisi sangat berpengaruh pada berhasilnya kelangsungan komunikasi.
Yang dimaksudkan dengan situasi di sini ialah suasana pada saat suatu
pesan komunikasi akan disampaikan kepada seseorang. Pesan politik yang akan
dilancarkan sudah tentu harus diperhitungkan dengan situasi politik. Akan
tetapi pesan komunikasi tidak selalu bersangkutan dengan masalah politik. Hari
Minggu, bulan Puasa (Ramadhan) atau hari Tahun Baru mungkin merupakan situasi
yang kurang menyenangkan bagi orang-orang tertentu untuk diajak berkomunikasi,
untuk diberi pesan komunikasi apapun, sekalipun mereka berada dalam keadaan
bahagia sehat walafiat.
Yang dimaksud dengan kondisi dalam hubungannya dengan komunikasi, ialah
“state of personality” dari komunikan. Dia mungkin berada dalm kondisi yang
tidak atau kurang menyenagkan untuk menerima suatu pesan, umpamanya sedang
sakit, sedih, marah, lapar, bingung, dan lain sebagainya, baik kondisi jasmaniah
maupun kondisi rokhaniah.
Komunikasi yang dilancarkan dalam situasi dan kondisi yang tidak
menyenangkan komunikan, tidak akan fungsional (functional), melainkan akan
disfungsional (disfunctional), bahkan mungkin akan menjadi bumerang kepada
komunikator, artinya bukan saja komunikasi tidak berhasil, malahan komunikan
menjadi benci kepada komunikator.
3. Konotasi
Konotasi menyangkut kata-kata sebagai alat untuk mengekspresikan “isi
kesadaran” (Bewusstseinsinhalte; istilah Dr. Walter Hagemann) atau “gambaran
dalam benak” (picture in our head; istilah Walter Lippmann), yakni pikiran dan
perasaan. Jadi pesan komunikasi, apakah itu merupakan ide, informasi, motivasi
atau opini, adalah pikiran atau perasaan komunikator yang dengan menggunakan
“kendaraan” bahasa sampai kepada benak komunikan.
Dalam memilih kata-kata untuk menyatakan pikiran atau perasaan perlu
disadari bahwa lambang kata yang sama mungkin mengandung pengertian yang
berbeda bagi setiap orang.
Kata-kata mempunyai dua jenis pengertian, yakni pengertian denotatif
dan pengertian konotatif. Pengertian denotatif adalah pengertian biasa
sebagaimana diartikan dalam kamus (dictionary meaning) yang diterima secara
umum oleh kebanyakan orang dengan bahasa dan kebudayaan yang sama. Pengertian
konotatif adalah pengertian emosional atau mengandung penilaian tertentu
(emotional or evaluative meaning) disebabkan latar belakang dan pengalaman
seseorang.
Perkataan “anjing” dalam pengertian denotatif sama saja bagi setiap
orang, yakni binatang berkaki empat, berbulu dan mempunyai daya cium yang tajam.
Dalam pengertian konotatif anjing bagi seorang kiai yang fanatik mungkin
merupakan binatang yang harus dihindari untuk bersentuh, bagi seorang polisi
merupakan kawan penyusur lacak pencuri, dan bagi seorang bintang film Amerika
menjadi kawan tidur di saat kesepian; mereka ini berbeda pandangannya terhadap
seekor anjing. Perkataan “demokrasi” dalam pengertian denotatif adalah
pemerintahan rakyat; dalam pengertian konotatif, demokrasi tidak sama artinya
bagi seorang Amerika, bagi seorang Rusia dan bagi seorang Indonesia.
“Kata-kata dapat merupakan dinamit” kata Cutlip dan Center dalam
bukunya “Effective Public Relations”. Dikatakannya, terdapat bukti bahwa
kesalahan dalam menterjemahkan sebuah pesan oleh pemerintah Jepang dalam Perang
Dunia II, telah menggetarkan Hirosima dengan dihancurkannya dengan bom atom.
Perkataan “mokusatsu” yang dipergunakan Jepang sebagai tanggapan
terhadap ultimatum Amerika agar menyerah, telah diterjemahkan oleh Domei
menjadi “ignore”, padahal arti sebenarnya dalam bahasa Inggris adalah
“withholding comment until a decision has been made.” Demikian pula krisis yang
pernah terjadi antara Amerika dan Panama adalah disebabkan kesulitan semantik
antara bahasa Inggris “negotiate” dengan bahasa Spanyol “negociar”. Orang-orang
Panama mengartikan “negotiate” dalam bahasa Inggris sebagai “commitment to
negotiate a new treaty”, sedang bagi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
tidak mengandung pengertian “to discuss”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi seorang pemimpin – lebih-lebih tokoh
politik – pemakaian bahasa dan pemilihan kata-kata untuk menyampaikan pesan
komunikasinya perlu dilakukan dengan seksama untuk menghindarkan terjadinya
salah pengertian dan salah tafsir. Terutama hal ini sangat penting bagi seorang
diplopat, karena erat sekali hubungannya dengan nuansa-nuansa (nuances). Justru
nuansalah yang menjadi darah daging profesi diplomasi.
4.2. Pemimpin Sebagai Negosiator
Sebagai negosiator dalam situasi perundingan, seorang pemimpin
bertindak bukan saja sebagai komunikator tetapi sekaligus sebagai komunikan.
Dalam situasi itu ia menyampaikan pesan persuasinya tetapi pada saat itu pula
ia pada gilirannya menerima pesan persuasi dari lawannya, apakah lawannya itu
sendirian ataupun lebih dari satu orang. Berikut ini adalah beberapa faktor
yang perlu diperhatikan bagi pemimpin sebagai negosiator:
1. Ethos
Dalam suatu perundingan penting, seorang pemimpin akan sukses apabila
ia berhasil menunjukkan “source credibility”, artinya ia mendapat kepercayaan
dari lawannya. Timbulnya kepercayaan disebabkan adanya “ethos” pada dirinya,
yaitu apa yang pernah dikatakan oleh Aristoteles dan yang hingga kini tetap
dijadikan pedoman, yakni “good sense, good moral character and good will” dan
oleh para cendikiawan modern diterjemahkan menjadi “itikad baik (good
intentions), dapat dipercaya (trustworthiness) dan kecakapan atau kemampuan
(competence or expertness).
Jadi selagi menjadi negosiator, seorang pemimpin perlu menunjukkan
bahwa dirinya mempunyai itikad baik, dapat dipercaya dan memang mempunyai
kecakapan atau keahlian.
Austin J. Freeley dalam bukunya “Argumentation and Debate” menganjurkan
agar seorang negosiator menampilkan ethosnya kepada komunikan dengan jalan
mengadakan pilihan. Sebagai contoh, jika dalam pilihannya ia mengambil cara
mengemukakan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hubungannya dengan situasi,
atau bila ia dalam pilihannya mengemukakan kekurangan lawan, maka ethosnya
menjadi menurun. Sebaliknya, apabila ia menampilkan rasa pekanya terhadap
kebahagiaan masyarakat atau menunjukkan kejujuran dan keramahannya terhadap
lawan, maka dalam pandangan komunikan ethosnya menjadi naik.
Freeley selanjutnya menyarankan agar seorang negosiator memperhatikan
apa yang ia sebut “ethical standards” sebagai berikut:
1) Hendaknya menguasai subjeknya;
hendaknya melakukan persiapan secara matang; dan hendaknya mendasarkan kasusnya
pada bukti dan argumen yang sebaik-baiknya.
2) Hendaknya menyajikan fakta
dan opini secara seksama.
3) Hendaknya menyebutkan
sumber informasi.
4) Hendaknya menyambut setiap
perbedaan paham dengan baik, dan kendaknya memelihara dan membina perdebatan
sebagai sarana pengambilan keputusan yang rasional.
Demikianlah
hendaknya seorang pemimpin manakalah ia dalam suatu perundingan mengemban misi
untuk membawakan suatu pesan dengan harapan dapat menghasilkan keputusan yang
menyenangkan kedua belah pihak.
2. Peranan Mendengarkan
Dalam suatu perundingan, terutama perundingan politik yang hasil
keputusannya menyangkut kepentingan negara dan rakyat, peranan seorang pemimpin
bukan saja membawakan pesan dan mempersuasikannya kepada lawan, tetapi juga
sebagai pendengar. Mungkin misinya gagal disebabkan ia tidak memperhatikan
peranannya sebagai pendengar, sehingga bukannya ia mampu mempersuasikan
pesannya, melainkan ia sendiri menjadi sasaran persuasi lawan.
Dalam hubungan dengan peranan mendengarkan ini, Harold P. Zelko dalam
artikelnya yang berjudul “An Outline of the Role of Listening in
Communication”, diantaranya memberikan saran sebagai berikut:
1) Dengarkan semua peserta,
jangan yang hanya anda sukai saja.
2) Konsentrasikan perhatian
ada pada pembicaraan orang. Tataplah dia.
3) Pikirkan mengapa dia
mengetengahkan suatu point khusus.
4) Dalam menjawab atau
menyangkal, hormatilah pendapatnya.
5) Hubungkanlah dan nilailah
jalannya perundingan.
6) Hindarkanlah prasangka
pribadi.
7) Bersikaplah objektif.
Hindarkanlah argumen yang panas.
Sebagai
pendengar yang baik dalam suatu perundingan menurut Zelko, seorang negosiator
akan dapat:
a) membedakan fakta dari opini
b) mengerti, menilai
kesimpulan dan melakukan pertimbangan
c) meneliti prasangka dan
propaganda
d) merekonstruksi pembahasan
yang samar sehingga menjadi jelas.
Tetapi dalam suatu perundingan – juga termasuk jumpa pers atau dengar
pendapat – bukan tidak mungkin seorang pembicara terpojokkan sehingga
kehilangan akal. Kalau ini terjadi, maka ethosnya akan menurun. Dalam situasi
seperti ini, hendaknya dipergunakan “metode red-heering” yaitu mengelakkan
argumentasi dari bagian-bagian yang lemah untuk kemudian mengalihkannya sedikit
demi sedikit ke bagian yang kuat dan dikuasai. Cara ini disebut juga
“mengkanalisasikan argumentasi (canalizing of argumentation)”.
Lain lagi dengan saran Bettinghause. Ia menganjurkan agar dalam situasi
seperti itu membawa persoalannya ke alam yang lebih abstrak. Katanya: “Lebih
abstrak sebuah istilah, lebih kecil kemungkinannya bagi benak komunikan untuk
memperoleh gambaran yang tepat atau gambaran yang dimaksud (the more abstract a
term is, the less likely it is to elicit an accurate picture or an intended
picture in the mind of a receiver).
Yang dimaksudkan dengan “more abstract” oleh Bettinghause dalam contoh
yang dikemukakannya, mempunyai makna “lebih luas”. Demikianlah, maka
berdasarkan pendapat Bettinghause itu, buah lebih luas dari pada mangga, tubuh
lebih luas daripada hidung, manusia lebih luas daripada orang, karyawan lebih
luas daripada jurutulis, politik lebih luas daripada demokrasi, dan sebagainya.
4.3. Pemimpin Sebagai Monitor
Yang dimaksud dengan pemimpin sebagai monitor di sini ialah fungsi
seorang pemimpin mengobservasi dan meneliti gejala-gejala yang muncul di
masyarakat yang mungkin menimbulkan pengaruh pada dirinya, pada kelompoknya
atau organisasi yang diwakilinya; kalau ia seorang diplomat, maka pengaruh ini
adalah terhadap negara dan rakyat yang diwakilinya.
Gejala tersebut bisa timbul akibat kegiatan komunikasi yang pernah
dilancarkannya atau muncul tanpa diduga dan tidak diketahui sebab-sebabnya. Di
sini sang pemimpin bersikap dan bertindak sebagai komunikan.
Berdasarkan hal itu, ditinjau dari segi komunikasi, seorang pemimpin
sebagai monitor dalam kegiatannya tidak jauh berbeda dengan “inteligen terbuka”
(open intelligence), yakni inteligen yang dilakukan secara terang-terangan,
misalnya:
- membaca dan mempelajari
berita-berita dalam surat kabar harian atau majalah berkala seperti mingguan
dan bulanan.
- mendengarkan, mencatat dan
mempelajari siaran-siaran radio/televisi luar negeri dan dalam negeri,
pemerintah maupun swasta, juga radio gelap.
- membaca, mempelajari dan
mengikuti secara terus-menerus pengumuman-pengumuman resmi pemerintah
negara-negara lain.
- membaca dan mempelajari
dokumen-dokumen, statistik-statistik, dan lain sebagainya.
- membaca dan mempelajari
buku-buku dan kesusasteraan mengenai soal-soal tersebut.
- melihat, memperhatikan dan
mempelajari dengan tajam segala sesuatu yang dialami pada waktu mengadakan
peninjauan di suatu tempat atau daerah.
BAB V
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat diketahui kesimpulan bahwa:
5.1. Kepemimpinan merupakan kegiatan seseorang dalam memimpin,
membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkahlaku
orang lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui suatu karya, seperti
buku, tulisan, dsb., atau melalui kontak pribadi antara seseorang dengan orang
lain secara tatap-muka (face-to-face). Fungsi seorang pemimpin beserta teknik
kepemimpinannya berbeda menurut situasi dimana sang pemimpin melakukan
kegiatannya. Kelompok-kelompok yang satu sama lain berbeda macamnya, berbeda
dasarnya, berbeda sifat pemilihannya, serta berbeda fungsi dan tujuannya,
menghendaki cara kepemimpinan yang berbeda pula. Dengan demikian fungsi
kepemimpinan diklasifikasikan dalam 4 macam yaitu pemimpin sebagai eksekutif,
pemimpin sebagai hakim, pemimpin sebagai penganjur, pemimpin sebagai ahli, dan
pemimpin sebagai pemimpin-diskusi.
5.2. Komunikasi merupakan mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan
antar manusia dan yang memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama
dengan alat-alat untuk menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu.
Ini mencakup wajah, sikap dan gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis,
percetakan, kereta-api, telegrap, telephon, dan apa saja yang merupakan
penemuan mutakhir untuk menguasai ruang dan waktu. Kemudian komunikasi terdiri
atas unsur, siapa (who), mengatakan apa (says what), melalui saluran apa (in
which channel), kepada siapa (to whom) dan dengan efek yang bagaimana (with
what effect).
5.3. Komunikasi merupakan bagian terpenting yang perlu mendapat perhatian
ekstra bagi pemimpin ketika ingin mempengaruhi orang lain untuk mau mengerjakan
perintahnya ataupun dalam proses pengambilan keputusan. Keberhasilan pemimpin
sangatlah ditentukan dalam keterampilan berkomunikasi. Meskipun komunikasi
bukan sebagai panasea (obat mujarab) untuk menyelesaikan persoalan atau konflik
itu, karena persoalan atau konflik tersebut mungkin berkaitan dengan masalah
struktural. Namun paling tidak, dengan adanya komunikasi kepemimpinan yang baik
dan yang menyenangkan, diharapkan benturan-benturan psikologis dan
konflik-konflik antara kepentingan pribadi dan kepentingan organisasi yang
sering terjadi, baik antara manajer atau pemimpin dengan karyawan, karyawan
dengan karyawan, yang mengganggu jalannya roda organisasi dalam mencapai tujuannya
bisa dihindari.
5.4. Komunikasi kepemimpinan merupakan aktifitas penyampaian pesan,
informasi, dan tugas (secara verbal ataupun non verbal) melalui media tertentu
yang dilakukan oleh seorang pemimpin kepada bawahannya, dengan tujuan tertentu.
Inti komunikasi kepemimpinan sesungguhnya adalah bagaimana memberikan instruksi
atau tugas yang jelas dan mudah dipahami oleh bawahan, bagaimana
mengkomunikasikan kebijakan organisasi atau perusahaan kepada semua unsur di
dalamnya, bagaimana frekuensi komunikasi pemimpin dengan bawahan dan bagaimana
memotivasi pada bawahan, membangkitkan motif bawahan atau karyawan, menggugah
daya gerak mereka untuk bekerja lebih giat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Onong, Uchjana Effendy, Drs. MA. 1977. Kepemimpinan Dan Komunikasi. Bandung:
Penerbit Alumni.
Abdullah Masmuh, Drs. M.Si. 2008. Komunikasi Organisasi dalam
Perspektif Teori dan Praktek. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah
Malang.
Asmawi, Rewansyah, Dr. MSc. 2012. Kepemimpinan Dalam Pelayanan Publik.
Jakarta Timur: PT. Rizky Grafis.
BAHAN PERKULIAHAN
Asmawi, Rewansyah, Dr. MSc. 2015. Bahan Perkuliahan Ilmu Administrasi
Publik (Slide) Semester Gasal 2015. Jakarta Pusat: STIA LAN Jakarta.