Rabu, 20 Mei 2015

Agama Islam - Pengertian Agama, Agama Islam dan Sumber Hukum

Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys, hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Ilmu Agama dalam Pengertian Agama, Agama Islam dan Sumber Hukum Islam, hal ini perlu kita perdalam lagi karena merupakan dasar hidup kita di dunia ini guys. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka sendiri pada Jumat, 20 Februari 2015.

Semoga dapat membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^




MAKALAH
AGAMA ISLAM

PENGERTIAN AGAMA, AGAMA ISLAM DAN SUMBER HUKUM 





Oleh:
Yogi Sudirman
1428.000.283




SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
JAKARTA TAHUN 2015




KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakhatuh
Al-Hamdulillaah Rabbi al-‘Alamiin, Segala puja-puji hanyalah milik Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, segenap keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya.
Hanya berkat Taufik, Hidayah dan Inayah Allah SWT semata, penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Agama Islam”. Makalah ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mata kuliah Agama Islam di STIA LAN Jakarta pada Semester Gasal tahun 2015.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada Bapak Dr. Muhtadin, MA selaku dosen yang telah banyak membantu dan memberikan arahan dalam penyelesaian Makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih terdapat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
Pada akhir kata penyusun mohon ampun kepada Allah SWT atas kekhilafan dan kekeliruan yang telah dilakukan selama proses penyusunan makalah ini, semoga Allah SWT selalu memberi petunjuk-Nya. Amin.

Jakarta,     Februari 2015

Penyusun









BAB I
PENDAHULUAN

A.      Pengertian Agama
Agama secara etimologi (dilihat dari segi bahasa) menurut Dr. Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015) “agama ialah suatu jalan yang harus diikuti, supaya orang dapat sampai ke suatu tujuan yang mulia dan suci, sesuatu yang tidak berubah atau suatu yang kekal abadi, yang membuat suatu tidak kacau, cara-cara berjalan atau cara-cara sampai kepada keridhaan Tuhan.
Kemudian secara terminologi (dilihat dari arti istilah) menurut Dr. Muhtadin, MA “agama itu mengandung tiga unsur pokok:
1.       Satu sistem Credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya suatu Yang Mutlak diluar manusia,
2.       Satu sistem Ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak itu,
3.       Satu sistem Norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan tersebut di atas.”
Menurut Drs. Hasbullah Bakry, dalam Dr. Muhtadin, MA “Agama adalah jalan hidup dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berpedoman kitab suci dan dipimpin oleh seorang Nabi”.
Dengan definisi tersebut Dr. Muhtadin, MA menyatakan bahwa yang disebut agama itu mengandung empat macam unsur:
1.       Agama itu merupakan jalan hidup atau way of life. Suatu jalan muamalah yang konkrit. Dia memiliki aturan-aturan tertentu guna pedoman bagi amal kehidupan penganut-penganutnya.
2.       Agama itu mengajarkan kepercayaan (keimanan) adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan itu mustakhil tidak ada, dan mustakhil jumlahnya berbilangan.
3.       Agama itu mempunyai kitab suci yang merupakan kumpulan wahyu yang diterima oleh Nabinya dari Tuhan Yang Maha Esa itu, dengan melalui bisikan Roh Suci (Malaikat Jibril).
4.       Agama itu dipimpin oleh seorang Nabi, kalau Nabi itu masih hidup, beliau tidak tersembunyi di lingkungan orang-orang awam yang bodoh, tetapi menyebarkan ajarannya denan terbuka, dan sanggup berdiskusi di tengah orang-orang pandai. Dan kalau Nabi itu sudah wafat, maka ada bukti-bukti yang terang bahwa beliau pernah hidup, mengatakan ini dan itu guna petunjuk bagi umatnya.
Dari penjelasan di atas, jelas agama yaitu kepercayaan adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan adanya kitab suci dan Nabi sebagai pemimpin agama kemudian menjadi pedoman hidup bagi umat manusia hidup di dunia.


B.      Pentingnya Agama dalam Kehidupan Manusia 
Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak sesungguhnya manusia sangatlah membutuhkan agama. Dan sangat dibutuhkannya agama oleh manusia, tidak saja dimasa primitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan belum berkembang, tetapi juga di zaman modern sekarang sewaktu ilmu dan teknologi telah demikian maju. (Dr. Muhtadin, MA. 2015, p.18)
Dr. Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015) memberikan sebagian dari bukti-bukti mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia:
1.       Karena agama merupakan sumber moral
2.       Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
3.       Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika
4.       Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia, baik di kala suka maupun di kala duka.
Dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa agama sangat penting dalam kehidupan manusia. Sehingga, manusia yang memeluk agama akan memiliki moral yang baik dan petunjuk dalam kehidupan di dunia, agar mereka memiliki ketenangan saat menjalani hidup baik secara pribadi maupun membangun hubungan sesama manusia.
Berikut ini penjelasan pentingnya agama menurut Dr. Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015):
1.       Agama, Sumber Moral
Manusia sangatlah memerlukan akhlak atau moral, karena moral sangatlah penting dalam kehidupan.
Moral adalah mustika hidup yang membedakan manusia dari hewan. Manusia tanpa moral pada hakekatnya adalah binatang. Dan manusia yang membinatang ini sangatlah berbahaya. Ia akan lebih jahat dan lebih buas daripada binatang buas sendiri.
Tanpa moral, kehidupan akan kacau balau, tidak saja kehidupan perseorangan tetapi juga kehidupan masyarakat dan negara, sebab soal baik buruk atau halal haram tidak lagi diperdulikan orang. Dan kalau halal haram tidak lagi dihiraukan, ini disebut Machiavellisme. Machiavellisme adalah doktrin Machiavelli “tujuan menghalalkan cara”. Apabila ini terjadi, bisa saja kemudian bangsa dan negara hancur binasa.
Ahmad Syauqi dalam Dr. Muhtadin, MA (2015) berkata, “bahwa keberadaan suatu bangsa ditentukan oleh akhlak. Jika akhlak telah lenyap, akan lenyap pulalah bangsa itu.
Kebenaran ucapan Ahmad Syauqi ini telah berulangkali terbukti dalam sejarah (Al-Qur’an). Karena hancurnya morallah, maka menjadi hancur berbagai umat di masa Nabi-nabi dulu, seperti kaum Ad (umat Nabi Hud), kaum Tsamud (umat Nabi Shaleh), penduduk Sodom (umat Nabi Luth), penduduk Madyan (umat Nabi Syuaib) dan lain sebagainya.
Menurut Prof. Dr. Alexis Carrel dalam Dr. Muhtadin, MA (2015), “Kemajuan ilmu dan teknologi mendorong manusia kepada kebiadaban,” jadi dalam kehidupan seringkali moral melebihi peranan ilmu, sebab ilmu kadangkala merugikan.
Moral dapat digali dan diperoleh dalam agama, karena agama adalah sumber moral, bahkan sumber moral paling tangguh. Nabi Muhammad SAW diutus tidak lain juga untuk membawa misi moral, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
W.M. Dixon dalam Dr. Muhtadin, MA (2015), “Agama betul atau salah, dengan ajarannya percaya kepada TuhanNya kalau tidak satu-satunya, paling sedikit kita boleh percaya, merupakan dasar yang paling kuat bagi moral”.
Dari tulisan W.M. Dixon di atas Dr. Muhtadin, MA mengatakan bahwa agama perupakan sumber dan dasar (paling kuat) bagi moral, karena agama mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan akhirat. Tetapi agama sebagai sumber moral tidak hanya karena agama mengajarkan iman kepada Tuhan dan kehidupan akhirat, melainkan juga karena adanya perintah dan larangan dalam agama. Agama sesungguhnya adalah himpunan perintah dan larangan Tuhan. Kewajiban manusia untuk taat terhadap semua perintah dan larangan Tuhan. Dari sinilah kemudian juga lahir moral, sebab apa yang diperintahkan oleh Tuhan selalu yang baik-baik dan apa yang dilarang-Nya selalu yang buruk-buruk.
Dr. Muhtadin, MA menyimpulkan bahwa pentingnya agama dalam kehidupan disebabkan oleh sangat diperlukannya moral oleh manusia, padahal moral bersumber dari agama. Dan agama menjadi sumber moral, karena agama mengajarkan iman kepada Tuhan dan kehidupan akhirat, dan selain itu karena adanya perintah dan larangan dalam agama.
Dengan demikian, jelas seluruh manusia harus memiliki agama mengingat pentingnya moral bagi manusia untuk keberadaban manusia hidup di bumi ini. Hal ini terkait dengan hubungan antara manusia dengan alam dan manusia dengan sesama manusia agar dapat hidup damai dan tenang di dunia.

2.       Agama, Petunjuk Kebenaran
Manusia adalah makhluk berakal, bahkan juga makhluk tukang bertanya. Apa saja dipertanyakan oleh manusia dengan akalnya, untuk diketahui. Kemudian dari akal lahirlah ilmu filsafat. Dengan ilmu dan filsafat ini makin besarlah keinginan manusia untuk mengetahui segala sesuatu dan makin besar kemampuannya untuk itu.
Salah satu hal yang ingin diketahui oleh manusia ialah apa yang bernama kebenaran. Masalah ini masalah besar, dan menjadi tanda tanya besar bagi manusia sejak zaman dahulu kala. Apa kebenaran itu dan dimana dapat diperoleh?
Sekarang, bagaimana manusia mesti mencapai kebenaran? Sebagai jawaban atas pertanyaan ini Allah SWT telah mengutus Nabi-nabi dan Rasul-rasul di berbagai masa dan tempat, sejak Nabi pertama yaitu Adam sampai dengan Nabi terakhir yaitu Muhammad. Nabi-nabi dan Rasul-rasul ini diberi-Nya wahyu atau agama untuk disampaikan kepada manusia. Wahyu atau agama inilah agama Islam, dan inilah pula sesungguhnya kebenaran yang dicari-cari oleh manusia sejak dahulu kala, yaitu kebenaran yang mutlak dan universal. Tinggallah kewajiban manusia untuk beriman dan patuh terhadap agama kebenaran ini.
Firman Allah SWT menyebutkan, “Sesungguhnya telah kami turunkan Al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar kamu memberikan kepastian hukum diantara manusia dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu”. (An Nisa’ 105)
Dan firman-Nya pula, “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Al Baqarah 147)
Dengan demikian Dr. Muhtadin, MA menyimpulkan, bahwa agama sangat penting dalam kehidupan, karena kebenaran yang gagal dicari-cari oleh manusia sejak dahulu kala dengan ilmu dan filsafatnya, ternyata apa yang dicarinya itu terdapat dalam agama. Agama adalah petunjuk kebenaran. Bahkan agama itulah kebenaran, yaitu kebenaran yang mutlak dan universal. Itulah agama Islam!

3.       Agama, sumber informasi metafisika
Telah disebutkan di muka oleh Dr. Muhtadin, MA, bahwa manusia itu makhluk tukang bertanya. Apa saja dipertanyakan untuk diketahui.
Prof. Arnold Toynbee dalam Dr. Muhtadin, MA memperkuat pernyataan yang demikian ini. Sampai pun, menurut ahli sejarah Inggris kenamaan ini, tabir rahasia alam semesta juga ingin disingkap oleh manusia. Dalam bukunya “An historian’s approach to religion” dia menulis, “Tidak ada satu jiwa pun akan melalui hidup ini tanpa mendapat tantangan-rangsangan untuk memikirkan rahasia alam semesta”.
Lebih dari itu, bahkan rahasia metafisika juga termasuk hal yang ingin disingkap oleh manusia. Padahal masalah metafisika ialah masalah yang gaib-gaib seperti hidup sesudah mati (akhirat), Tuhan, Surga, neraka atau hal-hal lain yang dibalik alam nyata ini. Misalnya persoalan, kalau nyawa bercerai dari badan, kemana gerangan sang nyawa itu pergi? Lelakon apa kira-kira yang bakal dialami? Bagaimana sebenarnya keadaan alam akhirat yang serba gaib itu? Masalah-masalah pelik penuh misteri ini ingin diketahui oleh manusia.
Firman Allah SWT, “Katakan: tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah”. (An Naml 65)
Ibnu Khaldun, dalam kitab “Muqaddimah” nya menulis: “Akal adalah sebuah timbangan yang tepat, yang catatan-catatannya pasti dan bisa dipercaya. Tetapi mempergunakan akal untuk menimbang hakekat dari soal-soal yang berkaitan dengan keesaan Tuhan, atau hidup sesudah mati, atau sifat-sifat Tuhan, atau soal-soal lain yang diluar lingkungan akal, adalah sebaagai mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini tidak berarti bahwa timbangannya itu sendiri yang kurang tepat. Soalnya ialah, karena akal mempunyai batas-batas yang membatasinya.”
Herbert Spencer (seorang filosuf, meninggal tahun 1903 berkata: “Ilmu alam memberitahu kepada kita bahwa untuk kita ada batas yang telah ditentukan, yang tidak boleh kita lampaui dalam soal-soal ilmu. Kita tidak boleh melangkah melewati batas itu untuk mengenal sebab yang pertama (yang dimaksud ialah Tuhan) dan betapa hakekatnya.”
Berhubungan dengan itu persoalan yang menyangkut metafisika masih gelap bagi manusia dan belum mendapat penyelesaian. Semua tanda tanya tentang hal itu tidak terjawab oleh akal manusia, oleh ilmu dan filsafatnya. Padahal sejak dahulu kala manusia telah tergoda untuk menyingkap dan mengetahuinya.
Sesungguhnya persoalan metafisika sudah masuk wilayah agama atau iman, dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Dan Allah Yang Maha Mengetahui perkara yang gaib ini dalam batas-batas yang dipandang perlu telah menerangkan perkara yang gaib tersebut melalui wahyu atau agama-Nya. Dengan demikian agama adalah sumber informasi tentang metafisika, dan karena itu pula hanya dengan agama manusia dapat mengetahui persoalan metafisika. Dengan agamalah dapat diktetahui hal-hal yang berkaitan dengan alam arwah, alam barzah, alam akhirat, surga dan neraka, Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan soal-soal gaib lainnya.
Dengan demikian Dr. Muhtadin, MA menyimpulkan, bahwa agama sangatlah penting bagi manusia (dan karena itu sangat dibutuhkan), karena manusia dengan akal, dengan ilmu atau filsafatnya tidak sanggup menyingkap rahasia metafisika. Hal itu hanya dapat diketahui dengan agama, sebab agama adalah sumber informasi tentang metafisika.

4.       Agama sebagai bimbingan rohani di waktu suka dan duka
Hidup manusia di dunia yang fana ini kadang-kadang suka tetapi kadang-kadang juga duka. Maklumlah, dunia bukanlah surga, tetapi juga bukan neraka. Jika dunia itu surga, tentulah hanya kegembiraan yang ada, dan jika dunia itu neraka tentulah hanya penderitaan yang terjadi. Kenyataan menunjukkan, bahwa kehidupan dunia adalah rangkaian dari suka dan duka yang silih berganti.
Firman Allah SWT: “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, dan engkau Kami coba dengan yang buruk dan dengan yang baik sebagai ujian...” (Al Anbiya’ 35)
Terjadinya suka atau duka yang mewarnai kehidupan dunia ini sebabnya banyak dan bermacam-macam. Tetapi dalam garis besarnya, menurut ayat di atas, karena manusia diberi cobaan Tuhan “dengan yang buruk dan dengan yang baik”. Dan hal itu dimaksudkan sebagai ujian bagi manusia dalam menghadapi cobaan tersebut, yakni cobaan duka karena ditimpa sesuatu yang buruk atau cobaan suka karena memperoleh sesuatu yang baik.
Dalam masyarakat dapat dilihat, seringkali orang salah mengambil sikap menghadapi cobaan suka dan duka ini. Misalnya di kala suka, orang mabuk kepayang dan lupa daratan. Bermacam-macam karunia Tuhan yang ada padanya tidak mengantarkan dia kepada kebaikan tetapi malah membuat dia jahat.
Sikap yang salah juga sering dilakukan orang sewaktu dirundung duka. Dia misalnya hanyut saja dalam himpitan kesedihan yang berkepanjangan. Padahal dari sikap yang keliru ini dapat timbul gangguan kejiwaan yang disebut depresi yang gejala-gejalanya berupa murung, lesu, hilang gairah hidup, merasa tidak berguna dan putus asa. Menurut data yang dikumpulkan oleh WHO (World Health Organisation), diperkirakan 100 juta penduduk dunia dewasa ini mengalami depresi. Dan konon, dari jumlah ini sekitar 800.000 penderita adalah orang-orang Indonesia. Depressi adalah penyebab utama tindakan bunuh diri, dan tindakan ini menempati urutan ke enam dari penyebab utama kematian di Amerika Serikat.
Bagaimana sikap yang benar menghadapi suka dan duka? Jawaban atas pertanyaan ini terkandung dalam sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan: “Betapa menakjubkan keadaan orang yang beriman. Sesungguhnya keadaan orang yang beriman itu semuanya serba baik, dan yang demikian itu tidak bisa terjadi kecuali hanya pada orang yang beriman. Yakni, jika orang yang berima itu memperolah sesuatu yang mengembirakan, dia bersyukur, dan syukur adalah sikap yang baik baginya. Dan jika orang yang beriman itu ditimpa sesuatu yang menyedihkan, dia bersabar, dan sabar juga merupakan sikap yang baik baginya.” (Riwayat Muslim).
Dengan begitu hidup orang beriman selalu stabil, tidak ada guncangan-guncangan, bahkan tenteram dan bahagia. Inilah hal yang menakjubkan dari orang beriman seperti yang dikatakan oleh Nabi. Keadaan hidupnya seluruhnya serba baik. Bagaimana tidak serba baik, kalau di kala suka orang beriman itu bersyukur, padahal “Jika engkau bersyukur akan Aku tambahi,” firman Allah sendiri berjanji (Ibrahim ayat 7). Sebaliknya, orang beriman tabah dan sabar di kala duka, padahal dengan tabah di kala duka dia memperoleh berbagai keutamaan, seperti keampunan dari dosa-dosanya (Hadis riwayat Bukhari), dan lain sebagainya. Bahkan ada pula keuntungan lain sebagai akibat dari kepatuhan menjalankan agama, seperti yang dikatakan oleh seorang spychiater, Dr. A. A. Briil,
“Tiap-tiap orang yang betul-betul menjalankan agama, tidak bisa terkena penyakit urat saraf. Yaitu penyakit karena gelisah risau yang terus menerus. Dengan doa dan dengan iman kepada Tuhan, akan lenyaplah segala macam kekhawatiran dan kegelisahan.”
Demikian Dr. Muhtadin, MA menuliskan pentingnya agama dalam kehidupan. “Agama memberikan bimbingan rohani kepada manusia baik di kala suka maupun di kala duka, sehingga manusia tidak akan kehilangan pegangan dalam situasi yang bagaimanapun.”
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia untuk hidup tenang di dunia ini hanya membutuhkan agama. Karena, agama membimbing rohani manusia dalam menghadapi suka dan duka dalam kehidupannya agar tidak terjadi kegundahan hati dan kebimbangan ataupun kesulitan dalam menjaga perasaan dan ketenangan dalam hidupnya.

C.      Macam-Macam Agama
Berikut ini macam-macam agama menurut Dr. Muhtadin, MA yang melihat dari asal atau sumbernya, dapat dibedakan antara Agama Wahyu dan Agama Budaya.
Agama wahyu disebut juga Agama Samawi, Agama Langit, Agama Profetis, Revealed Religion. Agama Budaya disebut juga Agama Ardli, Agama Bumi, Agama Filsafat, Agama Ra’yu, Natural Religion, Non Revealed Religion.
Kedua agama tersebut mempunyai ciri-ciri yang sangat berbeda, dan dengan memperhatikan ciri-ciri yang ada, dapat diketahui apa yang disebut Agama Wahyu dan apa pula yang disebut Agama Budaya.
1.       Agama Wahyu mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.       Berasal dari wahyu Allah, jadi bukan ciptaan manusia atau siapa pun selain Allah.
b.      Ajaran ketuhanannya Monotheisme (Tauhid) mutlak.
c.       Disampaikan oleh manusia yang dipilih oleh Allah sebagai Nabi/Rasul-Nya
d.      Mempunyai kitab suci yang otentik (asli), bersih dari campur tangan manusia.
e.      Ajaran-ajarannya bersifat tetap, tidak berubah-ubah, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan pengikut-pengikutnya.
2.       Agama Budaya mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.       Hasil fikiran dan atau perasaan manusia.
b.      Ajaran ketuhanannya paling tinggi Monotheisme Nisbi, bahkan kadang-kadang Dinamisme, Animisme atau Politheisme.
c.       Tidak disampaikan oleh Nabi/Rasul Allah SWT.
d.      Umumnya tidak mempunyai kitab suci. Kalau pun ada, sudah mengalami perubahan-perubahan (bertambah dan berkurang) dalam perjalanan sejarahnya.
e.      Ajaran-ajarannya berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal fikiran pengikut-pengikutnya.
Yang termasuk agama wahyu satu-satunya adalah Agama Islam, sedang selebihnya, kecuali Agama Nasrani dan Yahudi, termasuk Agama Budaya. Agama Nasrani dan Yahudi dalam bentuknya yang asli juga termasuk Agama Wahyu, sebab kedua agama tersebut dalam bentuknya yang asli tidak lain adalah Agama Islam. Menurut Al Qur’an, agama yang dibawa dan dianut oleh semua Nabi adalah Agama Islam. Adapun Agama Nasrani dan Yahudi dalam bentuknya seperti yang sekarang, tidak bisa disebut sebagai Agama Budaya, tetapi juga kurang memenuhi persyaratan (kurang pas) untuk dikatakan sebagai Agama Wahyu. Kedua agama tersebut dalam wujudnya seperti yang ada sekarang dapat digoloongkan sebagai Semi Agama Wahyu.






BAB II   
PEMBAHASAN

A.      AGAMA ISLAM
1.       Pengertian Agama Islam
Dr. Muhtadin, MA menuliskan dalam Pendidikan Agama Islam dalam Perguruan Tinggi (2015), sebagai nama agama, “Islam” adalah sebaik-baik nama, sehingga tidak ada kata atau sebutan lain yang bisa  menggantikannya. Kata “Muhammedanism” misalnya, seperti yang sering dikemukakan oleh kaum Orientalis untuk menyebut Islam sangat tidak memadai dan mempunyai beberapa kelemahan, dan oleh karena itu tidak dapat dibenarkan.
Islam adalah nama yang asli diberikan oleh Allah SWT sendiri. Dalam Al Qur’an antara lain disebutkan:
-          “Sesungguhnya agama (yang benar) disisi Allah ialah Islam.” (Ali Imran 19)
-          “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al Maidah 3)
Penamaan Islam dengan Mohammedanism mengacu pada Muhammad yang menurut kaum Orientalis adalah “pencipta” Agama Islam. Ini berbau kultus, sesuatu yang justru sangat ditentang oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.
Apa arti Islam? Mempunyai beberapa arti, dan ini tinjauan oleh Dr. Muhtadin, MA dari hukum syara’, arti bahasa dan arti istilah.
Menurut hukum syara’, yaitu menurut apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, Islam ialah melaksanakan kelima Rukun Islam. Dalam Hadis riwayat Muslim beliau bersabda, bahwa yang disebut Islam ialah, “Engkau mengakui bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika Engkau mampu”.
Menurut arti bahasa (etimologi), Islam mempunyai arti:
1.       Islam dari asal kata “aslama-yuslimu-islaaman”, artinya menyerah, maksudnya menyerah kepada kehendak Allah SWT. Penyerahan kepada kehendak Allah di sini bersifat mutlak, bulat, total, dengan mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya atau mematuhi ketentuan apa pun yang ditetapkan oleh-Nya.
“Dan segala apa yang ada di langit dan bumi semuanya sujud, tunduk kepada Allah, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa, demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang.” (Ar Ra’d 15)
Bagaimana seharusnya sikap hidup seorang muslim kepada Tuhannya, digambarkan oleh Al Qur’an:
“Katakanlah: sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada kehendak Allah.” (Al An’am 162 – 163)
2.       Islam dari asal kata “salima-yaslamu-silmun”, artinya damai, maksudnya damai dengan Allah dan damai dengan makhluk. Makhluk di sini, terutama sesama manusia.
Damai dengan Allah, artinya tidak lain ialah taat kepada Allah, tidak bermusuhan atau tidak durhaka kepada-Nya. Dan taat kepada Allah tentu saja dengan mengerjakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya. Kalau perintah Allah diabaikan dan laranganNya dilanggar, maka ini namanya bermushan atau durhaka kepada Allah, tidak damai. Kalau Allah didurhakai, maka yang rugi adalah manusia sendiri, sebab Allah Maha Kuasa sedang manusia maha lemah. Dan kerugian tidak saja diderita di dunia, tetapi mungkin juga diderita di akhirat.
Damai dengan sesama manusia, artinya hidup rukun dengan sesama manusia, tidak berbuat jahan kepada mereka, bahkan berbuat baik kepada mereka. Sesama manusia di sini dalam pengertiannya yang mutlak, dengan tidak memandang perbedaan agama, warna kulit, keturunan, kekayaan, pangkat atau kedudukan, dan lain sebagainya. Karena itu Islam adalah agama perdamaian, agama persaudaraan.
Dalam sebuah Hadis, disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Sayangilah orang yang ada di bumi, maka Engkau akan disayangi oleh orang yang ada di langit,” (Riwayat Ath Thabarani)
Tetapi, kenapa dalam Islam juga ada ajaran perang, yaitu perang (jihad) di jalan Allah? Dalam Islam memang betul ada ajaran perang, tetapi perang yang diizinkan oleh Islam ialah perang untuk membela diri, untuk mempertahankan diri, bukan perang yang sifatnya untuk menyerang.
Firman Allah menyebutkan, “Dan berperanglah di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas.” (Al Baqarah 190)
3.       Islam dari asal kata “salama-yaslamu-salaman wa salamatan”, artinya selamat. Maksudnya selamat dunia dan akhirat. Islam adalah jalan keselamatan bagi manusia, dunia dan akhirat. Tetapi sudah barang tentu, yang mendapat jaminan selamat dunia dan akhirat di sini ialah mereka yang menganut Islam dengan sebaik-baiknya, dengan beriman akan kebenaran ajaran-ajarannya, dan taat mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.
“Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus, karena itu ikutilah jalanKu yang lurus itu, jangan engkau ikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan yang lain itu akan menyelewengkan kamu dari jalanKu yang lurus itu. Demikianlah wasiat Allah kepadamu supaya kamu bertakwa.” (Al An’am 153)
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran 85)

2.       Islam satu-satunya Agama yang Benar dan Sempurna
Menurut arti pengertian istilah (terminologi), Islam mempunyai arti dua macam pengertian, yaitu pengertian khusus dan pengertian umum.
Pengertian yang sudah dimaklumi oleh kebanyakan orang, bahwa Islam ialah agama Allah yang dibawa/diajarkan oleh Nabi Muhammad, sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Sunnah beliau. Pengertian yang demikian ini memang tidak salah, tetapi ini adalah Islam menurut pengertian istilah khusus. Islam mempunyai cakrawala pengertian yang lebih luas dari itu. Sesungguhnya Islam juga, agama Allah yang dibawa/diajarkan oleh semua Nabi/Rasul Allah yang pernah lahir di berbagai masa dan tempat, sejak Nabi yang pertama (yaitu Adam) sampai dengan Nabi yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad SAW). Islam dalam makna yang luas inilah Islam menurut pengertian istilah umum.
Allah SWT hanyalah satu, esa, agamaNya juga satu, yaitu Islam. Karena itu tidak pernah ada Nabi kecuali mesti Islam, dan tidak ada agama bagi Allah kecuali juga Islam. Itulah sebabnya orang Islam harus beriman kepada semua Nabi/Rasul yang disebutkan dalam Al Qur’an yang jumlahnya dua puluh lima orang, karena mereka semuanya Islam.
Bahwa agama yang dibawa oleh semua Nabi itu Islam, dapat diketahui dari dua alasan:
a.       Al Qur’an dengan berbagai ayatnya secara hitam di atas putih menerangkan bahwa agama semua Nabi ialah Islam dan bahwa Nabi-nabi yang mengajarkannya juga Nabi-nabi Islam.
Salah satu ayat menyebutkan, “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah ialah Islam”. (Ali Imran 19)
Ayat ini bersifat umum, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu ketentuan bahwa agama (yang benar) di sisi Allah itu Islam, tidak hanya berlaku khusus di masa Nabi Muhammad, tetapi juga berlaku di masa semua Nabi yang pernah ada.
Selanjutnya dapat dilihat pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini:
An Nisa’ (4) ayat 163-165       :  kesamaan antara apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dengan apa yang diwahyukan kepada Nabi-nabi sebelum beliau.
Al Baqarah (2) ayat 136          :  keimanan Nabi Muhammad kepada apa yang diturunkan kepada Nabi-nabi sebelum beliau.
Yunus (10) ayat 72                    :  tentang keislaman Nabi Nuh.
Al Baqarah (2) ayat 131 dan
Ali Imran (3) ayat 67                :  tentang keislaman Nabi Ibrahim
Al Baqarah (2) ayat 132          :  wasiat Islam Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub kepada anak keturunannya.
Yusuf (12) ayat 101                  :  do’a Nabi Yusuf supaya diwafatkan sebagai orang Islam.
Yunus (10) ayat 84                    :  tentang keislaman Nabi Musa.
Al Baqarah (2) ayat 133          :  janji keislaman anak-anak Ya’qub menjelang wafatnya Ya’qub.
Ali Imran (3) ayat 52                :  pernyataan keislaman murid-murid Nabi Isa.
b.      Adanya kesamaan dasar dan intisari dari agama yang dibawa oleh semua Nabi, yang berupa ajaran tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan untuk misi terpenting inilah semua Nabi/Rasul diutus oleh Allah SWT kepada umat mereka masing-masing. Hal ini Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwa tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Al Anbiya’ 25).
Dari uraian di atas Dr. Muhtadin, MA menyimpulkan bahwa Islam mengandung makna damai, sejahtera, penyerahan diri, taat, patuh dan menerima kehendak Allah. Orang yang mengaku beragama Islam disebut muslim.

3.       Pokok-Pokok Ajaran Agama Islam
Menurut Dr. Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015) menyebutkan, bahwa ruang lingkup ajaran Islam meliputi tiga bidang: Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.
1.       Aqidah
Aqidah, arti bahasanya ikatan atau sangkutan. Bentuk jamaknya ialah Aqa’id. Arti Aqidah menurut istilah ialah keyakinan hidup atau lebih khas lagi: iman. Sesuai dengan maknanya ini, yang disebut Aqidah ialah bidang keimanan dalam Islam, dengan meliputi semua hal yang harus diyakini oleh seorang muslim/mukmin. Terutama sekali yang termasuk bidang Aqidah ialah Rukun Iman yang enam, yaitu:
a.       Iman kepada Allah,
b.      Iman kepada malaikat-malaikatNya,
c.       Iman kepada kitab-kitabNya,
d.      Iman kepada Rasul-rasulNya
e.      Iman kepada hari Akhirat,
f.        Iman kepada Qadha dan Qadar.
Disiplin ilmu yang secara khusus membahas Aqidah Islam ialah Ilmu Tauhid, atau disebut juga Ilmu Ushuluddin atau Ilmu Kalam.
2.       Syari’ah
Syari’ah, arti bahasanya jalan, sedang arti istilahnya ialah peraturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan tiga fihak, Tuhan, sesama manusia dan alam seluruhnya. Peraturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan disebut Ibadah, dan yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan alam seluruhnya disebut Mu’amalah. Rukun Islam yang lima, yaitu Syahadat, salat, zakat, puasa dan haji termasuk ibadah, yaitu ibadah dalam artinya yang khusus, yang materi dan tatacaranya telah ditentukan secara permanen dan rinci dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Selanjutnya Mu’amalah dapat dirinci lagi sehingga terdiri dari:
a.       Munakahat (perkawinan), termasuk di dalamnya soal harta waris (faraid) dan wasiat.
b.      Tijarah (Hukum Niaga), termasuk di dalamnya soal sewa-menyewa, utang-piutang, wakaf dan lain-lain.
c.       Hudud dan Jinayat, keduanya merupakan Hukum Pidana Islam. Hudud ialah hukuman bagi tindak kejahatan zina, tuduhan zina, merampok, mencuri dan minum-minuman keras. Jinayat ialah hukuman bagi tindak kejahatan pembunuhan, melukai orang, memotong anggota, dan menghilangkan manfaat badan. Dalam Jinayat berlaku Qishos, yaitu hukuman balas (Baca Al Baqarah 178)
d.      Khilafah (pemerintahan/politik Islam)
e.      Jihad (perang), termasuk juga soal Ghanimah (harta rampasan perang) dan tawanan.
3.       Akhlak
“Akhlak” adalah kata Arab, jamak dari “kuluq” yang artinya perangai atau tabiat. Sesuai dengan arti bahasa ini, maka akhlak adalah bagian ajaran Islam yang mengatur tingkah laku perangai manusia. Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak dengan, “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran.”
Akhlak ini meliputi akhlak manusia kepada Tuhan, kepada Nabi/Rasul, kepada diri sendiri, kepada keluarga, kepada tetangga, kepada sesama muslim, kepada non muslim, dan sebagainya.




B.      SUMBER HUKUM DALAM ISLAM
Berikut ini penjelasan dari Dr. Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015), mengenai sumber hukum dalam Islam.
Pada dasarnya yang menjadi sumber norma dan hukum Islam ialah Kitab Suci Al Qur’an dan Sunnah/Hadits Rasulullah SAW. Keduanya merupakan sumber pokok atau sumber utama (spychologis). Akan tetapi kalau dirinci, sebetulnya selain dua sumber tersebut, masih terdapat sumber lain yang berkedudukan sebagai sumber pelengkap atau tambahan atau penjelasan (sosiologis), yang disebut “Ijtihad”.
1.       Al-Qur’an
Al Qur’an menurut bahasa mempunyai arti yang bermacam-macam, salah satunya menurut pendapat yang lebih kuat adalah bahwa Al Qur’an berarti “bacaan” atau yang dibaca. Pendapat ini beralasan bahwa Al Qur’an adalah bentuk masdar dari kata “Qara’a-Yaqra’u” artinya “membaca”. Al Qur’an dalam arti membaca ini dipergunakan oleh ayat Al Qur’an sendiri, misalnya dalam surat Al Qiyamah ayat 16-18:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya. (Al Qiyamah 75: 16-18)
Al Qur’an menurut arti istilah (terminologi) juga mempunyai beberapa definisi, sebagai berikut:
a.       Al Qur’an adalah firman Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir dengan perantaraan malaikat Jibril yang tertulis di dalam mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir yang diperintahkan membacanya, yang dimulai dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An Nas.
b.      Al Qur’an lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang diperintahkan membacanya, yang menantang setiap orang (untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang terpendek dari pada surat-surat yang ada di dalamnya.
Dari dua definisi tersebut Dr. Muhtadin, MA (2015) menyimpulkan,  bahwa apa yang disebut Al Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Al Qur’an adalah firman Allah SWT.
b.      Al Qur’an yang merupakan firman Allah itu berbahasa Arab. Karena itu Al Qur’an yang ditulis atau dilafalkan tidak dalam bahasa Arab tidak dapat disebut Al Qur’an.
c.       Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantaraan Malaikat Jibril.
d.      Al Qur’an sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, artinya Al Qur’an diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Dari Allah melalui Malaikat Jibril itu, beliau ajarkan kepada orang banyak, selanjutnya orang banyak mengajarkannya kepada orang banyak pula, begitulah seterusnya sehingga akhirnya sampai kepada kita. Jalan “dari orang banyak kepada orang banyak” ini merupakan jaminan bagi kebenaran/keotentikan Al Qur’an, sebab tidak mungkin orang banyak sepakat untuk dusta. Bukan Al Qur’an kalau hanya diriwayatkan oleh seseorang atau beberapa orang saja.
e.      Al Qur’an adalah mukjizat, yaitu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang bersifat memberikan tantangan kepada siapapun yang tidak percaya terhadap kebenaran Al Qur’an. Mereka ditantang untuk menandingi atau mengalahkan Al Qur’an, meskipun hanya dengan membuat satu surat yang paling pendek. Namun tidak mungkin Al Qur’an dapat ditandingi, sebab kalau dapat ditandingi namanya bukan mukjizat.
f.        Al Qur’an ditulis di dalam mushaf, bahwa Al Qur’an ini ditulis sejak masa turun (Nabi Muhammad SAW). Karena selalu ditulis “Mushaf Usmani” karena penulisannya mengikuti metode Usman Bin Affan.
g.       Al Qur’an diperintahkan untuk dibaca (selain diperlajari dan diamalkan) karena membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
h.      Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas.
Al Qur’an yang disalin ke dalam berbagai bahasa disebut “terjemah Al Qur’an”, sedangkan yang lebih luas menguraikan pengertian beserta segala aspeknya disebut “tafsir Al Qur’an”.
“Al quran adalah cahaya yang terang benderang, peringatan yang dan jalan yang lurus.” (H.R. Baihaqi).
Ulama ahli Ushul berpendapat bahwa Al Qur’an menjadi nama bagi keseluruhannya dan juga bagian-bagiannya. Ayat demi ayatnya terjaga keasliannya walaupun terdapat berbagai variasi dalam ucapan aturan membacanya, akan tetapi tidak merubah prinsip makna yang terkandung di dalamnya.
Berikut ini pembagian hukum-hukum yang terkandung dalam Al Qur’an yang terbagi atas tiga kelompok menurut Dr. Muhtadin, MA (2015), yaitu sebagai berikut:
a.       Hukum-hukum i’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan keimanan.
b.      Hukum khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak.
c.       Hukum-hukum amaliah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan syariah dalam pengertian khusus. Hukum amaliah ini pada garis besarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
1)      Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan khaliknya, yang dikenal dengan istilah “ibadah”.
2)      Hukum-hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia, yang dikenal dengan istilah “muaamalah”.

2.       As-Sunah
Menurut Dr. Muhtadin, MA (2015) pengertian hadis terbagi menjadi dua macam pengertian, yaitu pengertian secara terbatas (sempit) dan pengertian secara luas.
Pengertian hadis secara terbatas (sempit) yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Jumhul Muhadditsin dalam Dr. Muhtadin, MA., ialah:
“Hadis ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.”
Ta’rif ini mengandung empat macam unsur, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan Nabi Muhammad SAW., dan yang lain, yang semuanya itu hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja.
Pengertian hadis secara luas ialah sesuatu yang disandarkan baik kepada Nabi Muhammad SAW., atau sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) maupun sifat dan keadaannya.
Sebagian ulama membedakana antara hadis dan sunah. Letak perbedaannya adalah kalau hadis ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, walaupun hanya sekali saja beliau mengerjakannya sepanjang hidup, dan walaupun hanya seorang saja yang meriwayatkannya. Sedangkan sunah ialah sesuatu yang dilakukan oleh nabi tidak sekali dua kali, tetapi dilakukan dengan terus-menerus dan dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dari zaman ke zaman dengan jalan mutawatir. Nabi melakukan perbuatan itu beserta para sahabat, kemudian hal itu diteruskan oleh sahabat lain dan tabi’in, bahkan seterusnya oleh generasi demi generasi sehingga sampai pada masa sekarang. Sunnah dalam makna seperti inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
“Wajib bagi kamu berpegang kepada Sunahku dan Sunah para Khulafaur Rasydin sesudahku.” (H.R. Abu Daud).

3.       Ijtihad
Menurut Dr. Muhtadin, MA (2015), dari segi bahasa, arti ijtihad adalah “mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan”. Mengerjakan apa saja, asalkan dilakukan dengan penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya. Kata ijtihad memang tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus dikerjakan dengan susah payah. Sedangkan menurut arti istilah, yang disebut ijtihad ialah “mengerahkan segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum-hukum syari’ah”.
Di antara nash-nash hukum yang ada, adakalanya merupakan nash yang Qath’i, artinya nash tersebut menunjukkan kepada hukum yang jelas dan tertentu sehingga tidak mungkin adanya interpretasi atau penafsiran lain. Terhadap nash yang demikian tidak diperlukan adanya itjihad. Misalnya firman Allah SWT:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (An Nur 24: 2)
Akan tetapi, adakalanya di antara nash-nash itu bersifat dzanny, artinya nash tersebut belum menunjukkan kepada kaum yang jelas dan masih dimungkinkan adanya interpretasi dan penafsiran lain. Misalnya firman Allah SWT:
“Wanita-wanita yang ditolak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Q.S. Al Baqarah 2: 228)
Ayat tersebut belum menunjukkan kepada hukum yang jelas dan pasti, karena pengertian “quru” dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yaitu, “suci” dan “haid”. Di antara dua kemungkinan hukum tersebut, mana yang akan diambil ketetapan hukumnya? Dalam hal ini memerlukan itjihad.
Selain dari itu adakalanya timbul masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat yang ketetapan hukumnya belum ada baik dalam Al Qur’an maupun hadis. Seperti masalah inseminasi buatan (kawin suntik) pada manusia, bayi tabung, penggantian kelamin, donor mata, dan lain-lain. Semua ini memerlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
Dari uraian di atas, Dr. Muhtadin, MA (2015) menyimpulkan bahwa tempat atau lapangan ijtihad itu adalah sebagai berikut:
a.       Dalam mengistimbatkan hukum dari nash-nash yang sifatnya dzanny.
b.      Dalam menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru yang ketetapan hukumnya belum ada.
Berikut ini hukum ijtihad menurut Dr. Muhtadin, MA (2015), sebagai berikut:
a.       Wajib ‘ain yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang suatu masalah sedang masalah tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian pula wajib ‘ain apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b.      Wajib Kifayah, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang suatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
c.       Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.






DAFTAR PUSTAKA

Muhtadin. 2015. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Unv. Prof. Dr. Moestopo. Jakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)