Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys,
hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang
bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal pahalanya,
Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Ilmu Agama dalam Pengertian Agama, Agama Islam dan Sumber Hukum Islam, hal ini perlu kita perdalam lagi karena
merupakan dasar hidup kita di dunia ini guys. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka sendiri pada Jumat, 20 Februari 2015.
Semoga dapat
membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare
ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^
MAKALAH
AGAMA ISLAM
PENGERTIAN AGAMA, AGAMA ISLAM DAN SUMBER HUKUM
Oleh:
Yogi Sudirman
1428.000.283
SEKOLAH
TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI
NEGARA
JAKARTA TAHUN
2015
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakhatuh
Al-Hamdulillaah Rabbi al-‘Alamiin, Segala puja-puji hanyalah milik Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Shalawat dan salam semoga tetap
dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, segenap keluarga, sahabat dan
pengikut-pengikutnya.
Hanya berkat Taufik, Hidayah dan Inayah Allah SWT semata, penyusun dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Agama Islam”. Makalah ini adalah
sebagai salah satu syarat dalam mata kuliah Agama Islam di STIA LAN Jakarta
pada Semester Gasal tahun 2015.
Dalam penyusunan
makalah ini, penyusun mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada Bapak Dr.
Muhtadin, MA selaku dosen yang telah banyak membantu dan memberikan arahan
dalam penyelesaian Makalah ini.
Penyusun menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penyusun
sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk
penyempurnaan makalah ini.
Pada akhir kata penyusun
mohon ampun kepada Allah SWT atas kekhilafan dan kekeliruan yang telah
dilakukan selama proses penyusunan makalah ini, semoga Allah SWT selalu memberi
petunjuk-Nya. Amin.
Jakarta, Februari 2015
Penyusun
BAB
I
A. Pengertian
Agama
Agama secara etimologi (dilihat dari segi bahasa) menurut
Dr. Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015) “agama
ialah suatu jalan yang harus diikuti, supaya orang dapat sampai ke suatu tujuan
yang mulia dan suci, sesuatu yang tidak berubah atau suatu yang kekal abadi,
yang membuat suatu tidak kacau, cara-cara berjalan atau cara-cara sampai kepada
keridhaan Tuhan.
Kemudian secara terminologi (dilihat dari arti
istilah) menurut Dr. Muhtadin, MA “agama itu mengandung tiga unsur pokok:
1.
Satu
sistem Credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya suatu Yang Mutlak
diluar manusia,
2.
Satu
sistem Ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Yang Mutlak
itu,
3.
Satu
sistem Norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia
dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan tersebut di atas.”
Menurut Drs. Hasbullah Bakry, dalam Dr. Muhtadin, MA
“Agama adalah jalan hidup dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berpedoman kitab suci dan dipimpin oleh seorang Nabi”.
Dengan
definisi tersebut Dr. Muhtadin, MA menyatakan bahwa yang disebut agama itu
mengandung empat macam unsur:
1.
Agama
itu merupakan jalan hidup atau way of life. Suatu jalan muamalah yang konkrit.
Dia memiliki aturan-aturan tertentu guna pedoman bagi amal kehidupan
penganut-penganutnya.
2.
Agama
itu mengajarkan kepercayaan (keimanan) adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan itu
mustakhil tidak ada, dan mustakhil jumlahnya berbilangan.
3.
Agama
itu mempunyai kitab suci yang merupakan kumpulan wahyu yang diterima oleh
Nabinya dari Tuhan Yang Maha Esa itu, dengan melalui bisikan Roh Suci (Malaikat
Jibril).
4.
Agama
itu dipimpin oleh seorang Nabi, kalau Nabi itu masih hidup, beliau tidak
tersembunyi di lingkungan orang-orang awam yang bodoh, tetapi menyebarkan
ajarannya denan terbuka, dan sanggup berdiskusi di tengah orang-orang pandai.
Dan kalau Nabi itu sudah wafat, maka ada bukti-bukti yang terang bahwa beliau
pernah hidup, mengatakan ini dan itu guna petunjuk bagi umatnya.
Dari penjelasan di atas, jelas agama yaitu
kepercayaan adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan adanya kitab suci dan Nabi
sebagai pemimpin agama kemudian menjadi pedoman hidup bagi umat manusia hidup
di dunia.
B. Pentingnya
Agama dalam Kehidupan Manusia
Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia.
Demikian pentingnya agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak
sesungguhnya manusia sangatlah membutuhkan agama. Dan sangat dibutuhkannya
agama oleh manusia, tidak saja dimasa primitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan
belum berkembang, tetapi juga di zaman modern sekarang sewaktu ilmu dan
teknologi telah demikian maju. (Dr. Muhtadin, MA. 2015, p.18)
Dr. Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama Islam pada
Perguruan Tinggi (2015) memberikan sebagian dari bukti-bukti mengapa agama itu
sangat penting dalam kehidupan manusia:
1.
Karena
agama merupakan sumber moral
2.
Karena
agama merupakan petunjuk kebenaran
3.
Karena
agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika
4.
Karena
agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia, baik di kala suka maupun di
kala duka.
Dengan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
agama sangat penting dalam kehidupan manusia. Sehingga, manusia yang memeluk
agama akan memiliki moral yang baik dan petunjuk dalam kehidupan di dunia, agar
mereka memiliki ketenangan saat menjalani hidup baik secara pribadi maupun
membangun hubungan sesama manusia.
Berikut ini penjelasan pentingnya agama menurut Dr.
Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015):
1. Agama,
Sumber Moral
Manusia sangatlah memerlukan akhlak atau moral,
karena moral sangatlah penting dalam kehidupan.
Moral adalah mustika hidup yang membedakan manusia
dari hewan. Manusia tanpa moral pada hakekatnya adalah binatang. Dan manusia
yang membinatang ini sangatlah berbahaya. Ia akan lebih jahat dan lebih buas
daripada binatang buas sendiri.
Tanpa moral, kehidupan akan kacau balau, tidak saja
kehidupan perseorangan tetapi juga kehidupan masyarakat dan negara, sebab soal
baik buruk atau halal haram tidak lagi diperdulikan orang. Dan kalau halal
haram tidak lagi dihiraukan, ini disebut Machiavellisme. Machiavellisme adalah
doktrin Machiavelli “tujuan menghalalkan cara”. Apabila ini terjadi, bisa saja
kemudian bangsa dan negara hancur binasa.
Ahmad Syauqi dalam Dr. Muhtadin, MA (2015) berkata,
“bahwa keberadaan suatu bangsa ditentukan oleh akhlak. Jika akhlak telah
lenyap, akan lenyap pulalah bangsa itu.
Kebenaran ucapan Ahmad Syauqi ini telah berulangkali
terbukti dalam sejarah (Al-Qur’an). Karena hancurnya morallah, maka menjadi
hancur berbagai umat di masa Nabi-nabi dulu, seperti kaum Ad (umat Nabi Hud),
kaum Tsamud (umat Nabi Shaleh), penduduk Sodom (umat Nabi Luth), penduduk
Madyan (umat Nabi Syuaib) dan lain sebagainya.
Menurut Prof. Dr. Alexis Carrel dalam Dr. Muhtadin,
MA (2015), “Kemajuan ilmu dan teknologi mendorong manusia kepada kebiadaban,”
jadi dalam kehidupan seringkali moral melebihi peranan ilmu, sebab ilmu
kadangkala merugikan.
Moral dapat digali dan diperoleh dalam agama, karena
agama adalah sumber moral, bahkan sumber moral paling tangguh. Nabi Muhammad
SAW diutus tidak lain juga untuk membawa misi moral, yaitu untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia.
W.M. Dixon dalam Dr. Muhtadin, MA (2015), “Agama
betul atau salah, dengan ajarannya percaya kepada TuhanNya kalau tidak
satu-satunya, paling sedikit kita boleh percaya, merupakan dasar yang paling
kuat bagi moral”.
Dari tulisan W.M. Dixon di atas Dr. Muhtadin, MA
mengatakan bahwa agama perupakan sumber dan dasar (paling kuat) bagi moral,
karena agama mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan akhirat. Tetapi
agama sebagai sumber moral tidak hanya karena agama mengajarkan iman kepada
Tuhan dan kehidupan akhirat, melainkan juga karena adanya perintah dan larangan
dalam agama. Agama sesungguhnya adalah himpunan perintah dan larangan Tuhan.
Kewajiban manusia untuk taat terhadap semua perintah dan larangan Tuhan. Dari
sinilah kemudian juga lahir moral, sebab apa yang diperintahkan oleh Tuhan
selalu yang baik-baik dan apa yang dilarang-Nya selalu yang buruk-buruk.
Dr. Muhtadin, MA menyimpulkan bahwa pentingnya agama
dalam kehidupan disebabkan oleh sangat diperlukannya moral oleh manusia,
padahal moral bersumber dari agama. Dan agama menjadi sumber moral, karena
agama mengajarkan iman kepada Tuhan dan kehidupan akhirat, dan selain itu
karena adanya perintah dan larangan dalam agama.
Dengan demikian, jelas seluruh manusia harus
memiliki agama mengingat pentingnya moral bagi manusia untuk keberadaban
manusia hidup di bumi ini. Hal ini terkait dengan hubungan antara manusia
dengan alam dan manusia dengan sesama manusia agar dapat hidup damai dan tenang
di dunia.
2. Agama,
Petunjuk Kebenaran
Manusia adalah makhluk berakal, bahkan juga makhluk
tukang bertanya. Apa saja dipertanyakan oleh manusia dengan akalnya, untuk
diketahui. Kemudian dari akal lahirlah ilmu filsafat. Dengan ilmu dan filsafat
ini makin besarlah keinginan manusia untuk mengetahui segala sesuatu dan makin
besar kemampuannya untuk itu.
Salah satu hal yang ingin diketahui oleh manusia
ialah apa yang bernama kebenaran. Masalah ini masalah besar, dan menjadi tanda
tanya besar bagi manusia sejak zaman dahulu kala. Apa kebenaran itu dan dimana
dapat diperoleh?
Sekarang, bagaimana manusia mesti mencapai
kebenaran? Sebagai jawaban atas pertanyaan ini Allah SWT telah mengutus
Nabi-nabi dan Rasul-rasul di berbagai masa dan tempat, sejak Nabi pertama yaitu
Adam sampai dengan Nabi terakhir yaitu Muhammad. Nabi-nabi dan Rasul-rasul ini
diberi-Nya wahyu atau agama untuk disampaikan kepada manusia. Wahyu atau agama
inilah agama Islam, dan inilah pula sesungguhnya kebenaran yang dicari-cari
oleh manusia sejak dahulu kala, yaitu kebenaran yang mutlak dan universal.
Tinggallah kewajiban manusia untuk beriman dan patuh terhadap agama kebenaran
ini.
Firman Allah SWT menyebutkan, “Sesungguhnya telah
kami turunkan Al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, agar kamu memberikan
kepastian hukum diantara manusia dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Allah
kepadamu”. (An Nisa’ 105)
Dan
firman-Nya pula, “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu janganlah
sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Al Baqarah 147)
Dengan demikian Dr. Muhtadin, MA menyimpulkan, bahwa
agama sangat penting dalam kehidupan, karena kebenaran yang gagal dicari-cari
oleh manusia sejak dahulu kala dengan ilmu dan filsafatnya, ternyata apa yang
dicarinya itu terdapat dalam agama. Agama adalah petunjuk kebenaran. Bahkan
agama itulah kebenaran, yaitu kebenaran yang mutlak dan universal. Itulah agama
Islam!
3. Agama,
sumber informasi metafisika
Telah disebutkan di muka oleh Dr. Muhtadin, MA,
bahwa manusia itu makhluk tukang bertanya. Apa saja dipertanyakan untuk
diketahui.
Prof. Arnold Toynbee dalam Dr. Muhtadin, MA
memperkuat pernyataan yang demikian ini. Sampai pun, menurut ahli sejarah
Inggris kenamaan ini, tabir rahasia alam semesta juga ingin disingkap oleh
manusia. Dalam bukunya “An historian’s approach to religion” dia menulis,
“Tidak ada satu jiwa pun akan melalui hidup ini tanpa mendapat
tantangan-rangsangan untuk memikirkan rahasia alam semesta”.
Lebih dari itu, bahkan rahasia metafisika juga
termasuk hal yang ingin disingkap oleh manusia. Padahal masalah metafisika
ialah masalah yang gaib-gaib seperti hidup sesudah mati (akhirat), Tuhan,
Surga, neraka atau hal-hal lain yang dibalik alam nyata ini. Misalnya
persoalan, kalau nyawa bercerai dari badan, kemana gerangan sang nyawa itu
pergi? Lelakon apa kira-kira yang bakal dialami? Bagaimana sebenarnya keadaan
alam akhirat yang serba gaib itu? Masalah-masalah pelik penuh misteri ini ingin
diketahui oleh manusia.
Firman Allah SWT, “Katakan: tidak ada seorang pun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah”. (An Naml
65)
Ibnu
Khaldun, dalam kitab “Muqaddimah” nya menulis: “Akal adalah sebuah timbangan yang tepat, yang catatan-catatannya pasti
dan bisa dipercaya. Tetapi mempergunakan akal untuk menimbang hakekat dari
soal-soal yang berkaitan dengan keesaan Tuhan, atau hidup sesudah mati, atau
sifat-sifat Tuhan, atau soal-soal lain yang diluar lingkungan akal, adalah
sebaagai mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung.
Ini tidak berarti bahwa timbangannya itu sendiri yang kurang tepat. Soalnya
ialah, karena akal mempunyai batas-batas yang membatasinya.”
Herbert
Spencer (seorang filosuf, meninggal tahun 1903 berkata: “Ilmu alam memberitahu kepada kita bahwa untuk kita ada batas yang
telah ditentukan, yang tidak boleh kita lampaui dalam soal-soal ilmu. Kita
tidak boleh melangkah melewati batas itu untuk mengenal sebab yang pertama
(yang dimaksud ialah Tuhan) dan betapa hakekatnya.”
Berhubungan dengan itu persoalan yang menyangkut
metafisika masih gelap bagi manusia dan belum mendapat penyelesaian. Semua tanda
tanya tentang hal itu tidak terjawab oleh akal manusia, oleh ilmu dan
filsafatnya. Padahal sejak dahulu kala manusia telah tergoda untuk menyingkap
dan mengetahuinya.
Sesungguhnya persoalan metafisika sudah masuk
wilayah agama atau iman, dan hanya Allah saja yang mengetahuinya. Dan Allah
Yang Maha Mengetahui perkara yang gaib ini dalam batas-batas yang dipandang
perlu telah menerangkan perkara yang gaib tersebut melalui wahyu atau
agama-Nya. Dengan demikian agama adalah sumber informasi tentang metafisika,
dan karena itu pula hanya dengan agama manusia dapat mengetahui persoalan
metafisika. Dengan agamalah dapat diktetahui hal-hal yang berkaitan dengan alam
arwah, alam barzah, alam akhirat, surga dan neraka, Tuhan dan sifat-sifat-Nya
dan soal-soal gaib lainnya.
Dengan demikian Dr. Muhtadin, MA menyimpulkan, bahwa
agama sangatlah penting bagi manusia (dan karena itu sangat dibutuhkan), karena
manusia dengan akal, dengan ilmu atau filsafatnya tidak sanggup menyingkap
rahasia metafisika. Hal itu hanya dapat diketahui dengan agama, sebab agama
adalah sumber informasi tentang metafisika.
4. Agama
sebagai bimbingan rohani di waktu suka dan duka
Hidup manusia di dunia yang fana ini kadang-kadang
suka tetapi kadang-kadang juga duka. Maklumlah, dunia bukanlah surga, tetapi
juga bukan neraka. Jika dunia itu surga, tentulah hanya kegembiraan yang ada,
dan jika dunia itu neraka tentulah hanya penderitaan yang terjadi. Kenyataan
menunjukkan, bahwa kehidupan dunia adalah rangkaian dari suka dan duka yang
silih berganti.
Firman
Allah SWT: “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, dan engkau Kami coba
dengan yang buruk dan dengan yang baik sebagai ujian...” (Al Anbiya’ 35)
Terjadinya suka atau duka yang mewarnai kehidupan
dunia ini sebabnya banyak dan bermacam-macam. Tetapi dalam garis besarnya,
menurut ayat di atas, karena manusia diberi cobaan Tuhan “dengan yang buruk dan
dengan yang baik”. Dan hal itu dimaksudkan sebagai ujian bagi manusia dalam
menghadapi cobaan tersebut, yakni cobaan duka karena ditimpa sesuatu yang buruk
atau cobaan suka karena memperoleh sesuatu yang baik.
Dalam masyarakat dapat dilihat, seringkali orang
salah mengambil sikap menghadapi cobaan suka dan duka ini. Misalnya di kala
suka, orang mabuk kepayang dan lupa daratan. Bermacam-macam karunia Tuhan yang
ada padanya tidak mengantarkan dia kepada kebaikan tetapi malah membuat dia
jahat.
Sikap yang salah juga sering dilakukan orang sewaktu
dirundung duka. Dia misalnya hanyut saja dalam himpitan kesedihan yang
berkepanjangan. Padahal dari sikap yang keliru ini dapat timbul gangguan
kejiwaan yang disebut depresi yang gejala-gejalanya berupa murung, lesu, hilang
gairah hidup, merasa tidak berguna dan putus asa. Menurut data yang dikumpulkan
oleh WHO (World Health Organisation), diperkirakan 100 juta penduduk dunia
dewasa ini mengalami depresi. Dan konon, dari jumlah ini sekitar 800.000
penderita adalah orang-orang Indonesia. Depressi adalah penyebab utama tindakan
bunuh diri, dan tindakan ini menempati urutan ke enam dari penyebab utama
kematian di Amerika Serikat.
Bagaimana sikap yang benar menghadapi suka dan duka?
Jawaban atas pertanyaan ini terkandung dalam sabda Rasulullah SAW yang
menyebutkan: “Betapa menakjubkan keadaan
orang yang beriman. Sesungguhnya keadaan orang yang beriman itu semuanya serba
baik, dan yang demikian itu tidak bisa terjadi kecuali hanya pada orang yang
beriman. Yakni, jika orang yang berima itu memperolah sesuatu yang
mengembirakan, dia bersyukur, dan syukur adalah sikap yang baik baginya. Dan
jika orang yang beriman itu ditimpa sesuatu yang menyedihkan, dia bersabar, dan
sabar juga merupakan sikap yang baik baginya.” (Riwayat Muslim).
Dengan begitu hidup orang beriman selalu stabil,
tidak ada guncangan-guncangan, bahkan tenteram dan bahagia. Inilah hal yang
menakjubkan dari orang beriman seperti yang dikatakan oleh Nabi. Keadaan
hidupnya seluruhnya serba baik. Bagaimana tidak serba baik, kalau di kala suka
orang beriman itu bersyukur, padahal “Jika engkau bersyukur akan Aku tambahi,”
firman Allah sendiri berjanji (Ibrahim ayat 7). Sebaliknya, orang beriman tabah
dan sabar di kala duka, padahal dengan tabah di kala duka dia memperoleh
berbagai keutamaan, seperti keampunan dari dosa-dosanya (Hadis riwayat Bukhari),
dan lain sebagainya. Bahkan ada pula keuntungan lain sebagai akibat dari
kepatuhan menjalankan agama, seperti yang dikatakan oleh seorang spychiater,
Dr. A. A. Briil,
“Tiap-tiap
orang yang betul-betul menjalankan agama, tidak bisa terkena penyakit urat
saraf. Yaitu penyakit karena gelisah risau yang terus menerus. Dengan doa dan
dengan iman kepada Tuhan, akan lenyaplah segala macam kekhawatiran dan
kegelisahan.”
Demikian Dr. Muhtadin, MA menuliskan pentingnya
agama dalam kehidupan. “Agama memberikan bimbingan rohani kepada manusia baik
di kala suka maupun di kala duka, sehingga manusia tidak akan kehilangan
pegangan dalam situasi yang bagaimanapun.”
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia
untuk hidup tenang di dunia ini hanya membutuhkan agama. Karena, agama
membimbing rohani manusia dalam menghadapi suka dan duka dalam kehidupannya
agar tidak terjadi kegundahan hati dan kebimbangan ataupun kesulitan dalam
menjaga perasaan dan ketenangan dalam hidupnya.
C. Macam-Macam
Agama
Berikut ini macam-macam agama menurut Dr. Muhtadin,
MA yang melihat dari asal atau sumbernya, dapat dibedakan antara Agama Wahyu
dan Agama Budaya.
Agama wahyu disebut juga Agama Samawi, Agama Langit,
Agama Profetis, Revealed Religion. Agama Budaya disebut juga Agama Ardli, Agama
Bumi, Agama Filsafat, Agama Ra’yu, Natural Religion, Non Revealed Religion.
Kedua agama tersebut mempunyai ciri-ciri yang sangat
berbeda, dan dengan memperhatikan ciri-ciri yang ada, dapat diketahui apa yang
disebut Agama Wahyu dan apa pula yang disebut Agama Budaya.
1. Agama
Wahyu mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.
Berasal
dari wahyu Allah, jadi bukan ciptaan manusia atau siapa pun selain Allah.
b.
Ajaran
ketuhanannya Monotheisme (Tauhid) mutlak.
c.
Disampaikan
oleh manusia yang dipilih oleh Allah sebagai Nabi/Rasul-Nya
d.
Mempunyai
kitab suci yang otentik (asli), bersih dari campur tangan manusia.
e.
Ajaran-ajarannya
bersifat tetap, tidak berubah-ubah, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai
dengan kecerdasan dan kepekaan pengikut-pengikutnya.
2. Agama
Budaya mempunyai ciri-ciri antara lain:
a.
Hasil
fikiran dan atau perasaan manusia.
b.
Ajaran
ketuhanannya paling tinggi Monotheisme Nisbi, bahkan kadang-kadang Dinamisme,
Animisme atau Politheisme.
c.
Tidak
disampaikan oleh Nabi/Rasul Allah SWT.
d.
Umumnya
tidak mempunyai kitab suci. Kalau pun ada, sudah mengalami perubahan-perubahan
(bertambah dan berkurang) dalam perjalanan sejarahnya.
e.
Ajaran-ajarannya
berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal fikiran pengikut-pengikutnya.
Yang
termasuk agama wahyu satu-satunya adalah Agama Islam, sedang selebihnya,
kecuali Agama Nasrani dan Yahudi, termasuk Agama Budaya. Agama Nasrani dan
Yahudi dalam bentuknya yang asli juga termasuk Agama Wahyu, sebab kedua agama
tersebut dalam bentuknya yang asli tidak lain adalah Agama Islam. Menurut Al
Qur’an, agama yang dibawa dan dianut oleh semua Nabi adalah Agama Islam. Adapun
Agama Nasrani dan Yahudi dalam bentuknya seperti yang sekarang, tidak bisa disebut
sebagai Agama Budaya, tetapi juga kurang memenuhi persyaratan (kurang pas)
untuk dikatakan sebagai Agama Wahyu. Kedua agama tersebut dalam wujudnya
seperti yang ada sekarang dapat digoloongkan sebagai Semi Agama Wahyu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. AGAMA
ISLAM
1. Pengertian
Agama Islam
Dr. Muhtadin, MA menuliskan dalam Pendidikan Agama
Islam dalam Perguruan Tinggi (2015), sebagai nama agama, “Islam” adalah
sebaik-baik nama, sehingga tidak ada kata atau sebutan lain yang bisa menggantikannya. Kata “Muhammedanism” misalnya,
seperti yang sering dikemukakan oleh kaum Orientalis untuk menyebut Islam
sangat tidak memadai dan mempunyai beberapa kelemahan, dan oleh karena itu
tidak dapat dibenarkan.
Islam adalah nama yang asli diberikan oleh Allah SWT
sendiri. Dalam Al Qur’an antara lain disebutkan:
-
“Sesungguhnya
agama (yang benar) disisi Allah ialah Islam.” (Ali Imran 19)
-
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al Maidah 3)
Penamaan Islam dengan Mohammedanism mengacu pada
Muhammad yang menurut kaum Orientalis adalah “pencipta” Agama Islam. Ini berbau
kultus, sesuatu yang justru sangat ditentang oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.
Apa arti Islam? Mempunyai beberapa arti, dan ini
tinjauan oleh Dr. Muhtadin, MA dari hukum syara’, arti bahasa dan arti istilah.
Menurut hukum syara’, yaitu menurut apa yang
disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, Islam ialah melaksanakan kelima
Rukun Islam. Dalam Hadis riwayat Muslim beliau bersabda, bahwa yang disebut
Islam ialah, “Engkau mengakui bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa
Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa
Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika Engkau mampu”.
Menurut arti bahasa (etimologi), Islam mempunyai
arti:
1.
Islam
dari asal kata “aslama-yuslimu-islaaman”, artinya menyerah, maksudnya menyerah
kepada kehendak Allah SWT. Penyerahan kepada kehendak Allah di sini bersifat
mutlak, bulat, total, dengan mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya atau mematuhi ketentuan apa pun yang ditetapkan oleh-Nya.
“Dan segala apa yang ada di langit dan
bumi semuanya sujud, tunduk kepada Allah, baik dengan sukarela maupun dengan
terpaksa, demikian juga bayang-bayang mereka diwaktu pagi dan petang.” (Ar Ra’d
15)
Bagaimana
seharusnya sikap hidup seorang muslim kepada Tuhannya, digambarkan oleh Al
Qur’an:
“Katakanlah: sesungguhnya salatku,
ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada
sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada kehendak Allah.” (Al An’am 162
– 163)
2.
Islam
dari asal kata “salima-yaslamu-silmun”, artinya damai, maksudnya damai dengan
Allah dan damai dengan makhluk. Makhluk di sini, terutama sesama manusia.
Damai dengan Allah, artinya tidak lain ialah taat
kepada Allah, tidak bermusuhan atau tidak durhaka kepada-Nya. Dan taat kepada
Allah tentu saja dengan mengerjakan perintah-perintahNya dan menjauhi
larangan-laranganNya. Kalau perintah Allah diabaikan dan laranganNya dilanggar,
maka ini namanya bermushan atau durhaka kepada Allah, tidak damai. Kalau Allah
didurhakai, maka yang rugi adalah manusia sendiri, sebab Allah Maha Kuasa
sedang manusia maha lemah. Dan kerugian tidak saja diderita di dunia, tetapi
mungkin juga diderita di akhirat.
Damai dengan sesama manusia, artinya hidup rukun
dengan sesama manusia, tidak berbuat jahan kepada mereka, bahkan berbuat baik
kepada mereka. Sesama manusia di sini dalam pengertiannya yang mutlak, dengan
tidak memandang perbedaan agama, warna kulit, keturunan, kekayaan, pangkat atau
kedudukan, dan lain sebagainya. Karena itu Islam adalah agama perdamaian, agama
persaudaraan.
Dalam sebuah Hadis, disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Sayangilah orang yang ada di bumi, maka
Engkau akan disayangi oleh orang yang ada di langit,” (Riwayat Ath Thabarani)
Tetapi, kenapa dalam Islam juga ada ajaran perang,
yaitu perang (jihad) di jalan Allah? Dalam Islam memang betul ada ajaran
perang, tetapi perang yang diizinkan oleh Islam ialah perang untuk membela
diri, untuk mempertahankan diri, bukan perang yang sifatnya untuk menyerang.
Firman Allah menyebutkan, “Dan berperanglah di jalan Allah terhadap orang-orang yang memerangi
kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
suka kepada orang-orang yang melampaui batas.” (Al Baqarah 190)
3.
Islam
dari asal kata “salama-yaslamu-salaman wa salamatan”, artinya selamat.
Maksudnya selamat dunia dan akhirat. Islam adalah jalan keselamatan bagi
manusia, dunia dan akhirat. Tetapi sudah barang tentu, yang mendapat jaminan
selamat dunia dan akhirat di sini ialah mereka yang menganut Islam dengan
sebaik-baiknya, dengan beriman akan kebenaran ajaran-ajarannya, dan taat
mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.
“Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang
lurus, karena itu ikutilah jalanKu yang lurus itu, jangan engkau ikuti
jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan yang lain itu akan menyelewengkan
kamu dari jalanKu yang lurus itu. Demikianlah wasiat Allah kepadamu supaya kamu
bertakwa.” (Al An’am 153)
“Barang siapa mencari agama selain agama
Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia diakhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran 85)
2. Islam
satu-satunya Agama yang Benar dan Sempurna
Menurut arti pengertian istilah (terminologi), Islam
mempunyai arti dua macam pengertian, yaitu pengertian khusus dan pengertian
umum.
Pengertian yang sudah dimaklumi oleh kebanyakan
orang, bahwa Islam ialah agama Allah yang dibawa/diajarkan oleh Nabi Muhammad,
sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Sunnah beliau. Pengertian yang
demikian ini memang tidak salah, tetapi ini adalah Islam menurut pengertian
istilah khusus. Islam mempunyai cakrawala pengertian yang lebih luas dari itu.
Sesungguhnya Islam juga, agama Allah yang dibawa/diajarkan oleh semua
Nabi/Rasul Allah yang pernah lahir di berbagai masa dan tempat, sejak Nabi yang
pertama (yaitu Adam) sampai dengan Nabi yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad
SAW). Islam dalam makna yang luas inilah Islam menurut pengertian istilah umum.
Allah SWT hanyalah satu, esa, agamaNya juga satu,
yaitu Islam. Karena itu tidak pernah ada Nabi kecuali mesti Islam, dan tidak
ada agama bagi Allah kecuali juga Islam. Itulah sebabnya orang Islam harus
beriman kepada semua Nabi/Rasul yang disebutkan dalam Al Qur’an yang jumlahnya
dua puluh lima orang, karena mereka semuanya Islam.
Bahwa agama yang dibawa oleh semua Nabi itu Islam,
dapat diketahui dari dua alasan:
a.
Al
Qur’an dengan berbagai ayatnya secara hitam di atas putih menerangkan bahwa
agama semua Nabi ialah Islam dan bahwa Nabi-nabi yang mengajarkannya juga
Nabi-nabi Islam.
Salah
satu ayat menyebutkan, “Sesungguhnya
agama (yang benar) di sisi Allah ialah Islam”. (Ali Imran 19)
Ayat ini bersifat umum, tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu. Karena itu ketentuan bahwa agama (yang benar) di sisi Allah itu
Islam, tidak hanya berlaku khusus di masa Nabi Muhammad, tetapi juga berlaku di
masa semua Nabi yang pernah ada.
Selanjutnya dapat dilihat pada ayat-ayat Al Qur’an
berikut ini:
An Nisa’ (4) ayat 163-165 : kesamaan
antara apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad dengan apa yang diwahyukan
kepada Nabi-nabi sebelum beliau.
Al Baqarah (2) ayat 136 : keimanan
Nabi Muhammad kepada apa yang diturunkan kepada Nabi-nabi sebelum beliau.
Yunus (10) ayat 72 : tentang keislaman Nabi Nuh.
Al Baqarah (2) ayat 131 dan
Ali Imran (3) ayat 67 : tentang keislaman Nabi Ibrahim
Al Baqarah (2) ayat 132 : wasiat
Islam Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub kepada anak keturunannya.
Yusuf (12) ayat 101 : do’a Nabi Yusuf supaya diwafatkan sebagai orang Islam.
Yunus (10) ayat 84 : tentang keislaman Nabi Musa.
Al Baqarah (2) ayat 133 : janji
keislaman anak-anak Ya’qub menjelang wafatnya Ya’qub.
Ali Imran (3) ayat 52 : pernyataan keislaman murid-murid Nabi Isa.
b.
Adanya
kesamaan dasar dan intisari dari agama yang dibawa oleh semua Nabi, yang berupa
ajaran tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan untuk misi terpenting inilah
semua Nabi/Rasul diutus oleh Allah SWT kepada umat mereka masing-masing. Hal
ini Allah berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul
pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: bahwa tidak ada Tuhan
melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Al Anbiya’ 25).
Dari
uraian di atas Dr. Muhtadin, MA menyimpulkan bahwa Islam mengandung makna
damai, sejahtera, penyerahan diri, taat, patuh dan menerima kehendak Allah.
Orang yang mengaku beragama Islam disebut muslim.
3. Pokok-Pokok
Ajaran Agama Islam
Menurut Dr. Muhtadin, MA dalam Pendidikan Agama
Islam pada Perguruan Tinggi (2015) menyebutkan, bahwa ruang lingkup ajaran
Islam meliputi tiga bidang: Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.
1.
Aqidah
Aqidah, arti bahasanya ikatan atau sangkutan. Bentuk
jamaknya ialah Aqa’id. Arti Aqidah menurut istilah ialah keyakinan hidup atau
lebih khas lagi: iman. Sesuai dengan maknanya ini, yang disebut Aqidah ialah
bidang keimanan dalam Islam, dengan meliputi semua hal yang harus diyakini oleh
seorang muslim/mukmin. Terutama sekali yang termasuk bidang Aqidah ialah Rukun
Iman yang enam, yaitu:
a.
Iman
kepada Allah,
b.
Iman
kepada malaikat-malaikatNya,
c.
Iman
kepada kitab-kitabNya,
d.
Iman
kepada Rasul-rasulNya
e.
Iman
kepada hari Akhirat,
f.
Iman
kepada Qadha dan Qadar.
Disiplin ilmu yang secara khusus membahas Aqidah
Islam ialah Ilmu Tauhid, atau disebut juga Ilmu Ushuluddin atau Ilmu Kalam.
2.
Syari’ah
Syari’ah, arti bahasanya jalan, sedang arti
istilahnya ialah peraturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan tiga
fihak, Tuhan, sesama manusia dan alam seluruhnya. Peraturan Allah yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan disebut Ibadah, dan yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama manusia dan alam seluruhnya disebut Mu’amalah. Rukun
Islam yang lima, yaitu Syahadat, salat, zakat, puasa dan haji termasuk ibadah,
yaitu ibadah dalam artinya yang khusus, yang materi dan tatacaranya telah
ditentukan secara permanen dan rinci dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Selanjutnya Mu’amalah dapat dirinci lagi sehingga
terdiri dari:
a.
Munakahat
(perkawinan), termasuk di dalamnya soal harta waris (faraid) dan wasiat.
b.
Tijarah
(Hukum Niaga), termasuk di dalamnya soal sewa-menyewa, utang-piutang, wakaf dan
lain-lain.
c.
Hudud
dan Jinayat, keduanya merupakan Hukum Pidana Islam. Hudud ialah hukuman bagi
tindak kejahatan zina, tuduhan zina, merampok, mencuri dan minum-minuman keras.
Jinayat ialah hukuman bagi tindak kejahatan pembunuhan, melukai orang, memotong
anggota, dan menghilangkan manfaat badan. Dalam Jinayat berlaku Qishos, yaitu hukuman
balas (Baca Al Baqarah 178)
d.
Khilafah
(pemerintahan/politik Islam)
e.
Jihad
(perang), termasuk juga soal Ghanimah (harta rampasan perang) dan tawanan.
3.
Akhlak
“Akhlak” adalah kata Arab, jamak dari “kuluq” yang
artinya perangai atau tabiat. Sesuai dengan arti bahasa ini, maka akhlak adalah
bagian ajaran Islam yang mengatur tingkah laku perangai manusia. Ibnu Maskawaih
mendefinisikan akhlak dengan, “Keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran.”
Akhlak ini meliputi akhlak manusia kepada Tuhan,
kepada Nabi/Rasul, kepada diri sendiri, kepada keluarga, kepada tetangga,
kepada sesama muslim, kepada non muslim, dan sebagainya.
B. SUMBER
HUKUM DALAM ISLAM
Berikut ini penjelasan dari Dr. Muhtadin, MA dalam
Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi (2015), mengenai sumber hukum
dalam Islam.
Pada dasarnya yang menjadi sumber norma dan hukum
Islam ialah Kitab Suci Al Qur’an dan Sunnah/Hadits Rasulullah SAW. Keduanya
merupakan sumber pokok atau sumber utama (spychologis).
Akan tetapi kalau dirinci, sebetulnya selain dua sumber tersebut, masih
terdapat sumber lain yang berkedudukan sebagai sumber pelengkap atau tambahan
atau penjelasan (sosiologis), yang
disebut “Ijtihad”.
1. Al-Qur’an
Al Qur’an menurut bahasa mempunyai arti yang
bermacam-macam, salah satunya menurut pendapat yang lebih kuat adalah bahwa Al
Qur’an berarti “bacaan” atau yang dibaca. Pendapat ini beralasan bahwa Al
Qur’an adalah bentuk masdar dari kata “Qara’a-Yaqra’u” artinya “membaca”. Al
Qur’an dalam arti membaca ini dipergunakan oleh ayat Al Qur’an sendiri,
misalnya dalam surat Al Qiyamah ayat 16-18:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk
(membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasainya). Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya. (Al
Qiyamah 75: 16-18)
Al Qur’an menurut arti istilah (terminologi) juga
mempunyai beberapa definisi, sebagai berikut:
a.
Al
Qur’an adalah firman Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi
dan Rasul terakhir dengan perantaraan malaikat Jibril yang tertulis di dalam
mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir yang diperintahkan
membacanya, yang dimulai dengan surat Al Fatihah dan ditutup dengan surat An
Nas.
b.
Al
Qur’an lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang diperintahkan membacanya, yang
menantang setiap orang (untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang
terpendek dari pada surat-surat yang ada di dalamnya.
Dari dua definisi tersebut Dr. Muhtadin, MA (2015)
menyimpulkan, bahwa apa yang disebut Al
Qur’an itu mempunyai kriteria-kriteria antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Al
Qur’an adalah firman Allah SWT.
b.
Al
Qur’an yang merupakan firman Allah itu berbahasa Arab. Karena itu Al Qur’an
yang ditulis atau dilafalkan tidak dalam bahasa Arab tidak dapat disebut Al
Qur’an.
c.
Al
Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantaraan Malaikat
Jibril.
d.
Al
Qur’an sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, artinya Al Qur’an diterima
oleh Nabi Muhammad SAW. Dari Allah melalui Malaikat Jibril itu, beliau ajarkan
kepada orang banyak, selanjutnya orang banyak mengajarkannya kepada orang
banyak pula, begitulah seterusnya sehingga akhirnya sampai kepada kita. Jalan
“dari orang banyak kepada orang banyak” ini merupakan jaminan bagi
kebenaran/keotentikan Al Qur’an, sebab tidak mungkin orang banyak sepakat untuk
dusta. Bukan Al Qur’an kalau hanya diriwayatkan oleh seseorang atau beberapa
orang saja.
e.
Al
Qur’an adalah mukjizat, yaitu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang bersifat
memberikan tantangan kepada siapapun yang tidak percaya terhadap kebenaran Al
Qur’an. Mereka ditantang untuk menandingi atau mengalahkan Al Qur’an, meskipun
hanya dengan membuat satu surat yang paling pendek. Namun tidak mungkin Al
Qur’an dapat ditandingi, sebab kalau dapat ditandingi namanya bukan mukjizat.
f.
Al
Qur’an ditulis di dalam mushaf, bahwa Al Qur’an ini ditulis sejak masa turun
(Nabi Muhammad SAW). Karena selalu ditulis “Mushaf Usmani” karena penulisannya
mengikuti metode Usman Bin Affan.
g.
Al
Qur’an diperintahkan untuk dibaca (selain diperlajari dan diamalkan) karena
membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
h.
Al
Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas.
Al Qur’an yang disalin ke dalam berbagai bahasa
disebut “terjemah Al Qur’an”, sedangkan yang lebih luas menguraikan pengertian
beserta segala aspeknya disebut “tafsir Al Qur’an”.
“Al quran adalah cahaya yang terang
benderang, peringatan yang dan jalan yang lurus.” (H.R. Baihaqi).
Ulama ahli Ushul berpendapat bahwa Al Qur’an menjadi
nama bagi keseluruhannya dan juga bagian-bagiannya. Ayat demi ayatnya terjaga
keasliannya walaupun terdapat berbagai variasi dalam ucapan aturan membacanya,
akan tetapi tidak merubah prinsip makna yang terkandung di dalamnya.
Berikut ini pembagian hukum-hukum yang terkandung
dalam Al Qur’an yang terbagi atas tiga kelompok menurut Dr. Muhtadin, MA (2015),
yaitu sebagai berikut:
a.
Hukum-hukum
i’tiqadiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan keimanan.
b.
Hukum
khuluqiyah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak.
c.
Hukum-hukum
amaliah yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan syariah dalam
pengertian khusus. Hukum amaliah ini pada garis besarnya dibagi menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:
1)
Hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan khaliknya, yang dikenal dengan istilah
“ibadah”.
2)
Hukum-hukum
yang mengatur hubungan antara sesama manusia, yang dikenal dengan istilah
“muaamalah”.
2. As-Sunah
Menurut Dr. Muhtadin, MA (2015) pengertian hadis
terbagi menjadi dua macam pengertian, yaitu pengertian secara terbatas (sempit)
dan pengertian secara luas.
Pengertian hadis secara terbatas (sempit) yaitu
sebagaimana dikemukakan oleh Jumhul Muhadditsin dalam Dr. Muhtadin, MA., ialah:
“Hadis ialah sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan
yang sebagainya.”
Ta’rif
ini mengandung empat macam unsur, yaitu perkataan, perbuatan, pernyataan dan
sifat-sifat atau keadaan Nabi Muhammad SAW., dan yang lain, yang semuanya itu
hanya disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja.
Pengertian hadis secara luas ialah sesuatu yang
disandarkan baik kepada Nabi Muhammad SAW., atau sahabat atau tabi’in, baik
berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) maupun sifat dan keadaannya.
Sebagian ulama membedakana antara hadis dan sunah.
Letak perbedaannya adalah kalau hadis ialah segala peristiwa yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad SAW, walaupun hanya sekali saja beliau mengerjakannya
sepanjang hidup, dan walaupun hanya seorang saja yang meriwayatkannya.
Sedangkan sunah ialah sesuatu yang dilakukan oleh nabi tidak sekali dua kali,
tetapi dilakukan dengan terus-menerus dan dinukilkan (dipindahkan) kepada kita
dari zaman ke zaman dengan jalan mutawatir. Nabi melakukan perbuatan itu
beserta para sahabat, kemudian hal itu diteruskan oleh sahabat lain dan
tabi’in, bahkan seterusnya oleh generasi demi generasi sehingga sampai pada
masa sekarang. Sunnah dalam makna seperti inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi
Muhammad SAW:
“Wajib
bagi kamu berpegang kepada Sunahku dan Sunah para Khulafaur Rasydin sesudahku.”
(H.R. Abu Daud).
3. Ijtihad
Menurut Dr. Muhtadin, MA (2015), dari segi bahasa, arti
ijtihad adalah “mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan”. Mengerjakan apa
saja, asalkan dilakukan dengan penuh kesungguhan, adalah berijtihad namanya.
Kata ijtihad memang tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang harus
dikerjakan dengan susah payah. Sedangkan menurut arti istilah, yang disebut
ijtihad ialah “mengerahkan segala potensi dan kemampuan semaksimal mungkin
untuk menetapkan hukum-hukum syari’ah”.
Di antara nash-nash hukum yang ada, adakalanya
merupakan nash yang Qath’i, artinya nash tersebut menunjukkan kepada hukum yang
jelas dan tertentu sehingga tidak mungkin adanya interpretasi atau penafsiran
lain. Terhadap nash yang demikian tidak diperlukan adanya itjihad. Misalnya
firman Allah SWT:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (An Nur 24: 2)
Akan tetapi, adakalanya di antara nash-nash itu
bersifat dzanny, artinya nash tersebut belum menunjukkan kepada kaum yang jelas
dan masih dimungkinkan adanya interpretasi dan penafsiran lain. Misalnya firman
Allah SWT:
“Wanita-wanita yang ditolak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Q.S.
Al Baqarah 2: 228)
Ayat tersebut belum menunjukkan kepada hukum yang
jelas dan pasti, karena pengertian “quru” dalam bahasa Arab mempunyai dua arti
yaitu, “suci” dan “haid”. Di antara dua kemungkinan hukum tersebut, mana yang
akan diambil ketetapan hukumnya? Dalam hal ini memerlukan itjihad.
Selain dari itu adakalanya timbul masalah-masalah
yang terjadi dalam masyarakat yang ketetapan hukumnya belum ada baik dalam Al
Qur’an maupun hadis. Seperti masalah inseminasi buatan (kawin suntik) pada
manusia, bayi tabung, penggantian kelamin, donor mata, dan lain-lain. Semua ini
memerlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
Dari uraian di atas, Dr. Muhtadin, MA (2015)
menyimpulkan bahwa tempat atau lapangan ijtihad itu adalah sebagai berikut:
a.
Dalam
mengistimbatkan hukum dari nash-nash yang sifatnya dzanny.
b.
Dalam
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru yang ketetapan hukumnya belum
ada.
Berikut ini hukum ijtihad menurut Dr. Muhtadin, MA
(2015), sebagai berikut:
a.
Wajib
‘ain yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang suatu masalah sedang masalah
tersebut akan hilang (habis) sebelum diketahui hukumnya. Demikian pula wajib
‘ain apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin
mengetahui hukumnya.
b.
Wajib
Kifayah, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang suatu masalah dan tidak
dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia
sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya
meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
c.
Sunnat,
yaitu ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik
dinyatakan atau tidak.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhtadin. 2015. Pendidikan
Agama Islam pada Perguruan Tinggi. Unv. Prof. Dr. Moestopo. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)