Selasa, 26 Mei 2015

Menimbang Hukuman Mati

MENIMBANG HUKUMAN MATI???

Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Selamat Pagi, hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai pro dan kontra terhadap Hukuman Mati. Yuk coba kita bahas guys. Salah satu hasil Pembahasan dari salah satu media cetak juga pada Sabtu, 14 Februari 2015.

Semoga dapat membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^



MAKALAH
SISTEM HUKUM INDONESIA

MENIMBANG HUKUMAN MATI






Oleh :
YOGI SUDIRMAN
NPM. 1428.000.283

  
  
PROGRAM    STUDI    MANAJEMEN    SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
TAHUN 2015






SUMBER BAHASAN

(Potongan Sumber Pembahasan)



MENIMBANG HUKUMAN MATI

A.     LATAR BELAKANG PENULISAN
Berikut ini penulis sebagai mahasiswa STIA LAN Jakarta, akan menyimpulkan dan mengomentari sebuah tulisan yang berjudul Menimbang Hukuman Mati oleh Heru Susetyo. Penulisan ini sebagai syarat dalam Mata Kuliah Sistem Hukum Indonesia pada Semester Gasal Tahun 2015 oleh Bapak Drs. H. Sukadarto, SH. MM. MH.

B.     SUMBER BAHASAN
Koran Republika, terbitan tanggal 22 Januari 2015 halaman 6.

C.     PEMBAHASAN, KESIMPULAN DAN KOMENTAR
1.      Berikut ini kutipan paragraf 1 sampai 4
Eksekusi mati terhadap enam terpidana mati kasus narkotika yang berlangsung di Nusa Kambangan dan Boyolali pada 18 Januari 2015 dini hari menyentak publik Indonesia. Menyeruak kontroversi soal perlu tidaknya negara tetap mempertahankan hukuman mati.
Lalu, kalaupun tetap mempertahankan hukuman mati, apakah harus mempertahankan cara lama dengan ditembak oleh regu tembak dari kepolisian atau ada cara lain yang lebih "manusiawi"?
Sejatinya hukuman mati sudah sering dijatuhkan dan eksekusi mati pun sudah kesekian kalinya dilaksanakan di Indonesia. Sudah pula ada warga asing yang dieksekusi mati di Indonesia. Namun, eksekusi mati kali ini menjadi perhatian Iuas, barangkali, karena terjadi pada masa pemerintahan baru dan dua terpidana matinya Warga negara asing non-Afrika (Belanda dan Brasil). Belanda telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya dan Brasil menghapuskan hukuman mati kecuali untuk kejahatan yang luar biasa berat.
Eksekusi mati terhadap keenam terpidana mati kasus narkoba pada media Januari 2015 ini memunculkan pertanyaan kelayakan maupun manajemen (baca: hukum acara) eksekusi mati di Indonesia. Apakah eksekusi mati memiliki legitimasi sistem hukum Indonesia ataupun internasional? Kedua, apakah terpidana mati harus menjemput ajal dengan ditembak oleh regu tembak?
Kesimpulan:
Pemberitaan tentang eksekusi mati terhadap 6 terpidana dalam kasus narkotika pada tanggal 18 Januari 2015, menjadi perhatian karena di antara 6 terpidana yang dieksekusi terdapat 2 terpidana warga negara asing yaitu dari Belanda dan Brasil. Kemudian yang menjadi pertanyaan yaitu apakah eksekusi mati memiliki legitimasi sistem hukum Indonesia ataupun internasional dan apakah cara eksekusi harus dengan cara ditembak.

Komentar penulis:
Terkait dengan eksekusi mati ini sesuai dengan Undang-Undang tentang Narkotika Tahun 2009, terpidana harus dieksekusi mati karena terpidana sudah terbukti bersalah dan sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Mengenai 2 terpidana warga asing yang dieksekusi, tidak ada pengecualian terhadap terpidana karena seluruh warga yang berada di Indonesia sama di mata hukum,  baik warga negara Indonesia (WNI) ataupun warga negara asing (WNA).
Terkait terhadap legitimasi (sistem hukum dan cara pelaksanaan eksekusi tersebut, di Indonesia sudah memiliki dasar hukum yang kuat tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yaitu Undang-Undang No 2/PNPS/1964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
2.      Berikut ini kutipan paragraf 5 sampai 7
Kalangan yang tidak setuju pidana mati beralasan hukuman mati adalah sangat kejam, di luar perikemanusiaan, dan melanggar HAM, utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif serta efek jera untuk calon pelaku kejahatan. Lalu, bila di kemudian hari ditemukan kesalahan vonis, hukuman itu tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi. HaI ini bisa terjadi karena pengadilan di Indonesia belum terbukti bersih, independen, dan profesional.
Terkait dasar hukum, legalitas penolakan hukuman mati datang dari beberapa instrumen HAM internasional, antara lain, (1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982 (European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002 (European Conventon on Human Rights).
Dari empat instrumen di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional, sedangkan ketiga instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki kekuatan secara hukum (entry into force) sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi 81 negara dan ditandatangani tiga negara lainnya. Protokol ini mewajibkan negara yang meratifikasinya (state parties) menghapuskan eksekusi dan hukuman mati dalam legislasi maupun praktiknya. Kondisi saat ini, sekitar 140 negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati atau kalaupun tidak menghapuskan, tapi sudah tidak mempraktikkannya lagi. Sisanya, 58 negara, termasuk Indonesia, masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya.
Kesimpulan:
Pada ketiga paragraf ini dapat disimpulkan bahwa penolakan terhadap hukuman mati dikarenakan hukuman mati dinilai sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar HAM, terutama hak hidup dan tidak menimbulkan efek edukatif serta efek jera untuk calon pelaku kejahatan. Kemudian pertimbangan terhadap apabila terjadi kesalahan vonis yang tidak dapat dikoreksi karena terpidana terlanjur dieksekusi, terkait dengan pengadilan di Indonesia belum terbukti bersih, independen dan profesional. Berikut dengan beberapa intrumen penolakan hukuman mati dari beberapa instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh 81 negara dan ditandatangani tiga negara lainnya.

Komentar penulis:
Menurut penulis, penolakan terhadap hukuman mati ini tidak begitu sesuai. Karena hukuman mati ini memiliki nilai efek jera yang lebih tinggi dari pada hukuman lain, hal ini menimbulkan efek edukatif serta efek jera terhadap calon pelaku kejahatan. Sehingga hukuman mati dapat diharapkan menekan timbulnya pelaku-pelaku dengan kasus yang sama, karena terkait dengan hukuman yang sangat berat terhadap terpidananya.
Terkait dengan legalitas penolakan hukuman mati dari beberapa instrumen HAM internasional, Indonesia termasuk 58 negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya.
3.      Berikut ini kutipan paragraf 8 sampai 11
Di Indonesia, legalitas hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pasal pembunuhan berencana, UU tentang Narkotika Tahun 2009, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1999 dan 2001, UU Pengadilan HAM No 26 Tahun 2000, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tahun 2003.
Di level masyarakat Indonesia, hukuman mati tidak menjadi isu serius karena banyak praktik adat dan kebiasaan di beberapa masyarakat Indonesia yang 'menoleransi pengadilan jalanan' sebagai bagian nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekatnya pengaruh hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (hadd/qishas).
Pengaturan ini membuat sebagian masyarakat Muslim Indonesia menganggap hukuman mati wajar adanya. Bagi sebagian korban dan keluarga korban tindak pidana, hukuman mati untuk pelaku justru dianggap memberikan keadilan bagi mereka dan tidak melanggar HAM.
Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998, Indonesia banyak melahirkan UU bernuasa HAM, antara lain, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, diIanjutkan dengan ratifikasi dua Kovenan Internasional, masing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada 2005.
Kesimpulan:
Di dalam empat paragraf tulisan Heru Susetyo ini dapat disimpulkan, masyarakat Indonesia memandang hukuman mati merupakan hukuman yang tidak begitu dipertentangkan. Karena, di Indonesia hidup nilai hukum kebiasaan dan adat yaitu salah satunya hukuman mati. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh hukum agama (hukum pidana Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia) yang mengenal hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu. Kemudian, sebagian korban dan keluarga korban tindak pidana justru menganggap pemberian hukuman mati adalah yang paling pantas terhadap terpidana dan tidak melanggar HAM.

Komentar penulis:
Dari kesimpulan di atas, hidupnya nilai hukum kebiasaan dan adat yaitu salah satunya hukuman mati dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan salah satu klasifikasi hukum di Indonesia menurut bentuknya yaitu hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan dan hukum adat).
Terkait dengan yang disebut permasalahan munculnya banyak Undang-Undang bernuansa HAM pada pascareformasi 1998, antara lain Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan ratifikasi dua Kovenan Internasional pada tahun 2005. Hal ini jika dipandang HAM terhadap korban tindak pidana, maka pantas kiranya hukuman mati tersebut dijatuhkan kepada terpidana. Mengenai terpidana narkotika, penulis juga menilai hukuman mati layak diberikan kepada terpidana, karena jika tidak diberikan hukum yang berat layaknya hukuman mati maka kasus yang serupa mungkin akan lebih banyak terjadi.
4.      Berikut ini kutipan paragraf 12 sampai 13
Permasalahannya, manajemen dan hukum acara eksekusi mati di Indonesia. Rata-rata terpidana mati harus menunggu lama sejak putusan pengadilan negeri sampai grasi ditolak dan eksekusi mati dilakukan. Mengapa harus memenjara orang hingga 20 tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga?
Terpidana mati di Surabaya, Sumiarsih dan Sugeng, harus menunggu sekitar 20 tahun sejak putusan pidana mati dari pengadilan negeri, hingga akhirnya dieksekusi mati. Lalu, terpidana mati kasus narkoba Namaona Denis (WN Malawi) harus menunggu 14 tahun sejak 2001, Marco Moreira (Brasil) menunggu 11 tahun sejak 2004, Daniel Enemuo (WN Nigeria) menunggu 11 tahun sejak 2004, dan Rani Andriani, asal Cianjur, divonis mati oleh PN pada 2000 dan baru dieksekusi mati 15 tahun kemudian.
Kesimpulan:
Di dalam dua paragraf ini jelas dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan hukum di Indonesia berjalan lambat. Rata-rata terpidana mati harus menunggu lama sejak putusan pengadilan negeri sampai grasi ditolak dan eksekusi mati dilaksanakan.

Komentar penulis:
Terkait hal ini hanya mengenai pelaksanaan hukum di Indonesia, kiranya pelaksanaan proses dan eksekusi dari putusan pengadilan dapat berjalan dengan cepat. Agar terpidana tidak menunggu lama, bahkan hingga 20 tahun.
5.      Berikut ini kutipan paragraf 14 sampai 15
Cara mengeksekusi mati juga pertu dikaji kembali. Apakah masih tepat menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok regu tembak kepolisian yang bekerja berdasarkan UU No 2/PNPS/7964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, ataukah ada cara Iain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati, kursi listrik, kamar gas beracun, digantung, ataupun dipenggal kepalanya, misalnya? Negara yang masih menerapkan pidana mati bervariasi dalam pilihan metode eksekusi ini. Maka, amat wajar apabila Indonesia meninjau kembali metode eksekusi mati, apalagi produk hukumnya sudah berusia lebih dari 50 tahun (UU No 2/PNPS/1964).
Apabila permasalahan di atas tidak dituntaskan, Indonesia akan terus kontroversi dan 'perang urat saraf' yang melebar tak lagi di ranah hukum, juga sosial dan politik, baik dalam maupun luar negeri. Apalagi, ada dua terpidana mati kasus BaIi Nine, warga Australia, negara yang telah menghapuskan hukuman mati sejak 1985.
Kesimpulan:
Berdasarkan tiga paragraf di atas, disimpulkan tata cara pelaksanaan eksekusi terpidana mati perlu di pertimbangkan yaitu eksekusi mati dengan menggunakan regu tembak berdasarkan UU No 2/PNPS/1964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Hal ini terkait dengan keefektifan cara eksekusi dan meringankan penderitaan terpidana disaat eksekusi terjadi, contoh alternatif lain dalam eksekusi yaitu suntikan mati, kursi listrik, kamar gas beracun, digantung ataupun dipenggal kepalanya.

Komentar penulis:
Mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia yang menggunakan tembakan oleh regu tembak kepolisian lebih baik dilaksanakan, karena beberapa alternatif lain yang digunakan oleh beberapa negara lain juga tidak terbukti efektif dalam meringankan penderitaan terpidana di dalam eksekusi mati.

D.     KESIMPULAN, KOMENTAR DAN SARAN SECARA UMUM
1.      Pengadilan di Indonesia perlu meningkatkan profesionalitasnya untuk membuktikan pengadilan di Indonesia bersih, independen dan profesional. Terkait tulisan Heru Susetyo yang menilai pengadilan di Indonesia belum terbukti bersih, independen dan profesional.
2.      Pelaksanaan hukum di Indonesia perlu meningkatkan efiensi waktu dalam pelaksanaan hukum, hal ini terkait dengan terpidana yang menunggu lama hingga dipenjara bertahun-tahun hingga akhirnya di eksekusi.
3.      Pelaksanaan hukuman mati tindak kejahatan narkotika di Indonesia mengalami banyak interfensi dari berbagai pihak, termasuk negara yang warganya dieksekusi mati di Indoensia. Namun menurut penulis hukuman mati ini pantas dilaksanakan di Indonesia, karena selain menimbang aturan yang sudah ditetapkan, juga karena narkotika dapat menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi disebabkan dampak penggunaan narkotika tersebut. Maka, wajar hukuman ini layak dilaksanakan untuk mengurangi dan memperingatkan kepada calon dan pengguna narkotika yang berada di Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)