MENIMBANG HUKUMAN MATI???
Kata
Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Selamat Pagi, hari ini
mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang
bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal
pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai pro dan kontra terhadap Hukuman Mati. Yuk coba kita bahas guys. Salah satu hasil Pembahasan dari salah satu media cetak juga pada Sabtu, 14 Februari 2015.
Semoga dapat membantu
serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar
sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^
MAKALAH
SISTEM HUKUM INDONESIA
MENIMBANG HUKUMAN MATI
Oleh
:
YOGI
SUDIRMAN
NPM.
1428.000.283
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN
SDM
SEKOLAH
TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA
ADMINISTRASI NEGARA
TAHUN
2015
SUMBER BAHASAN
(Potongan Sumber Pembahasan)
MENIMBANG
HUKUMAN MATI
A.
LATAR BELAKANG PENULISAN
Berikut ini penulis
sebagai mahasiswa STIA LAN Jakarta, akan menyimpulkan dan mengomentari sebuah tulisan
yang berjudul Menimbang Hukuman Mati oleh
Heru Susetyo. Penulisan ini sebagai syarat dalam Mata Kuliah Sistem Hukum
Indonesia pada Semester Gasal Tahun 2015 oleh Bapak Drs. H. Sukadarto, SH. MM.
MH.
B.
SUMBER BAHASAN
Koran
Republika, terbitan tanggal 22 Januari 2015 halaman 6.
C.
PEMBAHASAN, KESIMPULAN DAN KOMENTAR
1.
Berikut
ini kutipan paragraf 1 sampai 4
Eksekusi mati
terhadap enam terpidana mati kasus narkotika yang berlangsung di Nusa Kambangan
dan Boyolali pada 18 Januari 2015 dini hari menyentak publik Indonesia.
Menyeruak kontroversi soal perlu tidaknya negara tetap mempertahankan hukuman
mati.
Lalu, kalaupun tetap
mempertahankan hukuman mati, apakah harus mempertahankan cara lama dengan
ditembak oleh regu tembak dari kepolisian atau ada cara lain yang lebih
"manusiawi"?
Sejatinya hukuman
mati sudah sering dijatuhkan dan eksekusi mati pun sudah kesekian kalinya
dilaksanakan di Indonesia. Sudah pula ada warga asing yang dieksekusi mati di
Indonesia. Namun, eksekusi mati kali ini menjadi perhatian Iuas, barangkali,
karena terjadi pada masa pemerintahan baru dan dua terpidana matinya Warga
negara asing non-Afrika (Belanda dan Brasil). Belanda telah menghapuskan
hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya dan Brasil menghapuskan hukuman
mati kecuali untuk kejahatan yang luar biasa berat.
Eksekusi mati
terhadap keenam terpidana mati kasus narkoba pada media Januari 2015 ini
memunculkan pertanyaan kelayakan maupun manajemen (baca: hukum acara) eksekusi
mati di Indonesia. Apakah eksekusi mati memiliki legitimasi sistem hukum
Indonesia ataupun internasional? Kedua, apakah terpidana mati harus menjemput
ajal dengan ditembak oleh regu tembak?
Kesimpulan:
Pemberitaan
tentang eksekusi mati terhadap 6 terpidana dalam kasus narkotika pada tanggal
18 Januari 2015, menjadi perhatian karena di antara 6 terpidana yang dieksekusi
terdapat 2 terpidana warga negara asing yaitu dari Belanda dan Brasil. Kemudian
yang menjadi pertanyaan yaitu apakah eksekusi mati memiliki legitimasi sistem
hukum Indonesia ataupun internasional dan apakah cara eksekusi harus dengan
cara ditembak.
Komentar penulis:
Terkait dengan
eksekusi mati ini sesuai dengan Undang-Undang tentang Narkotika Tahun 2009,
terpidana harus dieksekusi mati karena terpidana sudah terbukti bersalah dan
sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia. Mengenai 2 terpidana warga
asing yang dieksekusi, tidak ada pengecualian terhadap terpidana karena seluruh
warga yang berada di Indonesia sama di mata hukum, baik warga negara Indonesia (WNI) ataupun
warga negara asing (WNA).
Terkait
terhadap legitimasi (sistem hukum dan cara pelaksanaan eksekusi tersebut, di
Indonesia sudah memiliki dasar hukum yang kuat tentang tata cara pelaksanaan
pidana mati yaitu Undang-Undang No 2/PNPS/1964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati.
2.
Berikut
ini kutipan paragraf 5 sampai 7
Kalangan yang tidak
setuju pidana mati beralasan hukuman mati adalah sangat kejam, di luar
perikemanusiaan, dan melanggar HAM, utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah
satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif serta
efek jera untuk calon pelaku kejahatan. Lalu, bila di kemudian hari ditemukan
kesalahan vonis, hukuman itu tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur
dieksekusi. HaI ini bisa terjadi karena pengadilan di Indonesia belum terbukti
bersih, independen, dan profesional.
Terkait dasar hukum,
legalitas penolakan hukuman mati datang dari beberapa instrumen HAM
internasional, antara lain, (1) Second Optional Protocol to the International
Covenant on Civil and Political Rights, (2) Protocol to the American Convention
on Human Rights to Abolish the Death Penalty, (3) Protocol No 6 to the European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 1982
(European Convention on Human Rights), dan (4) Protocol No 13 to the European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms 2002
(European Conventon on Human Rights).
Dari empat instrumen
di atas, hanya instrumen pertama yang bersifat internasional, sedangkan ketiga
instrumen berikutnya bersifat regional. Second Optional Protocol to the
International Covenant on Civil and Political Rights (SOP) yang memiliki
kekuatan secara hukum (entry into force)
sejak 11 Juli 1991 hingga kini telah diratifikasi 81 negara dan ditandatangani
tiga negara lainnya. Protokol ini mewajibkan negara yang meratifikasinya (state parties) menghapuskan eksekusi dan
hukuman mati dalam legislasi maupun praktiknya. Kondisi saat ini, sekitar 140
negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati atau kalaupun tidak menghapuskan,
tapi sudah tidak mempraktikkannya lagi. Sisanya, 58 negara, termasuk Indonesia,
masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya.
Kesimpulan:
Pada
ketiga paragraf ini dapat disimpulkan bahwa penolakan terhadap hukuman mati
dikarenakan hukuman mati dinilai sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan
melanggar HAM, terutama hak hidup dan tidak menimbulkan efek edukatif serta
efek jera untuk calon pelaku kejahatan. Kemudian pertimbangan terhadap apabila
terjadi kesalahan vonis yang tidak dapat dikoreksi karena terpidana terlanjur
dieksekusi, terkait dengan pengadilan di Indonesia belum terbukti bersih,
independen dan profesional. Berikut dengan beberapa intrumen penolakan hukuman
mati dari beberapa instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi oleh 81
negara dan ditandatangani tiga negara lainnya.
Komentar penulis:
Menurut
penulis, penolakan terhadap hukuman mati ini tidak begitu sesuai. Karena
hukuman mati ini memiliki nilai efek jera yang lebih tinggi dari pada hukuman
lain, hal ini menimbulkan efek edukatif serta efek jera terhadap calon pelaku
kejahatan. Sehingga hukuman mati dapat diharapkan menekan timbulnya
pelaku-pelaku dengan kasus yang sama, karena terkait dengan hukuman yang sangat
berat terhadap terpidananya.
Terkait
dengan legalitas penolakan hukuman mati dari beberapa instrumen HAM
internasional, Indonesia termasuk 58 negara di dunia yang masih memberlakukan
hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya.
3.
Berikut
ini kutipan paragraf 8 sampai 11
Di Indonesia, legalitas
hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
untuk pasal pembunuhan berencana, UU tentang Narkotika Tahun 2009, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1999 dan 2001, UU Pengadilan HAM No
26 Tahun 2000, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tahun 2003.
Di level masyarakat
Indonesia, hukuman mati tidak menjadi isu serius karena banyak praktik adat dan
kebiasaan di beberapa masyarakat Indonesia yang 'menoleransi pengadilan
jalanan' sebagai bagian nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekatnya pengaruh
hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang mengatur hukuman mati untuk jenis
kejahatan tertentu (hadd/qishas).
Pengaturan ini membuat
sebagian masyarakat Muslim Indonesia menganggap hukuman mati wajar adanya. Bagi
sebagian korban dan keluarga korban tindak pidana, hukuman mati untuk pelaku
justru dianggap memberikan keadilan bagi mereka dan tidak melanggar HAM.
Permasalahan muncul
ketika pascareformasi 1998, Indonesia banyak melahirkan UU bernuasa HAM, antara
lain, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, diIanjutkan dengan ratifikasi dua
Kovenan Internasional, masing-masing International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and
Cultural Rights (ICESCR) pada 2005.
Kesimpulan:
Di dalam
empat paragraf tulisan Heru Susetyo ini dapat disimpulkan, masyarakat Indonesia
memandang hukuman mati merupakan hukuman yang tidak begitu dipertentangkan.
Karena, di Indonesia hidup nilai hukum kebiasaan dan adat yaitu salah satunya
hukuman mati. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh hukum agama (hukum
pidana Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia) yang mengenal hukuman mati
untuk jenis kejahatan tertentu. Kemudian, sebagian korban dan keluarga korban
tindak pidana justru menganggap pemberian hukuman mati adalah yang paling
pantas terhadap terpidana dan tidak melanggar HAM.
Komentar penulis:
Dari
kesimpulan di atas, hidupnya nilai hukum kebiasaan dan adat yaitu salah satunya
hukuman mati dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan salah satu klasifikasi
hukum di Indonesia menurut bentuknya yaitu hukum tidak tertulis (hukum
kebiasaan dan hukum adat).
Terkait
dengan yang disebut permasalahan munculnya banyak Undang-Undang bernuansa HAM
pada pascareformasi 1998, antara lain Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang
HAM dan ratifikasi dua Kovenan Internasional pada tahun 2005. Hal ini jika dipandang
HAM terhadap korban tindak pidana, maka pantas kiranya hukuman mati tersebut
dijatuhkan kepada terpidana. Mengenai terpidana narkotika, penulis juga menilai
hukuman mati layak diberikan kepada terpidana, karena jika tidak diberikan
hukum yang berat layaknya hukuman mati maka kasus yang serupa mungkin akan
lebih banyak terjadi.
4.
Berikut
ini kutipan paragraf 12 sampai 13
Permasalahannya,
manajemen dan hukum acara eksekusi mati di Indonesia. Rata-rata terpidana mati
harus menunggu lama sejak putusan pengadilan negeri sampai grasi ditolak dan
eksekusi mati dilakukan. Mengapa harus memenjara orang hingga 20 tahun kalau
akhirnya dieksekusi mati juga?
Terpidana mati di
Surabaya, Sumiarsih dan Sugeng, harus menunggu sekitar 20 tahun sejak putusan
pidana mati dari pengadilan negeri, hingga akhirnya dieksekusi mati. Lalu,
terpidana mati kasus narkoba Namaona Denis (WN Malawi) harus menunggu 14 tahun
sejak 2001, Marco Moreira (Brasil) menunggu 11 tahun sejak 2004, Daniel Enemuo
(WN Nigeria) menunggu 11 tahun sejak 2004, dan Rani Andriani, asal Cianjur,
divonis mati oleh PN pada 2000 dan baru dieksekusi mati 15 tahun kemudian.
Kesimpulan:
Di dalam
dua paragraf ini jelas dapat disimpulkan bahwa, pelaksanaan hukum di Indonesia
berjalan lambat. Rata-rata terpidana mati harus menunggu lama sejak putusan
pengadilan negeri sampai grasi ditolak dan eksekusi mati dilaksanakan.
Komentar penulis:
Terkait
hal ini hanya mengenai pelaksanaan hukum di Indonesia, kiranya pelaksanaan
proses dan eksekusi dari putusan pengadilan dapat berjalan dengan cepat. Agar
terpidana tidak menunggu lama, bahkan hingga 20 tahun.
5.
Berikut
ini kutipan paragraf 14 sampai 15
Cara mengeksekusi
mati juga pertu dikaji kembali. Apakah masih tepat menggunakan tembakan
(senjata api) oleh sekelompok regu tembak kepolisian yang bekerja berdasarkan
UU No 2/PNPS/7964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati, ataukah ada cara Iain yang lebih efektif dan meringankan
penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati, kursi listrik, kamar gas
beracun, digantung, ataupun dipenggal kepalanya, misalnya? Negara yang masih
menerapkan pidana mati bervariasi dalam pilihan metode eksekusi ini. Maka, amat
wajar apabila Indonesia meninjau kembali metode eksekusi mati, apalagi produk
hukumnya sudah berusia lebih dari 50 tahun (UU No 2/PNPS/1964).
Apabila permasalahan
di atas tidak dituntaskan, Indonesia akan terus kontroversi dan 'perang urat
saraf' yang melebar tak lagi di ranah hukum, juga sosial dan politik, baik
dalam maupun luar negeri. Apalagi, ada dua terpidana mati kasus BaIi Nine,
warga Australia, negara yang telah menghapuskan hukuman mati sejak 1985.
Kesimpulan:
Berdasarkan
tiga paragraf di atas, disimpulkan tata cara pelaksanaan eksekusi terpidana
mati perlu di pertimbangkan yaitu eksekusi mati dengan menggunakan regu tembak
berdasarkan UU No 2/PNPS/1964 jo Peraturan
Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Hal ini
terkait dengan keefektifan cara eksekusi dan meringankan penderitaan terpidana
disaat eksekusi terjadi, contoh alternatif lain dalam eksekusi yaitu suntikan
mati, kursi listrik, kamar gas beracun, digantung ataupun dipenggal kepalanya.
Komentar penulis:
Mengenai
tata cara pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia yang menggunakan tembakan oleh
regu tembak kepolisian lebih baik dilaksanakan, karena beberapa alternatif lain
yang digunakan oleh beberapa negara lain juga tidak terbukti efektif dalam
meringankan penderitaan terpidana di dalam eksekusi mati.
D.
KESIMPULAN, KOMENTAR DAN SARAN SECARA UMUM
1.
Pengadilan
di Indonesia perlu meningkatkan profesionalitasnya untuk membuktikan pengadilan
di Indonesia bersih, independen dan profesional. Terkait tulisan Heru Susetyo
yang menilai pengadilan di Indonesia belum terbukti bersih, independen dan
profesional.
2.
Pelaksanaan
hukum di Indonesia perlu meningkatkan efiensi waktu dalam pelaksanaan hukum,
hal ini terkait dengan terpidana yang menunggu lama hingga dipenjara
bertahun-tahun hingga akhirnya di eksekusi.
3.
Pelaksanaan
hukuman mati tindak kejahatan narkotika di Indonesia mengalami banyak
interfensi dari berbagai pihak, termasuk negara yang warganya dieksekusi mati
di Indoensia. Namun menurut penulis hukuman mati ini pantas dilaksanakan di
Indonesia, karena selain menimbang aturan yang sudah ditetapkan, juga karena
narkotika dapat menyebabkan angka kematian yang lebih tinggi disebabkan dampak
penggunaan narkotika tersebut. Maka, wajar hukuman ini layak dilaksanakan untuk
mengurangi dan memperingatkan kepada calon dan pengguna narkotika yang berada
di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)