Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys, hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Ilmu Politik, dewasa ini dapat dilihat perkembangan Partai Politik di Indonesia begitu cepat dan mengalami pasang surut juga, nah yuk kita lihat seperti apa. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka pada Jumat, 17 April 2015.
Semoga dapat membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^
PAPER II
PENGANTAR ILMU POLITIK
PARTAI POLITIK DI INDONESIA
(PADA TAHUN 1945 S.D. 2007)
Oleh:
YOGI SUDIRMAN
1428000283
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
JAKARTA 2015
PENGANTAR ILMU POLITIK
PARTAI POLITIK DI INDONESIA
(PADA TAHUN 1945 S.D. 2007)
Oleh:
YOGI SUDIRMAN
1428000283
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
JAKARTA 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................ 2
BAB I. PENDAHULUAN........................................................... 3
1. Latar Belakang.................................................................. 3
2. Hak atas Kebebasan Berserikat dan Berkumpul............... 3
3. Pendekatan dan Sistematika Pembahasan....................... 4
BAB II. TINJAUAN UMUM...................................................... 5
1. Pengertian Partai Politik................................................... 5
2. Jenis-Jenis Parpol.............................................................. 5
3. Peranan dan Fungsi Parpol............................................... 6
4. Tipologi Sistem Kepartaian.............................................. 7
BAB III. PEMBAHASAN........................................................... 9
1. Parpol di Era Demokrasi Orde Lama................................ 9
a. Parpol di Era Demokrasi Liberal Parlementer............ 9
b. Parpol di Era Demokrasi Terpimpin........................... 10
2. Parpol di Era Demokrasi Orde Baru................................. 13
3. Parpol di Era Reformasi.................................................... 15
4. Partai Politik Lokal........................................................... 18
a. Tinjauan Umum......................................................... 18
b. Parpol Lokal di Aceh.................................................. 19
BAB IV. PENUTUP..................................................................... 22
1. Kesimpulan...................................................................... 22
2. Saran............................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 23
*BAB I dan BAB II sudah diposting pada blog sebelum ini. terima kasih ^_^
BAB
III
PEMBAHASAN
(PARTAI
POLITIK DI INDONESIA)
1. Parpol di Era Demokrasi Orde Lama
Demokrasi di Era Orde Lama dapat dibagi dalam
dua periode, yaitu Era Demokrasi Liberal Parlementer (1945 – 1959) yang
merupakan era kebebasan dan kejayaan parpol dan Demokrasi Terpimpin (1959 –
1966) yang merupakan era awal pengendalian parpol oleh negara.
a. Parpol di Era Demokrasi Liberal Parlementer.
Yang
dimaksud dengan era Demokrasi Liberal Parlementer ialah era sistem
ketatanegaraan dan politik antara tahun 1945 – 1959 yang mengalami tiga
konstitusi, yakni UUD 1945 (1945 – 1949), Konstitusi RIS (1949 – 1950), dan
UUDS 1950 (1950 – 1959).
Sebenarnya,
keberadaan parpol di Indonesia sudah mulai sejak sebelum Kemerdekaan, di mana
parpol-parpol telah berjasa besar dalam menanamkan kesadaran nasional yang
mengorganisasi untuk memperjuangkan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Di
alam Kemerdekaan, tonggak eksistensi parpol dipancangkan oleh Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang keluar atas desakan Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) untuk mendirikan sebanyak-banyaknya
parpol.
Maklumat
Pemerintah ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta pada tanggal 3
November 1945 (Dhakidae, 1999: 8).
Maklumat
Pemerintah tersebut mencerminkan kehendak rakyat yang sebagai tafsir longgar
atas Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, juga pada
hakikatnya sesuai dengan prinsip pendirian suatu parpol, yakni bahwa timbul dan
tumbuhnya parpol datang dari bawah, tidak ditentukan dari atas. Sehingga dapat
dimengerti jika Maklumat Pemerintah tersebut mendapat sambutan baik oleh rakyat
Indonesia yang terbukti dengan bermunculannya parpol-parpol berdasarkan paham
atau aliran partai yang ada. Dengan demikian, dimulailah sistem multi partai di
Indonesia yang berdasarkan aliran (partai aliran). Hal ini sekaligus berarti
membuyarkan gagasan atau keinginan Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 23
Agustus 1945 untuk membentuk satu partai tunggal, yaitu Partai Nasional
Indonesia yang diharapkan menjadi partai pelopor.
Setelah
keluarnya Maklumat Pemerintah tersebut, secara resmi berdiri parpol-parpol
(Buku “30 Tahun Indonesia Merdeka” 1945 – 1949, 1981: 56), sebagai berikut:
1) Partai Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia), 7 November 1945;
2) PKI (Partai
Komunis Indonesia), 7 November 1945;
3) PBI (Partai
Buruh Indonesia), 8 November 1945;
4) Partai Rakyat
Jelata, 8 November 1945;
5) Parkindo (Partai
Kristen Indonesia), 10 November 1945;
6) PSI (Partai
Sosialis Indonesia), 10 November 1945;
7) PRS (Partai
Rakyat Sosialis), 20 November 1945;
8) PKRI (Partai
Katholik Republik Indonesia), Desember 1945;
9) Permai
(Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), 17 Desember 1945;
10) PNI (Partai
Nasional Indonesia), 29 Januari 1946.
Parpol-parpol
yang muncul berkat keluarnya Maklumat Pemerintah tersebut pada mulanya memang
ikut berjasa dalam mengorganisasi rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, akan
tetapi kemudian menunjukkan kecenderungan kehidupan politik yang tidak sehat,
karena parpol-parpol tersebut nampaknya melupakan atau tidak memperhatikan
restriksi yang telah ditentukan oleh Maklumat yaitu “memperkuat perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat”. Kehidupan
kepartaian yang tidak sehat tersebut terjadi sebelum, pada saat, dan sesudah
pemilihan umum (Pemilu) tahun 1955, karena parpol-parpol telah terjebak dalam
pertentangan ideologi atau pemikiran politik yang tajam, yang oleh Feith dan
Castles (1988: xxv) dibedakan dalam lima aliran, yakni: Nasionalisme Radikal,
Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis, dan Komunisme.
Oleh
karena kehidupan politik yang kitan tidak sehat dari parpol-parpol tersebut
yang berupa pertentangan ideologi yang tajam, menyebabkan parpol-parpol tidak
mampu menunaikan fungsinya dengan baik, terbukti dari kegagalan parpol untuk:
a) Menciptakan suatu
pemerintahan yang kuat dan stabil yang mampu menyusun dan melaksanakan
program-program pembangunan untuk mengisi kemerdekaan, dikarenakan Pemilu 1955
tidak menghasilkan parpol mayoritas mutlak di DPR;
b) Menyepakati UUD
baru sebagai pengganti UUDS 1950 yang disebabkan kegagalan badan Konstituante
Hasil Pemilu 1955 menyusun UUD akibat polarisasi mengenai dasar negara antara
yang menghendaki tetap dasar Pancasila dan yang menghendaki dasar negara Islam.
(A.
Mukthie Fadjar, 2008: 30)
Dari
pelaksanaan Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 telah menghasilkan,
sebagai berikut:
- Empat parpol besar tetapi tidak ada yang
mencapai mayoritas absolut di DPR, yaitu PNI 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45
kursi, dan PKI 39 kursi, sedangkan jumlah parpol yang mendapatkan kursi di DPR
ada 26 buah (Jumlah kursi DPR adalah 257).
- Sedangkan untuk 520 kursi Konstituante,
perolehan kursi empat besar adalah PNI 119 kursi, Masyumi 112 kursi, NU 91
kursi, dan PKI 80 kursi.
Berdasarkan
Daftar Parpol di Era Demokrasi Liberal-Parlementer, khususnya yang ikut Pemilu
1955 (A. Mukthie Fadjar. 2008: Lampiran 1).
b. Parpol di Era Demokrasi Terpimpin
Demokrasi
Terpimpin adalah era sistem ketatanegaraan dan politik sesudah Dekrit Presiden
5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966 (saat keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966,
yaitu berupa penyerahan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal
Soeharto yang masih penuh misteri dan kontroversial).
Masa
kebebasan dan kejayaan parpol di era Demokrasi Liberal Parlementer berakhir
dengan munculnya era Demokrasi Terpimpin sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden
5 Juli 1959. Dengan pertimbangan “berhubung keadaan ketatanegaraan di
Indonesia, yang menyebabkan dikeluarkannya Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959 dan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa serta merintangi
pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, perlu
diadakan peraturan tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian”.
Peraturan tersebut diberi bentuk yuridis Penetapan Presiden Republik Indonesia
No. 7 Tahun 1959 (Penpres No. 7 Tahun 1959).
Diktum
pertama Penpres No. 7 Tahun 1959 tersebut menyatakan “Mencabut Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945” yang dalam Penjelasan Umum Penpres tersebut
dikemukakan bahwa Maklumat yang menganjurkan berdirinya Partai-partai dengan
tidak terbatas, ternyata tidak berhasil mencapai stabilitet politik yang
mencapai puncaknya pada waktu Konstituante membicarakan Amanat Presiden 22
April 1959 yang menganjurkan kembali ke UUD 1945. Sedangkan diktum keduanya menetapkan
Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.
Untuk
melaksanakan Penpres No. 7 Tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Presiden No. 13
Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-partai yang
kemudian diubah dengan Perpres No. 25 tahun 1960. Berdasarkan instrumen hukum
tersebut dapat dikemukakan Pokok-pokok kebijakan hukum bidang kepartaian era
Demokrasi Terpimpin, sebagai berikut:
1) Pengakuan dan
Pengawasan Parpol
a) Pengakuan Parpol
(Pasal 1 dan Pasal 4 Perpres No. 13/1960):
(1) Parpol yang sudah
ada pada saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 harus menyesuaikan Anggaran Dasar
(AD) dan/atau Anggaran Rumah Tangga (ART)-nya dengan Penpres No. 7 Tahun 1959
dan paling lambat 31 Desember 1959 (dengan Perpres No. 25 Tahun 1960 diubah
menjadi tanggal 28 Februari 1961) melaporkan kepada Presiden;
(2) Pengakuan dan
penolakan parpol dilakukan dengan Keputusan Presiden dan disampaikan kepada
pimpinan parpol, serta dimuat dalam Berita Negara RI.
b) Pengawasan Parpol
(Pasal 8 Penpres No. 7 Tahun 1959 jo Pasal 5 Perpres No. 13 Tahun 1960):
(1) Dilakukan oleh
Presiden dan Presiden dapat memerintahkan untuk memeriksa tata usaha, keuangan,
dan kekayaan parpol;
(2) Parpol yang sudah
diakui wajib melaporkan setiap 6 bulan sekali kepada Presiden tentang jumah cabang,
anggota, dan organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya, serta kekayaan
dan masuk/keluarnya keuangan.
2) Pembubaran dan
Pelarangan Parpol
a) Pembubaran Parpol
(Pasal 9 Penpres No. 7 Tahun 1959 jo Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9
Perpres No. 13 Tahun 1960):
(1) Institusi yang
berwenang melarang dan/atau membubarkan parpol adalah Presiden setelah
mendengar pertimbangan Mahkamah Agung (MA);
(2) Alasan pelarangan
dan/atau pembubaran parpol:
(a) Asas dan tujuannya
bertentangan dengan asas dan tujuan Negara;
(b) Programnya bermaksud
merombak asas dan tujuan Negara;
(c) Sedang melakukan
pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam
pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan
partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu;
(d) Tidak memenuhi
syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Pasal 2 s.d. pasal 7 Penpres No. 7
Tahun 1959.
b) Mekanisme
pelarangan/pembubaran parpol:
(1) Presiden lebih
dahulu mendengar pertimbangan MA dengan menyerahkan surat-surat dan lain-lain
alat bukti yang menguatkan persangkaan bahwa suatu parpol berada dalam keadaan
sebagaimana dimaksudkan Pasal 9 ayat (1) Penpres No. 7 Tahun 1959 (Pasal 6
Penpres No. 13 Tahun 1960);
(2) MA menguji persoalan
yang diajukan Presiden secara yuridis dan obyektif dengan mengadakan
pemeriksaan secara bebas (Pasal 7 ayat (1) Perpres 13/1960);
(3) Dalam pemeriksaan,
MA dapat mendengar keterangan saksi-saksi dan ahli-ahli di bawah sumpah (Pasal
7 ayat 2 Perpres No. 13 Tahun 1960);
(4) Hasil pemeriksaan
yang merupakan pendapat MA diberitahukan kepada Presiden (pasal 7 ayat (3)
Perpres No. 13 Tahun 1960);
(5) Setelah menerima
pertimbangan MA, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang
menyatakan pembubaran suatu parpol yang selekas mungkin diberitahukan kepada
pimpinan parpol yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (1) Perpres No. 13/1960);
(6) Dalam jangka waktu
30 hari sejak tanggal berlakukan Keppres tersebut huruf e, pimpinan parpol
dimaksud harus menyatakan bahwa partainya bubar dan memberitahukan kepada
Presiden seketika itu juga (Pasal 8 ayat (2) Perpres No. 13 tahun 1960);
(7) Apabila tanggal tersebut
huruf f lewat tanpa pernyataan bubar partai dimaksud, maka partai tersebut
merupakan perkumpulan terlarang (Pasal 8 ayat (3) Perpres No. 13 Tahun 1960);
(8) Sebagai akibat hukum
pembubaran/pelarangan suatu parpol, maka anggota parpol yang menjadi anggota
MPR, DPR, dan DPRD secara otomatis dianggap berhenti sebagai anggota
badan-badan tersebut (Pasal 9 Perpres No. 13 tahun 1960);
Berdasarkan
Penpres No. 7 Tahun 1959 juncto Perpres No. 13 Tahun 1960 yang diubah dengan
Perpres No. 25 Tahun 1960 di atas, maka pada era Demokrasi Terpimpin ada
parpol-parpol yang diakui sah keberadaanya, ada yang ditolak pengakuannya
sebagai parpol, dan ada parpol yang dibubarkan, sebagai berikut:
a) Parpol yang diakui
sah keberadaannya: (1) PNI; (2) NU; (3) PKI; (4) Partai Katholik; (5) Partindo;
(6) Partai Murba; (7) PSII; dan (8) IPKI (berdasarkan Keppres No. 128 Tahun
1961 tanggal 14 April 1961); serta (9) Parkindo dan (10) Partai Islam Perti
(berdasarkan Keppres No. 440 Tahun 1961 tanggal 27 Juli 1961);
b) Parpol yang ditolak
pengakuannya: (1) PSII Abikusno; (2) PRN Bebasa; (3) PRI; dan (4) PRN Djody;
c) Parpol yang
dibubarkan: (1) Partai Masyumi (Keppres No. 200 Tahun 1960) dan PSI (Keppres
No. 201 Tahun 1960).
2. Parpol di Era Demokrasi Orde Baru
Era Orde Baru adalah era pemerintahan pasca
timbulnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965, khususnya dengan terjadinya pelimpahan
kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto melalui Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) yang berlangsung hingga tanggal 21 Maret 1998
saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya dan menyerahkan
jabatan presiden kepada Wakil Presiden BJ. Habibie yang kemudian dilantik
sebagai Presiden. Era Orde Baru juga sering sering dinamakan sebagai era
Demokrasi Pancasila, sebab ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuan.
Kehidupan kepartaian era Orde Baru diawali
dengan pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dengan Keputusan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi No. 1/3/1966 dan kemudian
Partindo (1967) karena kedua parpol tersebut dianggap terlibat peristiwa
G30S/PKI tahun 1965, sehingga dari 10 parpol warisan Demokrasi Terpimpin
tinggal 8 parpol, yakni PNI, NU, PSII, Perti, IPKI, Partai Katholik, Parkindo,
dan Partai Murba. Jumlah parpol tersebut kemudian bertambah dengan berdirinya
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) berdasarkan Keppres No. 70 Tahun 1968
tanggal 20 Februari 1968 yang dimaksudkan untuk mengakomodasi para pengikut eks
partai Masyumi dan Golongan Karya yang merupakan penjelmaan Sekretariat Bersama
Golkar (namun Golkar walaupun dalam semua hal adalah partai tetapi tak mau
disebut parpol). Dengan demikian ada 10 parpol atau Sembilan Parpol + Golkar
pada masa awal Orde Baru yang selanjutnya menjadi peserta Pemilu tahun 1971.
Setelah Pemilu 1971, pemerintah mendorong
(memaksa) sembilan parpol tersebut untuk melakukan fusi yang kemudian
dikukuhkan dengan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan
Karya, sehingga parpol pada era Orde Baru hanya tiga saja, yaitu:
1) Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII,
dan Perti yang merupakan fusi partai-partai Islam;
2) Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari partai-partai nasionalis dan
agama non-islam, yaitu PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Partai Murba;
3) Golongan
Karya (Gokar) yang dinyatakan sebagai golongan politik tersendiri dari luar dan
tidak mau disebut partai politik, meskipun dipandang dari sudut manapun Golkar
tidak ubahnya seperti parpol (vide Boileau, 1983).
Sistem kepartaian Orde Baru sering dinamakan
sistem kepartaian yang hegemonik, yaitu sistem kepartaian di mana tingkat
kompetisi antara parpol dibuat seminimal mungkin oleh parpol hegemoni (Gaffar
dan Amal, 1988. Makalah), Daniel Dhakidae (1999: 13) menyebutkan sebagai sistem
partai tunggal (Golkar) dengan dua partai satelit (PPP dan PDI). Sedangkan
Maurice Duverger (1981: 40) menyebut sistem partai yang dominan, yaitu apabila
suatu partai memperlihatkan dua karakteristik: (a) ia harus mengungguli
rival-rivalnya dalam jangka waktu yang cukup panjang, dan (b) ia harus dapat
mengidentifikasikan dirinya dengan bangsa sebagai keseluruhan.
a. Kepartaian Menurut UU Parpol dan Golkar
Instrumen
hukum yang dipakai untuk menata kehidupan kepartaian Orde Baru, yakni UU No. 3
tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang diubah dengan UU No.
3 tahun 1985 yang memuat pokok-pokok peraturan sbb.:
1) Jumlah parpol
sudah ditetapkan secara definitif hanya tiga (PPP, PDI dan Golkar [Pasal 1 ayat
(1)], sehingga tidak ada ketentuan tentang syarat-syarat dan tata cara
pembentukan parpol (baru), juga tidak ada ketentuan tentang pembubaran dan
pelarangan parpol;
2) Berlaku asas
tunggal Pancasila bagi parpol dan Golkar (Pasal 2 UU No. 3 tahun 1985),
sebelumnya berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 3 tahun 1975 masih dimungkinkan
adanya asas/ciri khusus di samping Pancasila;
3) Parpol dan Golkar
mempunyai kedudukan, fungsi, hak dan kewajiban yang sama dan sederajat (Pasal 1
ayat (2) UU Partpol dan Golkar);
4) Tujuan Parpol (dan
Golkar) dan cara mencapainya (Pasal 3 UU No. 3/1975):
a) Mewujudkan
cita-cita bangsa sebagaimaan dimaksud dalam UUD 1945;
b) Menciptakan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI;
c) Mengembangkan
kehidupan Demokrasi Pancasila.
Cara
memperjuangkan tercapainya tujuan melalui program-program dengan jiwa/semangat
kekeluargaan, musyawarah dan gotong royong.
5) Fungsi Parpol dan
Golkar (Pasal 5 UU Parpol dan Golkar):
a) Menyalurkan
pendapat dan aspirasi masyarakat secara sehat dan mewujudkan hak politik
rakyat;
b) Membina anggota
menjadi WNI yang bermoral Pancasila dan setia terhadap UUD 1945;
c) Wadah untuk
mendidik kesadaran politik rakyat.
6) Hak dan Kewajiban
Parpol dan Golkar (Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 3/1975):
a) Hak Parpol dan
Golkar: (i) mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan NKRI; (ii) ikut serta dalam
pemilu;
b) Kewajiban Parpol
dan Golkar: (i) melaksanakan, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila dan UUD
1945; (ii) mempertahankan dan mengisi kemerdekaan NKRI; (iii) mengamankan dan
melaksanakan GBHN dan Ketetapan MPR lainnya; (iv) memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa, serta stabilitas nasional yang tertib dan dinamis; (v) turut
memelihara persahabatan antara RI dengan negara lain; dan (vi) ikut
mensukseskan pelaksanaan Pemilu.
7) Keanggotaan Parpol
dan Golkar (Pasal 8 UU Parpol Golkar): a) telah berumur 17 tahun atau sudah
pernah kawin; b) dapat membaca dan menulis; c) sanggup aktif dalam kegiatan
Parpol dan Golkar; d) PNS dapat menjadi anggota Parpol dan Golkar dengan
sepengetahuan atau ijin atasan.
8) Kepengurusan
Parpol dan Golkar (Pasal 10 UU Parpol dan Golkar): hanya sampai Daerah Tingkat
II. Di tingkat kecamatan dapat dibentuk komisaris, tetapi tidak termasuk
kepengurusan.
9) Keuangan Partai
dan Golkar (Pasal 11): a) iuran anggota; b) sumbangan yang tidak mengikat; c)
usaha yang sah; d) bantuan dari Negara.
10) Larangan dan
Pengawasan (Pasal 12 s.d. Pasal 14):
a) Larangan bagi
Parpol dan Golkar (Pasal 12: (i) menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham
atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta faham atau ajaran lain yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam segala bentuk dan
perwujudannya; (ii) menerima bantuan dari fihak asing; dan (iii) memeberikan
bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara;
b) Pengawasan Parpol
dan Golkar (Pasal 13 dan Pasal 14): (i) pengawasan dilakukan oleh Presiden
(pasal 13); (ii) Presiden dapat membekukan Pengurus Tingkat Pusat Parpol dan
Golkar setelah mendengar Pengurus yang bersangkutan dan pertimbangan MA.
b. Parpol di Luar Sistem Orde Baru
Meskipun
format politik Orde Baru telah membatasi jumlah parpol yang mempunyai hak
hidup, yaitu hanya dipatok tiga saja, PPP, PDI dan Golkar, tetapi muncul juga
perlawanan yang memunculkan parpol di luar sistem Orde Baru, yakni munculnya
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati
Soekarnoputri yang merupakan dari PDI sebagai akibat kekacauan Kongres PDI di
Surabaya dan dilanjutkan di Medan. Selain itu juga muncul Partai Uni Demokrasi
Indonesia (PUDI) pimpinan Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas dan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sujatmiko, dua partai yang meskipun tidak
diakui negara, tetapi secara terang-terangan menentang Orde Baru.
PDIP,
PUDI dan PRD yang tidak diakui Pemerintah Orde Baru kemudian menjadi parpol
setelah Pemilu 1999 setelah menyesuaikan dengan UU NO. 2 Tahun 1999 Tentang
Partai Politik. Bahkan PDIP menjadi pemenang Pemilu 1999 dengan perolehan 154
kursi dari jumlah kursi DPR sebanyak 500 kursi, sedangkan PUDI dan PRD tidak
memperoleh kursi di DPR.
Runtuhnya
Orde Baru pada bulan Mei 1998 berakibat runtuh pula format politik di bidang
kepartaian dengan “sistem tiga partai” yang salah satunya menjadi partai
hegemonik, sedangkan dua partai lainnya menjadi partai punokawan. Suatu era
baru kepartaian yang demokratis muncul bersama era reformasi.
3. Parpol di Era Reformasi
Era Reformasi adalah era kehidupan
ketatanegaraan dan politik sesuah berakhirnya era Orde Baru pada tanggal 21 Mei
1998 yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan RI dan
digantikan oleh BJ. Habibie. Era reformasi juga sering disebut era pasca Orde
Baru.
Dalam Era Reformasi, hingga saat ini (2007)
pernah diberlakukan dua undang-undang yang mengatur parpol, yakni UU No. 2
Tahun 1999 Tentang Partai Politik yang berlaku dari tanggal 1 Februari 1999
sampai tanggal 26 Desember 2002 dan UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik
yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 2002, kemudian pada tanggal 6 Desember
2007 DPR menyepakati UU Parpol yang baru pengganti UU Parpol 2002. Selain itu,
juga muncul Parpol Lokal setelah lahirnya UU Pemerintah Aceh.
a. Parpol menurut UU No. 2 Tahun 1999.
Munculnya
gerakan reformasi pada tahun 1998 yang meruntuhkan Orde Baru juga berakibat
runtuhnya sistem kepartaian Orde Baru. UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai
Politik yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 1985 telah menimbulkan
perubahan besar dalam kehidupan kepartaian di Indonesia.
Pasal
17 UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik berserta penjelasannya telah
memuat ketentuan tentang pengertian, institusi yang berwenang, alasan, dan
mekanisme pembubaran parpol sbb.:
a) Pengertian pembubaran parpol:
Yang
dimaksud dengan membubarkan parpol adalah mencabut hak hidup dan keberadaan
parpol di seluruh wilayah Republik Indonesia (Penjelasan Pasal 17 ayat 2).
b) Institusi yang berwenang membubarkan parpol:
Mahakamah Agung (Pasal 17 ayat 2).
c) Alasan pembubaran parpol:
Apabila
nyata-nyata melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 (Syarat-syarat pembentukan Parpol),
Pasal 5 (Tujuan Parpol), Pasal 9 (Kewajiban Parpol), dan Pasal 16 (larangan
bagi parpol dalam rangka pengawasan) UU No. 2 Tahun 1999 yang pada pokok berisi
ketentuan sbb.:
- Pasal 2: (i) syarat
minimal pendirinya 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun (ayat 1); (ii)
mencantumkan Pancasila dalam Anggaran Dasar parpol (ayat 2 huruf a); (iii)
asas/ciri, aspirasi, dan program parpol tidak bertentangan dengan Pancasila
(ayat 2 huruf b); (iv) keanggotaan bersifat terbuka untuk setiap WNI yang telah
mempunyai hak pilih (ayat 2 huruf c); dan (v) tak boleh menggunakan nama,
lambang, atau bendera negara asing, bendera NKRI, gambar perorangan, dan/atau
lambang partai lain yang telah ada (ayat 2 huruf d).
- Pasal 3: tidak
boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional.
- Pasal 5: mengenai
tujuan parpol, secara umum harus mewujudkan cita-cita nasional yang termuat
dalam Pembuakaan UUD 1945, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat NKRI secara khusus
memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam seluruh aspek kehidupan.
- Pasal 9 (mengenai
kewajiban Parpol): memegang teguh dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945,
mempertahankan keutuhan NKRI, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta
mensukseskan pembangunan nasional dan Pemilu yang demokratis, luber dan jurdil.
- Pasal 16 (mengenai
larangan-larangan bagi parpol), yakni tidak boleh: (i) menganut, mengembangkan
ajaran/faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan
dengan Pancasila; (ii) menerima sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apapun,
baik langsung atau tak langsung; (iii) memberi sumbangan dan/atau bantuan
dallam bentuk apapun kepada pihak asing, langsung atau tak langsung yang dapat
merugikan kepentingan bangsa dan negara; dan (iv) melakukan kegiatan yang
bertentangan dengan kebijakan Pemerintah RI dalam memelihara persahabatan
dengan negara lain.
d) Mekanisme pembubaran Parpol oleh Mahkamah
Agung (Pasal 17):
- MA lebih dahulu
memberikan peringatan secara tertulis kepada parpol yang bersangkutan selama
tiga kali berturut-turut dalam waktu tiga bulan sebelum proses peradilan
[Penjelasan ayat (3)];
- Dalam proses
peradilan, MA lebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari
Pengurus Parpol a quo (ayat 3);
- Pelaksanaan pembekuan
atau pembubaran parpol dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan memperoleh kekuatan hukum tetap dan
diumumkan dalam Berita Negara oleh Menteri Kehakiman (ayat 4).
b. Parpol menurut UU No. 31 Tahun 2002
Perubahan
UUD 1945 sebanyak empat kali (1999 – 2002) yang telah mengubah secara
signifikan dan fundamental sistem ketatanegaraan Indonesia mengharuskan
dilakukannya perubahan undang-undang di bidang, yakni UU Parpol, UU Pemilu dan
UU Susduk.
Salah
satunya UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik (disingkat UU Parpol 2002)
telah mengatur tentang syarat-syarat pembentukan, larangan, pembubaran dan
penggabungan, pengawasan dan sanksi terhadap Parpol yang intinya sbb.:
1) Syarat-syarat
pembentukan Parpol:
a) Syarat-syarat formal (Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 4 UU Parpol 2002):
- Didirikan dan dibentuk oleh minimal 50
orang WNI yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris;
- Akta notaris dimaksud harus memuat anggaran
dasar (AD), anggaran rumah tangga (ART), dan kepengurusan tingkat nasional
parpol;
- Kepengurusan parpol tingkat nasional
berkedudukan di Ibukota Negara (dapat berkantor pusat di DKI, Kota Bogor, Kota
Depok, Kota Tangerang dan Kota Bekasi);
- Didaftarkan pada Departemen Kehakiman;
- Menteri Kehakiman mensahkan parpol yang
memenuhi syarat sebagai badan hukum paling lambat 30 hari sejak penerimaan
pendaftaran dan mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (pasal 3).
b) Syarat substansial:
- Asas parpol tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945 dan dapat mencantumkan ciri tertentu yang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta undang-undang (pasal 5);
- Tujuan Parpol yang meliputi tujuan umum
(mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, mengembangkan kehidupan
demokrasi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat) dan tujuan khusus parpol
diwujudkan secara konstitusional (pasal 6);
2) Larangan bagi
Parpol (Pasal 19 UU Parpol 2002):
a) Penggunaan nama, lambang, dan bendera
sebagaimana telah diuraikan dalam syarat formal pembentukan/pendirian Parpol
(ayat 1);
b) Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan
dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, membahayakan keutuhan
NKRI, dan bertentangan dengan kebijakan Pemerintah dalam memelihara
persahabatan dengan negara lain untuk ketertiban dan perdamaian dunia (ayat 2);
c) Menerima berbagai sumbangan (barang/uang)
dari pihak manapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tanpa
mencantumkan identitas yang jelas, melebihi batas yang ditetapkan, dari BUMN,
BUMD, BUM Desa, koperasi, yayasan, LSM, ormas, dan organisasi kemanusiaan (ayat
3);
d) Mendirikan badan usaha atau memiliki saham
suatu badan usaha (ayat 4);
e) Menganut, mengembangkan, dan menyebarkan
ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme (ayat 5).
3) Pembubaran dan
Penggabungan (Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22):
a) Parpol bubar
karena tiga hal, yaitu 1) membubarkan diri, 2) menggabungkan diri dengan parpol
lain, dan 3) dibubarkan oleh MKRI (Pasal 20);
b) Penggabungan
parpol dengan parpol lain (Pasal 21) dapat dilakukan dengan membentuk parpol
baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru (harus menyesuaikan
syarat-syarat pendirian parpol), atau dengan memakai nama, lambang, dan tanda
gambar salah satu parpol (tidak diwajibkan memenuhi syarat-syarat pendirian
parpol);
c) Pembubaran dan
penggabungan parpol diumumkan dalam Berita Negara oleh Departemen Kehakiman
(Pasal 22).
4) Pengawasan
terhadap Parpol (Pasal 23 s.d. Pasal 25 UU Parpol 2002):
Ada 3 macam pengawasan terhadap Parpol oleh 3 institusi yang
berbeda, yaitu:
a) Pengawasan atas
syarat-syarat formal Parpol oleh Departemen Kehakiman;
b) Pengawasan atas
keuangan parpol oleh KPU;
c) Pengawasan atas
larangan-larangan Parpol oleh Departemen Dalam Negeri.
5) Sanksi terhadap
Parpol (Pasal 26 s.d. pasal 28 UU Parpol 2002):
a) Sanksi
administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai parpol oleh Departemen
Kehakiman atas tidak terpenuhinya syarat formal dan syarat substansial Parpol,
dan larangan mengenai nama, lambang, dan tanda gambar;
b) Sanksi
administratif oleh KPU yang berupa teguran dan tidak bisa ikut Pemilu;
c) Sanksi
administratif berupa pembekuan sementara parpol paling lama 1 tahun oleh
pengadilan/MA atas pelanggaran tersebut pasal 19 ayat (2);
d) Sanksi pembubaran
parpol oleh MKRI atas pelanggaran terhadap larangan tersebut Pasal 19 ayat (5).
Selain
itu, berdasarkan Ketentuan Peralihan (Pasal 29), Parpol yang sudah berstatus
sebagai badan hukum menurut UU Parpol 1999 meskipun tetap diakui keberadaannya,
tetapi apabila dalam waktu 9 bulan tidak menyesuaikan dengan UU Parpol 2002,
akan dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakuii
keberadaannya sebagai parpol. Tentang daftar jumlah parpol pada masa berlakunya
UU Parpol 2002, termasuk parpol yang telah dibatalkan status badan hukumnya
(yang berarti praktis parpol itu dibubarkan) (A. Mukthie Fadjar. 2008: Lampiran
1).
4. Partai Politik Lokal
a. Tinjauan Umum
Secara
umum, partai politik lokal (selanjutnya disingkat Parpol Lokal) adalah parpol
yang berbasis atau mengandalkan dukungannya semata-mata pada satu wilayah atau
daerah saja dari satu negara. Tujuan parpol lokal ini berbeda-beda, namun pada
umumnya dapat dikategorikan dalam tiga macam (Lawrence Sullivan, 2003) sbb.:
a) Hak Minoritas,
parpol lokal bertujuan melindungi dan memajukan hak ekonomi, sosial, budaya,
bahasa, dan pendidikan kelompok minoritas tertentu, antara lain parpol lokal di
Finlandia, Belgia, Bulgaria, dsb.
b) Memperoleh
Otonomi, parpol lokal menginginkan otonomi atau peningkatan otonomi untuk
daerahnya, antara lain parpol lokal di Spanyol (beberapa), India, Sri Lanka,
dsb.
c) Mencapai
Kemerdekaan, parpol lokal yang secara eksplisit memperjuangakan kemerdekaan
wilayah mereka dan pembentukan negara baru, antara lain parpol loka di Turki
(suku Kurdi)), di Skotlandia dan Wales yang merdeka dari Kerajaan Inggris Raya,
di Canada (Partai Quebecois). Partai lokal yang bertujuan kemerdekaan bagi
wilayahnya merupakan partai lokal separatis, yang di beberapa negara asalkan
diperjuangkan secara damai, demokratis, dan konstitusional tidak dilarang,
walaupun ada juga yang melarangnya.
Isu
tentang parpol lokal di Indonesia muncul setelah ada penandatanganan Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia
(The Government of Indonesia, disingkat Goli) dan Gerakan Aceh Merdeka
(selanjutnya disebut MoU RI-GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki,
Finlandia.
Sebenarnya,
pada Pemilu 1955 (untuk memilih Anggota DPR dan memilih anggota Badan Konstituante),
Indonesia pernah mengenal beberapa parpol peserta pemilu yang kalau ditilik
dari namanya dapat diindikasikan sebagai semacam parpol lokal, atau yang
menurut Herbert Feith (1999: 89-90) disebut “Kelompok Kecil yang Bercakupan
Daerah”, diantaranya Gerinda – Yogyakarta, Partai Persatuan Daya – Kalimantan
Barat, AKUI – Madura, Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM) – Jawa Barat, dsb.
Memang
masih sulit untuk menyatakan bahwa parpol-parpol tersebut dapat dikategorikan
sebagai parpol lokal, karena pada waktu itu belum ada pengaturan yang jelas
tentang parpol di Indonesia dan keduanya juga mengikuti Pemilu yang bersifat
nasional.
Selain
itu, dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua juga ada ketentuan
tentang hak penduduk Papua untuk membentuk partai politik (Pasal 28 UU Otsus
Papua), yang karena Provinsi Papua merupakan daerah otonomi khusus (seperti
Aceh), seharusnya parpol tersebut merupakan parpol lokal.
b. Parpol Lokal di Aceh
Tentang
Parpol Lokal di Aceh ini, pokok-pokok pengaturannya dalam UUPA juncto PP Parpol
Lokal diantaranya sbb.:
a) Pembentukan,
pendaftaran, dan pengesahan sebagai badan hukum.
Tata cara
pembentukan, pendaftaran, dan pengesahan sebagai badan hukum Parpol Lokal di
Aceh adalah sbb.:
1) Didirikan dan
dibentuk oleh minimal 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun dan berdomisili
tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30% (Pasal 75
ayat (2) UUPA);
2) Didirikan dengan
akta notaris yang memuat AD, ART, dan struktur kepengurusan (Pasal 75 ayat (3)
UUPA);
3) Kepengurusan
berkedudukan di Ibukota Aceh dan memperhatikan keterwakilan perempuan minimal
30% (Pasal 75 ayat (4) dan ayat (5) UUPA);
4) Agar dapat
didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum, selain memenuhi ketentuan
tersebut nomor 1) sampai 3), parpol lokal harus mempunyai:
- Kepengurusan minimal
50% di kabupaten/kota dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota
yang bersangkutan (Pasal 75 ayat (8) UUPA);
- Nama, lambang, dan
tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan lambang negara, lambang lembaga negara, lambang pemerintah, lambang
pemerintah daerah, nama, lambang, dan tanda gambar parpol atau parpol lokal
lain (Pasal 2 ayat (4) PP No. 20 Tahun 2007);
- Alamat kantor tetap
yang dibuktikan dengan dokumen yang sah (Pasal 2 ayat (2) huruf c dan ayat (6)
PP No. 20 Tahun 2007);
5) Didaftarkan dan
disahkan sebagai badan hukum oleh kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM di
Aceh melalui pelimpahan kewenangan dari Menteri yang berwenang (Pasal 76 ayat
(1) UUPA) setelah dilakukan verifikasi paling lama 30 hari.
6) Pengesahan parpol
loka sebagai badan hukum diumumkan dalam Berita Negara (Pasal 76 ayat (2)
UUPA);
7) Perubahan AD, ART,
lambang, tanda gambar, dan kepengurusan parpol lokal didaftarkan di Kanwil
Dephukham Aceh dan Keputusan tentang hal itu dimuat dalam Berita Negara RI.
b) Larangan (Pasal
82) dan Sanksi (Pasal 88):
Parpol lokal
dilarang dengan ancaman sanksi-sanksi sbb.:
1) Menggunakan nama,
lambang, atau tanda gambar yang sama dengan (i) bendera atau lambang negara RI;
(ii) lambang lembaga negara/pemerintah; (iii) lambang daerah Aceh; (iv) nama,
bendera, atau lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; (v) nama
dan gambar seseorang; atau (vi) yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan parpol atau parpol lain. Sanksinya menurut Pasal 87 ayat
(1) UUPA adalah sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran parpol lokal
a quo.
2) Melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 atau peraturan
perundang-undangan lain, serta membahayakan keutuhan NKRI. Sanksinya menurut
Pasal 87 ayat (2) UUPA adalah sanksi administratif berupa pembekuan sementara
paling lama satu tahun oleh pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat kedudukan parpol lokal.
3) Menerima atau
memberikan sumbangan: (i) kepada pihak asing dalam bentuk apa pun yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (ii) barang atau uang dari
pihak mana pun tanpa mencantumkan indentitas yang jelas; (iii) dari
perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan; (iv) dana dari BUMN, BUMD, BUMDesa, atau
dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, LSM, ormas, dan organisasi
kemanusiaan. Sanksinya menurut Pasal 87 ayat (3) UUPA adalah sanksi
administratif berupa teguran secara terbuka oleh KIP Aceh.
4) Mendirikan badan
usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Sanksinya menurut Pasal 87
ayat (4) UUPA adalah sanksii administratif berupa larangan mengikuti pemilu
berikutnya oleh pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat
kedudukan parpol lokal.
5) Menganut,
mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme dan marxisme-leninisme.
Sanksinya menurut Pasal 86 ayat (3) huruf c juncto Pasal 88 ayat (1) parpol
lokall a quo dapat dibubarkan oleh MK. Parpol lokal yang dibekukan apabila
melanggar lagi juga dapat dibubarkan (Pasal 88 ayat (20 UUPA).
c) Penggabungan dan
Pembubaran Parpol Lokal.
Mekanisme
penggabungan dan pembubaran parpol lokal diatur dalam Pasal 12 sampai dengan
Pasal 15 PP Parpol Lokal sbb.:
1) Dilakukan dengan
akta notaris;
2) Diberitahukan
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di Aceh;
3) Dilakukan secara
tertulis dengan menyertakan a) akta notaris keputusan pembubaran yang dilakukan
secara suka rela; b) akta notaris yang memuat keputusan penggabungan diri
dengan parpol lokal lainnya; c) putusan Mahkamah Konstitusi apabila parpol
lokal dibubarkan oleh MK.
Apabila
parpol lokal dibubarkan oleh MK, maka berlaku mekanisme pembubaran parpol yang
diatur dalam Pasal 68 sampai Pasal 73 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi (UUMK). Karena pengaturan mengenai pembubaran parpol dalam UUMK
masih sangat sumir atau belum lengkap, maka MK dalam melengkapinya dengan
peraturan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 86 UUMK.
BAB
IV
PENUTUP
(KESIMPULAN
DAN SARAN)
1. Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa sistem dan kehidupan kepartaian di Indonesia semenjak
Kemerdekaan hingga kini mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan
politik dan ketatanegaraan sbb.:
a. Sistem kepartaian:
sistem multipartai tak terbatas (1945-1959), sistem multi-partai terbatas
(1959-1973), sistem multipartai sangat terbatas (1975-1999), sistem
muultipartai tak terbatas (1999-2002), dan sistem multipartai sederhana
(2002-sekarang/2008).
b. Upaya
penyederhanaan dan pembatasan parpol dilakukan sejak Dekrit Presiden 5 Juli
1959 melalui tiga model rekayasa politik (political engineering) yaitu
(Dhakidae, 2004: 6):
- Political
engineering by legal process
- Political
engineering by beurocratic/administrative process
- Political
engineering by electoral process.
c. Mekanisme
pembubaran parpol juga berkembang dari pembubaran oleh Presiden (era Demokrasi
Terpimpin, awal Orba) ke pembubaran lewat proses hukum di pengadilan, yakni
oleh MA (UU Parpol 1999) dan oleh MK (UU Parpol 2002 dan UU Parpol 2008).
d. Perkembangan
parpol di Indonesia juga ditandai dengan munculnya parpol lokal, meskipun
masih terbatas di Aceh, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa parpol lokal juga akan muncul di daerah lain,
khususnya daerah-daerah yang mendapatkan status otonomi khusus.
e. Parpol menduduki
posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Perubahan UUD
1945, yaitu parpol menjadi semacam “embarkasi” atau “kendaraan” untuk menduduki
jabatan-jabatan publik, khusunya pada lembaga perwakilan dari pusat dan daerah,
serta jabatan eksekutif yakni Presiden dan Wakil Presiden, dan kepada
daerah/wakil kepala daerah.
2. Saran
Regulasi
parpol di Era Reformasi serta reformasi kehidupan kepartaian di Indonesia dapat
mengalami kegagalan, apabila tidak mampu melepaskan diri dari, baik perangkap
paradigma Orde Lama, maupun paradigma Orde Baru, sehingga Perubahan UUD 1945
tidak berdampak signifikan. Oleh sebab itu, Parpol di Era Reformasi harus terus
berproses untuk mencari paradigma, formula, dan format yang tepat untuk
menangkap makna reformasi, yakni demokratisasi dan penghormatan hak asasi
manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Buku
Fadjar, A. Mukthie. 2008. Partai Politik dalam Perkembangan
Sistem Ketatanegaraan Indonesia. In-TRANS Publising. Malang.
Amal, Ichlasul. Editor. 1998. Teori-teori Mutakhir Partai
Politik. PT Tiara Wacana Yogya.
Boileau, M. Julian, 1983. Golkar : Functional Group Politics
in Indonesia. CSIS. Jakarta
Budiardjo, Miriam. Penyunting. 1981. Partisipasi dan Partai
Politik : Sebuah Bunga Rampai. PT. Gramedia. Jakarta.
Dhakidae, Daniel. 1999. Partai-partai Politik di Indonesia.
Litbang Kompas.
Herbert Feith dan Lance Castles. Editor. 1988, Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965. LP3ES. Jakarta.
Lawrence Sullivan, 2003. Partai Politik Lokal. Makalah.
UNCEN. Jayapura.
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Negara RI tahun 1945.
UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Bahan Perkuliahan
Hamka.
2015. Slide Perkuliahan. Pengantar Ilmu Politik. STIA LAN. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)