Sabtu, 23 Mei 2015

Perkembangan Partai Politik di Indonesia (BAB III + IV)

Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys, hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Ilmu Politik, dewasa ini dapat dilihat perkembangan Partai Politik di Indonesia begitu cepat dan mengalami pasang surut juga, nah yuk kita lihat seperti apa. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka pada Jumat, 17 April 2015.

Semoga dapat membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^



PAPER II
PENGANTAR ILMU POLITIK

PARTAI POLITIK DI INDONESIA
(PADA TAHUN 1945 S.D. 2007)






Oleh:
YOGI SUDIRMAN
1428000283


PROGRAM    STUDI    MANAJEMEN    SDM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
JAKARTA 2015




DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................ 2           
BAB I. PENDAHULUAN........................................................... 3
1.      Latar Belakang.................................................................. 3
2.      Hak atas Kebebasan Berserikat dan Berkumpul............... 3
3.      Pendekatan dan Sistematika Pembahasan....................... 4

BAB II. TINJAUAN UMUM...................................................... 5
1.      Pengertian Partai Politik................................................... 5
2.      Jenis-Jenis Parpol.............................................................. 5
3.      Peranan dan Fungsi Parpol............................................... 6
4.      Tipologi Sistem Kepartaian.............................................. 7

BAB III. PEMBAHASAN........................................................... 9
1.      Parpol di Era Demokrasi Orde Lama................................ 9
a.      Parpol di Era Demokrasi Liberal Parlementer............ 9
b.      Parpol di Era Demokrasi Terpimpin........................... 10
2.      Parpol di Era Demokrasi Orde Baru................................. 13
3.      Parpol di Era Reformasi.................................................... 15
4.      Partai Politik Lokal........................................................... 18
a.      Tinjauan Umum......................................................... 18
b.      Parpol Lokal di Aceh.................................................. 19

BAB IV. PENUTUP..................................................................... 22
1.      Kesimpulan...................................................................... 22
2.      Saran............................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 23



*BAB I dan BAB II sudah diposting pada blog sebelum ini. terima kasih ^_^




BAB III
PEMBAHASAN
(PARTAI POLITIK DI INDONESIA)

1.   Parpol di Era Demokrasi Orde Lama
Demokrasi di Era Orde Lama dapat dibagi dalam dua periode, yaitu Era Demokrasi Liberal Parlementer (1945 – 1959) yang merupakan era kebebasan dan kejayaan parpol dan Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966) yang merupakan era awal pengendalian parpol oleh negara.
a.   Parpol di Era Demokrasi Liberal Parlementer.
Yang dimaksud dengan era Demokrasi Liberal Parlementer ialah era sistem ketatanegaraan dan politik antara tahun 1945 – 1959 yang mengalami tiga konstitusi, yakni UUD 1945 (1945 – 1949), Konstitusi RIS (1949 – 1950), dan UUDS 1950 (1950 – 1959).
Sebenarnya, keberadaan parpol di Indonesia sudah mulai sejak sebelum Kemerdekaan, di mana parpol-parpol telah berjasa besar dalam menanamkan kesadaran nasional yang mengorganisasi untuk memperjuangkan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Di alam Kemerdekaan, tonggak eksistensi parpol dipancangkan oleh Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang keluar atas desakan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) untuk mendirikan sebanyak-banyaknya parpol.
Maklumat Pemerintah ditandatangani oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta pada tanggal 3 November 1945 (Dhakidae, 1999: 8).
Maklumat Pemerintah tersebut mencerminkan kehendak rakyat yang sebagai tafsir longgar atas Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, juga pada hakikatnya sesuai dengan prinsip pendirian suatu parpol, yakni bahwa timbul dan tumbuhnya parpol datang dari bawah, tidak ditentukan dari atas. Sehingga dapat dimengerti jika Maklumat Pemerintah tersebut mendapat sambutan baik oleh rakyat Indonesia yang terbukti dengan bermunculannya parpol-parpol berdasarkan paham atau aliran partai yang ada. Dengan demikian, dimulailah sistem multi partai di Indonesia yang berdasarkan aliran (partai aliran). Hal ini sekaligus berarti membuyarkan gagasan atau keinginan Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 23 Agustus 1945 untuk membentuk satu partai tunggal, yaitu Partai Nasional Indonesia yang diharapkan menjadi partai pelopor.
Setelah keluarnya Maklumat Pemerintah tersebut, secara resmi berdiri parpol-parpol (Buku “30 Tahun Indonesia Merdeka” 1945 – 1949, 1981: 56), sebagai berikut:
1)      Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia), 7 November 1945;
2)      PKI (Partai Komunis Indonesia), 7 November 1945;
3)      PBI (Partai Buruh Indonesia), 8 November 1945;
4)      Partai Rakyat Jelata, 8 November 1945;
5)      Parkindo (Partai Kristen Indonesia), 10 November 1945;
6)      PSI (Partai Sosialis Indonesia), 10 November 1945;
7)      PRS (Partai Rakyat Sosialis), 20 November 1945;
8)      PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia), Desember 1945;
9)      Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), 17 Desember 1945;
10)   PNI (Partai Nasional Indonesia), 29 Januari 1946.
Parpol-parpol yang muncul berkat keluarnya Maklumat Pemerintah tersebut pada mulanya memang ikut berjasa dalam mengorganisasi rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, akan tetapi kemudian menunjukkan kecenderungan kehidupan politik yang tidak sehat, karena parpol-parpol tersebut nampaknya melupakan atau tidak memperhatikan restriksi yang telah ditentukan oleh Maklumat yaitu “memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat”. Kehidupan kepartaian yang tidak sehat tersebut terjadi sebelum, pada saat, dan sesudah pemilihan umum (Pemilu) tahun 1955, karena parpol-parpol telah terjebak dalam pertentangan ideologi atau pemikiran politik yang tajam, yang oleh Feith dan Castles (1988: xxv) dibedakan dalam lima aliran, yakni: Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis, dan Komunisme.
Oleh karena kehidupan politik yang kitan tidak sehat dari parpol-parpol tersebut yang berupa pertentangan ideologi yang tajam, menyebabkan parpol-parpol tidak mampu menunaikan fungsinya dengan baik, terbukti dari kegagalan parpol untuk:
a)   Menciptakan suatu pemerintahan yang kuat dan stabil yang mampu menyusun dan melaksanakan program-program pembangunan untuk mengisi kemerdekaan, dikarenakan Pemilu 1955 tidak menghasilkan parpol mayoritas mutlak di DPR;
b)   Menyepakati UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950 yang disebabkan kegagalan badan Konstituante Hasil Pemilu 1955 menyusun UUD akibat polarisasi mengenai dasar negara antara yang menghendaki tetap dasar Pancasila dan yang menghendaki dasar negara Islam.
(A. Mukthie Fadjar, 2008: 30)
Dari pelaksanaan Pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 telah menghasilkan, sebagai berikut:
-    Empat parpol besar tetapi tidak ada yang mencapai mayoritas absolut di DPR, yaitu PNI 57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 39 kursi, sedangkan jumlah parpol yang mendapatkan kursi di DPR ada 26 buah (Jumlah kursi DPR adalah 257).
-    Sedangkan untuk 520 kursi Konstituante, perolehan kursi empat besar adalah PNI 119 kursi, Masyumi 112 kursi, NU 91 kursi, dan PKI 80 kursi.
Berdasarkan Daftar Parpol di Era Demokrasi Liberal-Parlementer, khususnya yang ikut Pemilu 1955 (A. Mukthie Fadjar. 2008: Lampiran 1).

b.  Parpol di Era Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin adalah era sistem ketatanegaraan dan politik sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga 11 Maret 1966 (saat keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, yaitu berupa penyerahan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto yang masih penuh misteri dan kontroversial).
Masa kebebasan dan kejayaan parpol di era Demokrasi Liberal Parlementer berakhir dengan munculnya era Demokrasi Terpimpin sebagai tindak lanjut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan pertimbangan “berhubung keadaan ketatanegaraan di Indonesia, yang menyebabkan dikeluarkannya Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959 dan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, perlu diadakan peraturan tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian”. Peraturan tersebut diberi bentuk yuridis Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 1959 (Penpres No. 7 Tahun 1959).
Diktum pertama Penpres No. 7 Tahun 1959 tersebut menyatakan “Mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945” yang dalam Penjelasan Umum Penpres tersebut dikemukakan bahwa Maklumat yang menganjurkan berdirinya Partai-partai dengan tidak terbatas, ternyata tidak berhasil mencapai stabilitet politik yang mencapai puncaknya pada waktu Konstituante membicarakan Amanat Presiden 22 April 1959 yang menganjurkan kembali ke UUD 1945. Sedangkan diktum keduanya menetapkan Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.
Untuk melaksanakan Penpres No. 7 Tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-partai yang kemudian diubah dengan Perpres No. 25 tahun 1960. Berdasarkan instrumen hukum tersebut dapat dikemukakan Pokok-pokok kebijakan hukum bidang kepartaian era Demokrasi Terpimpin, sebagai berikut:
1)   Pengakuan dan Pengawasan Parpol
a)   Pengakuan Parpol (Pasal 1 dan Pasal 4 Perpres No. 13/1960):
(1) Parpol yang sudah ada pada saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 harus menyesuaikan Anggaran Dasar (AD) dan/atau Anggaran Rumah Tangga (ART)-nya dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan paling lambat 31 Desember 1959 (dengan Perpres No. 25 Tahun 1960 diubah menjadi tanggal 28 Februari 1961) melaporkan kepada Presiden;
(2) Pengakuan dan penolakan parpol dilakukan dengan Keputusan Presiden dan disampaikan kepada pimpinan parpol, serta dimuat dalam Berita Negara RI.
b)   Pengawasan Parpol (Pasal 8 Penpres No. 7 Tahun 1959 jo Pasal 5 Perpres No. 13 Tahun 1960):
(1) Dilakukan oleh Presiden dan Presiden dapat memerintahkan untuk memeriksa tata usaha, keuangan, dan kekayaan parpol;
(2) Parpol yang sudah diakui wajib melaporkan setiap 6 bulan sekali kepada Presiden tentang jumah cabang, anggota, dan organisasi-organisasi yang bernaung di bawahnya, serta kekayaan dan masuk/keluarnya keuangan.
2)   Pembubaran dan Pelarangan Parpol
a)   Pembubaran Parpol (Pasal 9 Penpres No. 7 Tahun 1959 jo Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 Perpres No. 13 Tahun 1960):
(1) Institusi yang berwenang melarang dan/atau membubarkan parpol adalah Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung (MA);
(2) Alasan pelarangan dan/atau pembubaran parpol:
(a) Asas dan tujuannya bertentangan dengan asas dan tujuan Negara;
(b) Programnya bermaksud merombak asas dan tujuan Negara;
(c)  Sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu;
(d) Tidak memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Pasal 2 s.d. pasal 7 Penpres No. 7 Tahun 1959.
b)   Mekanisme pelarangan/pembubaran parpol:
(1) Presiden lebih dahulu mendengar pertimbangan MA dengan menyerahkan surat-surat dan lain-lain alat bukti yang menguatkan persangkaan bahwa suatu parpol berada dalam keadaan sebagaimana dimaksudkan Pasal 9 ayat (1) Penpres No. 7 Tahun 1959 (Pasal 6 Penpres No. 13 Tahun 1960);
(2) MA menguji persoalan yang diajukan Presiden secara yuridis dan obyektif dengan mengadakan pemeriksaan secara bebas (Pasal 7 ayat (1) Perpres 13/1960);
(3) Dalam pemeriksaan, MA dapat mendengar keterangan saksi-saksi dan ahli-ahli di bawah sumpah (Pasal 7 ayat 2 Perpres No. 13 Tahun 1960);
(4) Hasil pemeriksaan yang merupakan pendapat MA diberitahukan kepada Presiden (pasal 7 ayat (3) Perpres No. 13 Tahun 1960);
(5) Setelah menerima pertimbangan MA, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan pembubaran suatu parpol yang selekas mungkin diberitahukan kepada pimpinan parpol yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (1) Perpres No. 13/1960);
(6) Dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal berlakukan Keppres tersebut huruf e, pimpinan parpol dimaksud harus menyatakan bahwa partainya bubar dan memberitahukan kepada Presiden seketika itu juga (Pasal 8 ayat (2) Perpres No. 13 tahun 1960);
(7) Apabila tanggal tersebut huruf f lewat tanpa pernyataan bubar partai dimaksud, maka partai tersebut merupakan perkumpulan terlarang (Pasal 8 ayat (3) Perpres No. 13 Tahun 1960);
(8) Sebagai akibat hukum pembubaran/pelarangan suatu parpol, maka anggota parpol yang menjadi anggota MPR, DPR, dan DPRD secara otomatis dianggap berhenti sebagai anggota badan-badan tersebut (Pasal 9 Perpres No. 13 tahun 1960);
Berdasarkan Penpres No. 7 Tahun 1959 juncto Perpres No. 13 Tahun 1960 yang diubah dengan Perpres No. 25 Tahun 1960 di atas, maka pada era Demokrasi Terpimpin ada parpol-parpol yang diakui sah keberadaanya, ada yang ditolak pengakuannya sebagai parpol, dan ada parpol yang dibubarkan, sebagai berikut:
a)   Parpol yang diakui sah keberadaannya: (1) PNI; (2) NU; (3) PKI; (4) Partai Katholik; (5) Partindo; (6) Partai Murba; (7) PSII; dan (8) IPKI (berdasarkan Keppres No. 128 Tahun 1961 tanggal 14 April 1961); serta (9) Parkindo dan (10) Partai Islam Perti (berdasarkan Keppres No. 440 Tahun 1961 tanggal 27 Juli 1961);
b)   Parpol yang ditolak pengakuannya: (1) PSII Abikusno; (2) PRN Bebasa; (3) PRI; dan (4) PRN Djody;
c)   Parpol yang dibubarkan: (1) Partai Masyumi (Keppres No. 200 Tahun 1960) dan PSI (Keppres No. 201 Tahun 1960).

2.   Parpol di Era Demokrasi Orde Baru
Era Orde Baru adalah era pemerintahan pasca timbulnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965, khususnya dengan terjadinya pelimpahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) yang berlangsung hingga tanggal 21 Maret 1998 saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya dan menyerahkan jabatan presiden kepada Wakil Presiden BJ. Habibie yang kemudian dilantik sebagai Presiden. Era Orde Baru juga sering sering dinamakan sebagai era Demokrasi Pancasila, sebab ingin melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuan.
Kehidupan kepartaian era Orde Baru diawali dengan pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dengan Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi No. 1/3/1966 dan kemudian Partindo (1967) karena kedua parpol tersebut dianggap terlibat peristiwa G30S/PKI tahun 1965, sehingga dari 10 parpol warisan Demokrasi Terpimpin tinggal 8 parpol, yakni PNI, NU, PSII, Perti, IPKI, Partai Katholik, Parkindo, dan Partai Murba. Jumlah parpol tersebut kemudian bertambah dengan berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) berdasarkan Keppres No. 70 Tahun 1968 tanggal 20 Februari 1968 yang dimaksudkan untuk mengakomodasi para pengikut eks partai Masyumi dan Golongan Karya yang merupakan penjelmaan Sekretariat Bersama Golkar (namun Golkar walaupun dalam semua hal adalah partai tetapi tak mau disebut parpol). Dengan demikian ada 10 parpol atau Sembilan Parpol + Golkar pada masa awal Orde Baru yang selanjutnya menjadi peserta Pemilu tahun 1971.
Setelah Pemilu 1971, pemerintah mendorong (memaksa) sembilan parpol tersebut untuk melakukan fusi yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, sehingga parpol pada era Orde Baru hanya tiga saja, yaitu:
1)   Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang merupakan fusi partai-partai Islam;
2)   Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari partai-partai nasionalis dan agama non-islam, yaitu PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Partai Murba;
3)   Golongan Karya (Gokar) yang dinyatakan sebagai golongan politik tersendiri dari luar dan tidak mau disebut partai politik, meskipun dipandang dari sudut manapun Golkar tidak ubahnya seperti parpol (vide Boileau, 1983).
Sistem kepartaian Orde Baru sering dinamakan sistem kepartaian yang hegemonik, yaitu sistem kepartaian di mana tingkat kompetisi antara parpol dibuat seminimal mungkin oleh parpol hegemoni (Gaffar dan Amal, 1988. Makalah), Daniel Dhakidae (1999: 13) menyebutkan sebagai sistem partai tunggal (Golkar) dengan dua partai satelit (PPP dan PDI). Sedangkan Maurice Duverger (1981: 40) menyebut sistem partai yang dominan, yaitu apabila suatu partai memperlihatkan dua karakteristik: (a) ia harus mengungguli rival-rivalnya dalam jangka waktu yang cukup panjang, dan (b) ia harus dapat mengidentifikasikan dirinya dengan bangsa sebagai keseluruhan.
a.   Kepartaian Menurut UU Parpol dan Golkar
Instrumen hukum yang dipakai untuk menata kehidupan kepartaian Orde Baru, yakni UU No. 3 tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang diubah dengan UU No. 3 tahun 1985 yang memuat pokok-pokok peraturan sbb.:
1)   Jumlah parpol sudah ditetapkan secara definitif hanya tiga (PPP, PDI dan Golkar [Pasal 1 ayat (1)], sehingga tidak ada ketentuan tentang syarat-syarat dan tata cara pembentukan parpol (baru), juga tidak ada ketentuan tentang pembubaran dan pelarangan parpol;
2)   Berlaku asas tunggal Pancasila bagi parpol dan Golkar (Pasal 2 UU No. 3 tahun 1985), sebelumnya berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 3 tahun 1975 masih dimungkinkan adanya asas/ciri khusus di samping Pancasila;
3)   Parpol dan Golkar mempunyai kedudukan, fungsi, hak dan kewajiban yang sama dan sederajat (Pasal 1 ayat (2) UU Partpol dan Golkar);
4)   Tujuan Parpol (dan Golkar) dan cara mencapainya (Pasal 3 UU No. 3/1975):
a)   Mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimaan dimaksud dalam UUD 1945;
b)   Menciptakan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI;
c)   Mengembangkan kehidupan Demokrasi Pancasila.
Cara memperjuangkan tercapainya tujuan melalui program-program dengan jiwa/semangat kekeluargaan, musyawarah dan gotong royong.
5)   Fungsi Parpol dan Golkar (Pasal 5 UU Parpol dan Golkar):
a)   Menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat secara sehat dan mewujudkan hak politik rakyat;
b)   Membina anggota menjadi WNI yang bermoral Pancasila dan setia terhadap UUD 1945;
c)   Wadah untuk mendidik kesadaran politik rakyat.
6)   Hak dan Kewajiban Parpol dan Golkar (Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 3/1975):
a)   Hak Parpol dan Golkar: (i) mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan NKRI; (ii) ikut serta dalam pemilu;
b)   Kewajiban Parpol dan Golkar: (i) melaksanakan, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila dan UUD 1945; (ii) mempertahankan dan mengisi kemerdekaan NKRI; (iii) mengamankan dan melaksanakan GBHN dan Ketetapan MPR lainnya; (iv) memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta stabilitas nasional yang tertib dan dinamis; (v) turut memelihara persahabatan antara RI dengan negara lain; dan (vi) ikut mensukseskan pelaksanaan Pemilu.
7)   Keanggotaan Parpol dan Golkar (Pasal 8 UU Parpol Golkar): a) telah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin; b) dapat membaca dan menulis; c) sanggup aktif dalam kegiatan Parpol dan Golkar; d) PNS dapat menjadi anggota Parpol dan Golkar dengan sepengetahuan atau ijin atasan.
8)   Kepengurusan Parpol dan Golkar (Pasal 10 UU Parpol dan Golkar): hanya sampai Daerah Tingkat II. Di tingkat kecamatan dapat dibentuk komisaris, tetapi tidak termasuk kepengurusan.
9)   Keuangan Partai dan Golkar (Pasal 11): a) iuran anggota; b) sumbangan yang tidak mengikat; c) usaha yang sah; d) bantuan dari Negara.
10) Larangan dan Pengawasan (Pasal 12 s.d. Pasal 14):
a)   Larangan bagi Parpol dan Golkar (Pasal 12: (i) menganut, mengembangkan dan menyebarkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta faham atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya; (ii) menerima bantuan dari fihak asing; dan (iii) memeberikan bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara;
b)   Pengawasan Parpol dan Golkar (Pasal 13 dan Pasal 14): (i) pengawasan dilakukan oleh Presiden (pasal 13); (ii) Presiden dapat membekukan Pengurus Tingkat Pusat Parpol dan Golkar setelah mendengar Pengurus yang bersangkutan dan pertimbangan MA.

b.  Parpol di Luar Sistem Orde Baru
Meskipun format politik Orde Baru telah membatasi jumlah parpol yang mempunyai hak hidup, yaitu hanya dipatok tiga saja, PPP, PDI dan Golkar, tetapi muncul juga perlawanan yang memunculkan parpol di luar sistem Orde Baru, yakni munculnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati Soekarnoputri yang merupakan dari PDI sebagai akibat kekacauan Kongres PDI di Surabaya dan dilanjutkan di Medan. Selain itu juga muncul Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) pimpinan Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sujatmiko, dua partai yang meskipun tidak diakui negara, tetapi secara terang-terangan menentang Orde Baru.
PDIP, PUDI dan PRD yang tidak diakui Pemerintah Orde Baru kemudian menjadi parpol setelah Pemilu 1999 setelah menyesuaikan dengan UU NO. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik. Bahkan PDIP menjadi pemenang Pemilu 1999 dengan perolehan 154 kursi dari jumlah kursi DPR sebanyak 500 kursi, sedangkan PUDI dan PRD tidak memperoleh kursi di DPR.
Runtuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998 berakibat runtuh pula format politik di bidang kepartaian dengan “sistem tiga partai” yang salah satunya menjadi partai hegemonik, sedangkan dua partai lainnya menjadi partai punokawan. Suatu era baru kepartaian yang demokratis muncul bersama era reformasi.

3.   Parpol di Era Reformasi
Era Reformasi adalah era kehidupan ketatanegaraan dan politik sesuah berakhirnya era Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998 yang ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan RI dan digantikan oleh BJ. Habibie. Era reformasi juga sering disebut era pasca Orde Baru.
Dalam Era Reformasi, hingga saat ini (2007) pernah diberlakukan dua undang-undang yang mengatur parpol, yakni UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik yang berlaku dari tanggal 1 Februari 1999 sampai tanggal 26 Desember 2002 dan UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 2002, kemudian pada tanggal 6 Desember 2007 DPR menyepakati UU Parpol yang baru pengganti UU Parpol 2002. Selain itu, juga muncul Parpol Lokal setelah lahirnya UU Pemerintah Aceh.
a.   Parpol menurut UU No. 2 Tahun 1999.
Munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998 yang meruntuhkan Orde Baru juga berakibat runtuhnya sistem kepartaian Orde Baru. UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 1985 telah menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan kepartaian di Indonesia.
Pasal 17 UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik berserta penjelasannya telah memuat ketentuan tentang pengertian, institusi yang berwenang, alasan, dan mekanisme pembubaran parpol sbb.:
a)  Pengertian pembubaran parpol:
Yang dimaksud dengan membubarkan parpol adalah mencabut hak hidup dan keberadaan parpol di seluruh wilayah Republik Indonesia (Penjelasan Pasal 17 ayat 2).
b)  Institusi yang berwenang membubarkan parpol: Mahakamah Agung (Pasal 17 ayat 2).
c)   Alasan pembubaran parpol:
Apabila nyata-nyata melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 (Syarat-syarat pembentukan Parpol), Pasal 5 (Tujuan Parpol), Pasal 9 (Kewajiban Parpol), dan Pasal 16 (larangan bagi parpol dalam rangka pengawasan) UU No. 2 Tahun 1999 yang pada pokok berisi ketentuan sbb.:
-     Pasal 2: (i) syarat minimal pendirinya 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun (ayat 1); (ii) mencantumkan Pancasila dalam Anggaran Dasar parpol (ayat 2 huruf a); (iii) asas/ciri, aspirasi, dan program parpol tidak bertentangan dengan Pancasila (ayat 2 huruf b); (iv) keanggotaan bersifat terbuka untuk setiap WNI yang telah mempunyai hak pilih (ayat 2 huruf c); dan (v) tak boleh menggunakan nama, lambang, atau bendera negara asing, bendera NKRI, gambar perorangan, dan/atau lambang partai lain yang telah ada (ayat 2 huruf d).
-     Pasal 3: tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional.
-     Pasal 5: mengenai tujuan parpol, secara umum harus mewujudkan cita-cita nasional yang termuat dalam Pembuakaan UUD 1945, mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat NKRI secara khusus memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam seluruh aspek kehidupan.
-     Pasal 9 (mengenai kewajiban Parpol): memegang teguh dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945, mempertahankan keutuhan NKRI, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mensukseskan pembangunan nasional dan Pemilu yang demokratis, luber dan jurdil.
-     Pasal 16 (mengenai larangan-larangan bagi parpol), yakni tidak boleh: (i) menganut, mengembangkan ajaran/faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila; (ii) menerima sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apapun, baik langsung atau tak langsung; (iii) memberi sumbangan dan/atau bantuan dallam bentuk apapun kepada pihak asing, langsung atau tak langsung yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara; dan (iv) melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah RI dalam memelihara persahabatan dengan negara lain.
d)  Mekanisme pembubaran Parpol oleh Mahkamah Agung (Pasal 17):
-     MA lebih dahulu memberikan peringatan secara tertulis kepada parpol yang bersangkutan selama tiga kali berturut-turut dalam waktu tiga bulan sebelum proses peradilan [Penjelasan ayat (3)];
-     Dalam proses peradilan, MA lebih dahulu mendengar dan mempertimbangkan keterangan dari Pengurus Parpol a quo (ayat 3);
-     Pelaksanaan pembekuan atau pembubaran parpol dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan memperoleh kekuatan hukum tetap dan diumumkan dalam Berita Negara oleh Menteri Kehakiman (ayat 4).

b.  Parpol menurut UU No. 31 Tahun 2002
Perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali (1999 – 2002) yang telah mengubah secara signifikan dan fundamental sistem ketatanegaraan Indonesia mengharuskan dilakukannya perubahan undang-undang di bidang, yakni UU Parpol, UU Pemilu dan UU Susduk.
Salah satunya UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik (disingkat UU Parpol 2002) telah mengatur tentang syarat-syarat pembentukan, larangan, pembubaran dan penggabungan, pengawasan dan sanksi terhadap Parpol yang intinya sbb.:
1)   Syarat-syarat pembentukan Parpol:
a)   Syarat-syarat formal (Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Parpol 2002):
-     Didirikan dan dibentuk oleh minimal 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris;
-     Akta notaris dimaksud harus memuat anggaran dasar (AD), anggaran rumah tangga (ART), dan kepengurusan tingkat nasional parpol;
-     Kepengurusan parpol tingkat nasional berkedudukan di Ibukota Negara (dapat berkantor pusat di DKI, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang dan Kota Bekasi);
-     Didaftarkan pada Departemen Kehakiman;
-     Menteri Kehakiman mensahkan parpol yang memenuhi syarat sebagai badan hukum paling lambat 30 hari sejak penerimaan pendaftaran dan mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (pasal 3).
b)   Syarat substansial:
-     Asas parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 dan dapat mencantumkan ciri tertentu yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta undang-undang (pasal 5);
-     Tujuan Parpol yang meliputi tujuan umum (mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia, mengembangkan kehidupan demokrasi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat) dan tujuan khusus parpol diwujudkan secara konstitusional (pasal 6);
2)   Larangan bagi Parpol (Pasal 19 UU Parpol 2002):
a)   Penggunaan nama, lambang, dan bendera sebagaimana telah diuraikan dalam syarat formal pembentukan/pendirian Parpol (ayat 1);
b)   Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, membahayakan keutuhan NKRI, dan bertentangan dengan kebijakan Pemerintah dalam memelihara persahabatan dengan negara lain untuk ketertiban dan perdamaian dunia (ayat 2);
c)   Menerima berbagai sumbangan (barang/uang) dari pihak manapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tanpa mencantumkan identitas yang jelas, melebihi batas yang ditetapkan, dari BUMN, BUMD, BUM Desa, koperasi, yayasan, LSM, ormas, dan organisasi kemanusiaan (ayat 3);
d)   Mendirikan badan usaha atau memiliki saham suatu badan usaha (ayat 4);
e)   Menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme (ayat 5).
3)   Pembubaran dan Penggabungan (Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22):
a)   Parpol bubar karena tiga hal, yaitu 1) membubarkan diri, 2) menggabungkan diri dengan parpol lain, dan 3) dibubarkan oleh MKRI (Pasal 20);
b)   Penggabungan parpol dengan parpol lain (Pasal 21) dapat dilakukan dengan membentuk parpol baru dengan nama, lambang, dan tanda gambar baru (harus menyesuaikan syarat-syarat pendirian parpol), atau dengan memakai nama, lambang, dan tanda gambar salah satu parpol (tidak diwajibkan memenuhi syarat-syarat pendirian parpol);
c)   Pembubaran dan penggabungan parpol diumumkan dalam Berita Negara oleh Departemen Kehakiman (Pasal 22).
4)   Pengawasan terhadap Parpol (Pasal 23 s.d. Pasal 25 UU Parpol 2002):
Ada 3 macam pengawasan terhadap Parpol oleh 3 institusi yang berbeda, yaitu:
a)   Pengawasan atas syarat-syarat formal Parpol oleh Departemen Kehakiman;
b)   Pengawasan atas keuangan parpol oleh KPU;
c)   Pengawasan atas larangan-larangan Parpol oleh Departemen Dalam Negeri.
5)   Sanksi terhadap Parpol (Pasal 26 s.d. pasal 28 UU Parpol 2002):
a)   Sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai parpol oleh Departemen Kehakiman atas tidak terpenuhinya syarat formal dan syarat substansial Parpol, dan larangan mengenai nama, lambang, dan tanda gambar;
b)   Sanksi administratif oleh KPU yang berupa teguran dan tidak bisa ikut Pemilu;
c)   Sanksi administratif berupa pembekuan sementara parpol paling lama 1 tahun oleh pengadilan/MA atas pelanggaran tersebut pasal 19 ayat (2);
d)   Sanksi pembubaran parpol oleh MKRI atas pelanggaran terhadap larangan tersebut Pasal 19 ayat (5).
Selain itu, berdasarkan Ketentuan Peralihan (Pasal 29), Parpol yang sudah berstatus sebagai badan hukum menurut UU Parpol 1999 meskipun tetap diakui keberadaannya, tetapi apabila dalam waktu 9 bulan tidak menyesuaikan dengan UU Parpol 2002, akan dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak diakuii keberadaannya sebagai parpol. Tentang daftar jumlah parpol pada masa berlakunya UU Parpol 2002, termasuk parpol yang telah dibatalkan status badan hukumnya (yang berarti praktis parpol itu dibubarkan) (A. Mukthie Fadjar. 2008: Lampiran 1).

4.   Partai Politik Lokal
a.   Tinjauan Umum
Secara umum, partai politik lokal (selanjutnya disingkat Parpol Lokal) adalah parpol yang berbasis atau mengandalkan dukungannya semata-mata pada satu wilayah atau daerah saja dari satu negara. Tujuan parpol lokal ini berbeda-beda, namun pada umumnya dapat dikategorikan dalam tiga macam (Lawrence Sullivan, 2003) sbb.:
a)   Hak Minoritas, parpol lokal bertujuan melindungi dan memajukan hak ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan pendidikan kelompok minoritas tertentu, antara lain parpol lokal di Finlandia, Belgia, Bulgaria, dsb.
b)   Memperoleh Otonomi, parpol lokal menginginkan otonomi atau peningkatan otonomi untuk daerahnya, antara lain parpol lokal di Spanyol (beberapa), India, Sri Lanka, dsb.
c)   Mencapai Kemerdekaan, parpol lokal yang secara eksplisit memperjuangakan kemerdekaan wilayah mereka dan pembentukan negara baru, antara lain parpol loka di Turki (suku Kurdi)), di Skotlandia dan Wales yang merdeka dari Kerajaan Inggris Raya, di Canada (Partai Quebecois). Partai lokal yang bertujuan kemerdekaan bagi wilayahnya merupakan partai lokal separatis, yang di beberapa negara asalkan diperjuangkan secara damai, demokratis, dan konstitusional tidak dilarang, walaupun ada juga yang melarangnya.
Isu tentang parpol lokal di Indonesia muncul setelah ada penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia (The Government of Indonesia, disingkat Goli) dan Gerakan Aceh Merdeka (selanjutnya disebut MoU RI-GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Sebenarnya, pada Pemilu 1955 (untuk memilih Anggota DPR dan memilih anggota Badan Konstituante), Indonesia pernah mengenal beberapa parpol peserta pemilu yang kalau ditilik dari namanya dapat diindikasikan sebagai semacam parpol lokal, atau yang menurut Herbert Feith (1999: 89-90) disebut “Kelompok Kecil yang Bercakupan Daerah”, diantaranya Gerinda – Yogyakarta, Partai Persatuan Daya – Kalimantan Barat, AKUI – Madura, Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM) – Jawa Barat, dsb.
Memang masih sulit untuk menyatakan bahwa parpol-parpol tersebut dapat dikategorikan sebagai parpol lokal, karena pada waktu itu belum ada pengaturan yang jelas tentang parpol di Indonesia dan keduanya juga mengikuti Pemilu yang bersifat nasional.
Selain itu, dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua juga ada ketentuan tentang hak penduduk Papua untuk membentuk partai politik (Pasal 28 UU Otsus Papua), yang karena Provinsi Papua merupakan daerah otonomi khusus (seperti Aceh), seharusnya parpol tersebut merupakan parpol lokal.

b.  Parpol Lokal di Aceh
Tentang Parpol Lokal di Aceh ini, pokok-pokok pengaturannya dalam UUPA juncto PP Parpol Lokal diantaranya sbb.:
a)   Pembentukan, pendaftaran, dan pengesahan sebagai badan hukum.
      Tata cara pembentukan, pendaftaran, dan pengesahan sebagai badan hukum Parpol Lokal di Aceh adalah sbb.:
1)   Didirikan dan dibentuk oleh minimal 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun dan berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30% (Pasal 75 ayat (2) UUPA);
2)   Didirikan dengan akta notaris yang memuat AD, ART, dan struktur kepengurusan (Pasal 75 ayat (3) UUPA);
3)   Kepengurusan berkedudukan di Ibukota Aceh dan memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30% (Pasal 75 ayat (4) dan ayat (5) UUPA);
4)   Agar dapat didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum, selain memenuhi ketentuan tersebut nomor 1) sampai 3), parpol lokal harus mempunyai:
-  Kepengurusan minimal 50% di kabupaten/kota dan 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan (Pasal 75 ayat (8) UUPA);
-  Nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan lambang negara, lambang lembaga negara, lambang pemerintah, lambang pemerintah daerah, nama, lambang, dan tanda gambar parpol atau parpol lokal lain (Pasal 2 ayat (4) PP No. 20 Tahun 2007);
-  Alamat kantor tetap yang dibuktikan dengan dokumen yang sah (Pasal 2 ayat (2) huruf c dan ayat (6) PP No. 20 Tahun 2007);
5)   Didaftarkan dan disahkan sebagai badan hukum oleh kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM di Aceh melalui pelimpahan kewenangan dari Menteri yang berwenang (Pasal 76 ayat (1) UUPA) setelah dilakukan verifikasi paling lama 30 hari.
6)   Pengesahan parpol loka sebagai badan hukum diumumkan dalam Berita Negara (Pasal 76 ayat (2) UUPA);
7)   Perubahan AD, ART, lambang, tanda gambar, dan kepengurusan parpol lokal didaftarkan di Kanwil Dephukham Aceh dan Keputusan tentang hal itu dimuat dalam Berita Negara RI.
b)   Larangan (Pasal 82) dan Sanksi (Pasal 88):
      Parpol lokal dilarang dengan ancaman sanksi-sanksi sbb.:
1)   Menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan (i) bendera atau lambang negara RI; (ii) lambang lembaga negara/pemerintah; (iii) lambang daerah Aceh; (iv) nama, bendera, atau lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; (v) nama dan gambar seseorang; atau (vi) yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan parpol atau parpol lain. Sanksinya menurut Pasal 87 ayat (1) UUPA adalah sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran parpol lokal a quo.
2)   Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lain, serta membahayakan keutuhan NKRI. Sanksinya menurut Pasal 87 ayat (2) UUPA adalah sanksi administratif berupa pembekuan sementara paling lama satu tahun oleh pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan parpol lokal.
3)   Menerima atau memberikan sumbangan: (i) kepada pihak asing dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (ii) barang atau uang dari pihak mana pun tanpa mencantumkan indentitas yang jelas; (iii) dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; (iv) dana dari BUMN, BUMD, BUMDesa, atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, LSM, ormas, dan organisasi kemanusiaan. Sanksinya menurut Pasal 87 ayat (3) UUPA adalah sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh KIP Aceh.
4)   Mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Sanksinya menurut Pasal 87 ayat (4) UUPA adalah sanksii administratif berupa larangan mengikuti pemilu berikutnya oleh pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan parpol lokal.
5)   Menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme dan marxisme-leninisme. Sanksinya menurut Pasal 86 ayat (3) huruf c juncto Pasal 88 ayat (1) parpol lokall a quo dapat dibubarkan oleh MK. Parpol lokal yang dibekukan apabila melanggar lagi juga dapat dibubarkan (Pasal 88 ayat (20 UUPA).
c)   Penggabungan dan Pembubaran Parpol Lokal.
      Mekanisme penggabungan dan pembubaran parpol lokal diatur dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 15 PP Parpol Lokal sbb.:
1)   Dilakukan dengan akta notaris;
2)   Diberitahukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di Aceh;
3)   Dilakukan secara tertulis dengan menyertakan a) akta notaris keputusan pembubaran yang dilakukan secara suka rela; b) akta notaris yang memuat keputusan penggabungan diri dengan parpol lokal lainnya; c) putusan Mahkamah Konstitusi apabila parpol lokal dibubarkan oleh MK.
Apabila parpol lokal dibubarkan oleh MK, maka berlaku mekanisme pembubaran parpol yang diatur dalam Pasal 68 sampai Pasal 73 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Karena pengaturan mengenai pembubaran parpol dalam UUMK masih sangat sumir atau belum lengkap, maka MK dalam melengkapinya dengan peraturan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 86 UUMK.
BAB IV
PENUTUP
(KESIMPULAN DAN SARAN)

1.   Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem dan kehidupan kepartaian di Indonesia semenjak Kemerdekaan hingga kini mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan politik dan ketatanegaraan sbb.:
a.   Sistem kepartaian: sistem multipartai tak terbatas (1945-1959), sistem multi-partai terbatas (1959-1973), sistem multipartai sangat terbatas (1975-1999), sistem muultipartai tak terbatas (1999-2002), dan sistem multipartai sederhana (2002-sekarang/2008).
b.   Upaya penyederhanaan dan pembatasan parpol dilakukan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 melalui tiga model rekayasa politik (political engineering) yaitu (Dhakidae, 2004: 6):
-     Political engineering by legal process
-     Political engineering by beurocratic/administrative process
-     Political engineering by electoral process.
c.   Mekanisme pembubaran parpol juga berkembang dari pembubaran oleh Presiden (era Demokrasi Terpimpin, awal Orba) ke pembubaran lewat proses hukum di pengadilan, yakni oleh MA (UU Parpol 1999) dan oleh MK (UU Parpol 2002 dan UU Parpol 2008).
d.   Perkembangan parpol di Indonesia juga ditandai dengan munculnya parpol lokal, meskipun masih  terbatas di Aceh, namun tidak menutup kemungkinan bahwa parpol lokal juga akan muncul di daerah lain, khususnya daerah-daerah yang mendapatkan status otonomi khusus.
e.   Parpol menduduki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah Perubahan UUD 1945, yaitu parpol menjadi semacam “embarkasi” atau “kendaraan” untuk menduduki jabatan-jabatan publik, khusunya pada lembaga perwakilan dari pusat dan daerah, serta jabatan eksekutif yakni Presiden dan Wakil Presiden, dan kepada daerah/wakil kepala daerah.

2.   Saran
Regulasi parpol di Era Reformasi serta reformasi kehidupan kepartaian di Indonesia dapat mengalami kegagalan, apabila tidak mampu melepaskan diri dari, baik perangkap paradigma Orde Lama, maupun paradigma Orde Baru, sehingga Perubahan UUD 1945 tidak berdampak signifikan. Oleh sebab itu, Parpol di Era Reformasi harus terus berproses untuk mencari paradigma, formula, dan format yang tepat untuk menangkap makna reformasi, yakni demokratisasi dan penghormatan hak asasi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

1.   Buku
Fadjar, A. Mukthie. 2008. Partai Politik dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia. In-TRANS Publising. Malang.
Amal, Ichlasul. Editor. 1998. Teori-teori Mutakhir Partai Politik. PT Tiara Wacana Yogya.
Boileau, M. Julian, 1983. Golkar : Functional Group Politics in Indonesia. CSIS. Jakarta
Budiardjo, Miriam. Penyunting. 1981. Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah Bunga Rampai. PT. Gramedia. Jakarta.
Dhakidae, Daniel. 1999. Partai-partai Politik di Indonesia. Litbang Kompas.
Herbert Feith dan Lance Castles. Editor. 1988, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. LP3ES. Jakarta.
Lawrence Sullivan, 2003. Partai Politik Lokal. Makalah. UNCEN. Jayapura.
2.   Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945.
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3.   Bahan Perkuliahan
Hamka. 2015. Slide Perkuliahan. Pengantar Ilmu Politik. STIA LAN. Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)