Selasa, 19 Mei 2015

Pengantar Antropologi - Dimensi/Pengaruh Sosiokultural dalam Pembangunan

Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys, hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal pahalanya, Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Pengaruh Sosiokultural dalam Pembangunan, kayaknya ini perlu kita perhatikan dalam pembangunan karena dampaknya besar guys. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka sendiri pada Jumat, 28 November 2014.

Semoga dapat membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^




TUGAS PAPER
PENGANTAR ANTROPOLOGI

DIMENSI SOSIOKULTURAL DALAM PEMBANGUNAN






Oleh:
Yogi Sudirman




SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
JAKARTA TAHUN 2014





DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................... 2
ABSTRAK........................................................................................ 3           
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................... 4
1.1. Pengantar...................................................................................... 4

BAB II. PEMBAHASAN..................................................................... 5
2.1. Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik di Malaysia........... 5
2.2. Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik di Malaysia........... 8
2.3. Persebaran Teknologi Tepat Guna............................................... 9
2.4. Ketegangan Sosial di Cilegon....................................................... 11

BAB III. PENUTUP.......................................................................... 12
3.1. Kesimpulan.................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 13






ABSTRAK

Pembahasan ini mulanya merupakan bahan kuliah untuk Peserta TMPD di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan mahasiswa Pascasarjana Program Antropologi, Universitas Indonesia, tahun 1993. Kemudian diterbitkan dalam jurnal Bisnis dan Birokrasi, No. 3 Vol. IV, September 1994. Dimensi atau faktor sosial-kultural dalam pembangunan ekonomi adalah sebuah konsep yang sudah cukup tua, hampir setua ilmu pembangunan ekonomi. Bert F. Hoselitz, seorang ahli ekonomi pembangunan dari University of Chicago, menyebut faktor ini dengan istilah “Non-economic Barriers to Economic Development” (1952). Sedangkan ahli-ahli ilmu sosial dan ekonomi Indonesia menyebutnya sebagai “faktor sosialk-budaya” atau “faktor non-ekonomi” (Sual 1972; Mangkusuwondo 1972). Dalam bab ini Amri Marzali berusaha untuk menjelaskan arti dari konsep di atas dengan cara merujuknya kepada contoh-contoh kajian yang konkret yang pernah beliau lakukan. Dengan contoh konkret berdasarkan pengalaman sendiri, uraian tentang konsep tersebut diharapkan dapat lebih hidup dan jelas.






BAB I
PENDAHULUAN


1.1   Pengantar
Konsep “pembangunan” pada mulanya dan pada dasarnya diacukan kepada pengertian pembangunan ekonomi. Dari sudut ilmu ekonomi, “pembangunan” berarti suatu proses di mana real per capita income dari suatu negara meningkat dalam suatu masa panjang dan dalam masa yang bersamaan jumlah penduduk yang “di bawah garis kemiskinan” tidak bertambah dan distribusi pendapatan tidak makin senjang (Meier 1989). Dari sudut ilmu-ilmu sosial, “pembangunan” sering kali diartikan sangat umum, yaitu “perubahan sosiokultural yang direncanakan” (Arensberg dan Niehoff 1964).
Secara garis besar usaha pembangunan ini mengandung beberapa peringkat pengambilan keputusan yaitu; penentuan tujuan pembangunan, pemilihan strategi pembangunan dan pelaksanaan pembangunan. Dalam setiap peringkat pengambilan keputusan di atas dipercayai adanya keterlibatan faktor-faktor sosiokultural. Namun demikian, sampai kini masih banyak saja sarjana-sarjana sosial di Indonesia yang kurang memahami secara nyata hal yang dimaksud dengan faktor-faktor sosiokultural dalam pembangunan, meski hal ini telah dibicarakan dalam berbagai forum. Makah ini tidaklah bertujuan untuk memberi kuliah tentang faktor sosiokultural dalam pembangunan, tapi bertujuan untuk memperkenalkan konsep tersebut melalui presentasi beberapa kasus nyata yang penulisnya pernah terlibat atau mengalaminya.






BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik di Malaysia
Pada point ini menceritakan satu kasus tentang bagaimana teori ekonomi yang berorientasif pertumbuhan telah dilaksanakan oleh sebuah negara, yang ternyata menghasilkan satu bencana sosial, yaitu peristiwa kerusuhan rasial 13 Mei 1969 di Malaysia. Dalam kasusu ini terlihat bagaimana faktor sosiokultural memainkan peranannya dalam menyandung pembangunan negara tersebut dan bagaimana negara itu terpaksa harus merevisi model pembangunannya.
Rancangan Malaysia Kedua (1971-1975) atau Repelita Kedua Malaysia, dalam hal ini Malaysia merombak prioritas tujuan pembangunan dari pertumbuhan ke pemerataan. Bahkan dalam tujuan pembangunan ini asas pembasmian kemiskinan saja tidak cukup, pengurangi dan seterusnya menghapus kemiskinan, harus dilaksanakan melalui peningkatan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja bagi semua rakyat Malaysia. Butir penting dalam tujuan ini adalah membangun susunan masyarakat Malaysia yang baru di mana ketidakseimbangan ekonomi antara kaum (antar kelompok etnik dan ras) berkurang dan seterusnya menghilang (Malaysia 1971).
Disini terlihat tujuan pembangunan secara tradisional yang dilancarkan Malaysia sebelumnya (Malaysia 1966), yaitu peningkatan pendapatan bersama dengan perluasanm kesempatan kerja, turun derajatnya menjadi strategi untuk menghapus kemiskinan. Sementara itu tujuan kedua yaitu pembangunan struktur masyarakat Malaysia yang baru, yaitu kedudukan ekonomi antar kaum menjadi lebih seimbang. Kedua tujuan utama pembangunan ini adalah hasil dari Dasar Ekonomi Baru yang diciptakan pada tahun 1970, sebagai akibat langsung dari peristiwa kerusuhan parsial 13 Mei 1969. Faktor sosiokultural yang berdiri dibelakang kelahiran Dasar Ekonomi Baru ini adalah ketidakseimbangan kemakmuran ekonomi antara kaum, khusunya antara orang Malaysia keturunan Cina dan India yang pada umumnya lebih kaya dari pribumi Melayu. Situasi ini pada gilirannya telah melahirkan peristiwa kerusuhan perkauman Mei 1969.
Untuk melihat bagaimana perkauman ini memainkan peranan dalam institusi dan perilaku ekonomis sampai tahun 1970, dilihat struktur kependudukan dari masing-masing kaum, sebagai berikut:
a.       Penduduk Semenanjung Malaysia menurut Golongan Etnik
Disini terlihat bahwa Malaysia (khususnya Semenanjung Malaysia) dihuni oleh 3 golongan besar masyarakat, yaitu kaum Melayu, Cina dan India, dengan jumlah orang Melayu hampir seimbang dengan non-pribumi (Cina dan India).
Situasi perkauman ini berfungsi dalam segregasi soial. Masing-masing kaum cenderung menetap di perkampungan sendiri, sehingga tingkat hubungan sosial antar kaum sangat rendah. Secara umum di angregat angka stratistik, Orang Cina cenderung menetap di perkotaan, Orang Melayu di pedesaan dan Orang India di pemukiman-pemukiman perkebunan. (Ratnam 1969: 10; Arasaratnam 1970: 41).
b.      Penduduk Malaysia menurut Golongan Etnik dan Desa-Kota (1970)
               Disini terlihat bahwa dari 100 persen Orang Melayu, hanya 15 persen yang tinggal di daerah perkotaan, sisanya 85 persen tinggal di daerah pedesaan. Sebaliknya dari 100 persen Orang Cina, 46.3 persen tinggal di daerah perkotaan dan sisa 53.7 persen tinggal di daerah pedesaan.
c.       Penduduk Malaysia menurut Golongan Etnik di Kawasan Desa dan Kota (1970)
Disini terlihat bahwa dari 100 persen penduduk daerah perkotaan, 26.4 persen adalah Orang Melayu, 59 persen adalah Orang Cina dan 11.7 persen adalah Orang India.
d.      Tenaga Kerja Berpengalaman di Semenanjung Malaysia menurut Golongan Etnik dan Sektor Kerja, 1970 (%)
Segregasi tempat tinggal di atas disebabkan oleh perbedaan pola pekerjaan antar kaum. Orang Cinta bergerak secara dominan dalam sektor pertambangan, manufaktur, bangunan, perdagangan. Orang India sebagian besar bekerja dalam sektor buruh perkebunan dan listrik, gas dan ledeng. Akibat dari segregasi sosial ini, baik dalam aspek tempat tinggal maupun pekerjaan, maka komunikasi antar kaum adalah jarang. Anggota setiap kaum bergaul di kalangan sendiri, karena itu mereka lebih pasih berbahasa sendiri dan lebih mengenal adat sendiri. Sampai 1970 banyak kaum non-Melayu yang tidak bisa bercakap dalam bahasa nasional (bahasa Melayu) dalam berkomunikasi formal.
e.      Murid Sekolah Berbahasa Inggris di Semenanjung Melayu menurut Golongan Etnik (1924)
Keterkaitan terhadap bahasa kaum diperkuat oleh sistem pendidikan yang tidak seragam berdasarkan sistem vernacular (Cheng 1973). Masing-masing kaum  terdidik dalam sekolah yang menggunakan bahasa pengantar masing-masing kaum. Satu-satunya sekolah nasional di luar jalur perkauman sampai 1967 adalah Sekolah Inggris, yang berlokasi di daerah perkotaan, dan karena itu lebih ramai dimasuki oleh anak-anak Cina.
f.        Mahasiswa Universitas Malaya menurut Kaum dan Fakultas (1959-1971)
Selanjutnya, pendidikan tinggi tingkat universitas dijalankan dalam bahasa Inggris, dan karena itu juga lebih ramai dimasuki oleh anak-anak Cina yang sebelumnya memang sudah terdidik pada sekolah menengah berbahasa Inggris. Sampai 1970 Sekolah Inggris ini penting untuk pencapaian pendidikan dan lowongan pekerjaan bergaji tinggi. Akibat selanjutnya adalah bahwa tingkat pendidikan anak-anak Melayu relatif lebih rendah dari non-Melayu yang pada gilirannya memberikan kesukaran bagi mereka untuk memperoleh jabatan yang tinggi di perkantoran.
g.       Distribusi Jumlah Keluarga menurut Pendapatan Per Bulan di Semenanjung Malaysia, 1970 dan Pemilikan Saham pada Perusahaan Swasta di Malaysia Barat.
Selanjutnya dalam bidang keagamaan setiap kaum terpecah lagi makin jauh; Orang Melayu beragama Islam, Orang India beragama Hindu dan Orang Cina Konfusius. Begitu juga dalam memperjuangkan nasib secara politis setiap kaum bergerak dalam organisasi politis yang ekslusif; MIC (Malaysian Indian Congress) untuk orang India, MCA (Malaysian Chinese Association) untuk orang Cina dan UMNO (United Malayan National Organization) dan PAS (Partai Islam Semalaya). Pada dasawarsa 1960-an sejumlah partai politik makin berkembang, namun sifat eksklusif per;kauman tetap bertahan dalam dunia perpolitikan (Goh 1971; Vasil 1972).
Akibat yang paling berpengaruh dari struktur sosial masyarakat Malaysia yang plural ini adalah dalam bidang pendapatan di mana ketertinggalan Orang Melayu cukup mencolok. Ketertinggalan dalam bidang ekonomi ini juga tercermindalam komposisi pemilikan saham dalam perusahaan swasta modern.
Hubungan perkauman antara warga negara pribumi Melayu dan warga negara keturunan asing Cina dan India di Malaysia adalah hasil dari penjajahan Orang Eropa, khususnya Inggris. Penjajah Inggris telah menciptakan situasi yang kondusif, bahkan boleh dikatakan telah menggalakkan kedatangan migran Cina dan India ke wilayah Malaysia, tanpa memikirkan dampak sosial bagi penduduk setempat. Salah satu dari berbagai dampak sosial dari kemasukan migran asing Asia ini adalah berubahnya susunan masyarakat setempat dari masyarakat homogen menjadi satu “masyarakat majemuk” (Furnivall 1948: 304). Yaitu keadaan Orang Pribumi, migran Cina dan India dan penjajah Eropa hidup bersama dalam suatu daerah, tapi kehidupan mereka tidak menyatu.
Dari gambaran di atas kiranya dapat diperkirakan apa yang akan terjadi bila pembangunan sebuah negara semata-mata ditujukan untuk mendapai pertumbuhan ekonomi. Yang akan mendapat keuntungan lebih dahulu dan lebih besar adalah sektor modern perkotaan (manufaktur dan jasa) dan sektor modern pedesaan (perkebunan besar) yang dikuasai oleh Orang Non-Pribumi. Sementara itu sektor pertanian tradisional yang digeluti oleh Pribumi Melayu tetap tertinggal di belakang. Situasi ketidakseimbangan perolehan hasil pembangunan ini tentu akan menimbulkan rasa tidak puas dikalangan Orang Melayu, meskipun tingkat pencapaian pembangunan ekonomi Malaysia secara umum sangat baik.
Sementara itu diketahui sampai 1970 Malaysia menjalankan sistem politik yang lebih dekat ke demokrasi liberal yang diturunkan dari Inggris, yang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk menyatakan pendapatnya. Akhir nya puncak rasa ketidakpuasan ini pecah juga pada 13 Mei 1969, beberapa hari setelah Pemilu diumumkan, dimana Partai Aliansi (gabungan kaum Melayu, Cina dan India moderat) menderita penurunan suara berat. Dalam peristiwa pertentangan rasial 13 Mei 1969 ini protagonistnya adalah Melayu melawan non-Melayu. Akibatnya negara goncang dan ekonomi mandek.
Sebagai konsekuensinya Malaysia harus menata kembali sistem perekonomian dan perpolitikan mereka. Dalam bidang ekonomi lahir apa yang disebut Dasar Ekonomi Baru, dan dalambidang politik lahir Rukun Negara (Dasar Negara). Demikianlah dapat dilihat bagaimana faktor sosiokultural telah mengubah tujuan dan strategi pembangunan sebuah negara. Kini situasi perkauman selalu menjadi perhitungan serius dalam menyusun tujuan dan strategi Repelita di Malaysia.
2.2   Strategi Pembangunan Cagar Budaya Condet
Kasus kedua adalah mengenai kesalahan dalam menyusun strategi pembangunan, yang pada gilirannya menghasilkan “dilema pembangunan”. Kasus contoh cukup banyak tapi yang dibahas saat ini adalah kasus Proyek Cagar Budaya Condet zaman Ali Sadikin (1966-197). Sampai tahun 1970, Condet yang terletak sekitar 15 km dari pusat kota Jakarta (Monumen Nasional), masih berada di luar daerah perkotaan, meskipun secara administratif berada dalam lingkungan DKI Jakarta. Karena tidak ada jalan aspal, listrik dan berbagai kemudahan perkotaan lain.
Secara sosiologis Condet dapat disebut pada masa itu sebagai daerah pedesaan yang sebagaian besar penduduknya adalah Orang Betawi yang hidup sebagai petani. Situasi yang ambigius ini diakui oleh Pemerintah DKI, bahwa meskipun Jakarta adalah sebuah kota metropolitan namun di pinggir-pinggirnya secara ekologis, ekonomi, maupun sosial, melingkar daerah pedesaan. Tahun 1972 dibawah program Pembangunan Masyarakat Desa, Pemerintah Daerah DKI Jakarta melaksanakan pembangunan jalan raya membelah Condet, membentang dari stasiun bus Cililitan di utara terus ke Cijantung di selatan dengan pembangunan jalan aspal setapak yang bercabang ke berbagai penjuru kampung di Condet. Tujuannya adalah untuk melancarkan pemasaran hasil pertanian, khususnya buah-buahan, dari Condet ke pusat kota Jakarta.
Dengan pembangunan jalan-jalan ini maka Condet menjadi terbuka isolasinya dari pusat kota. Penduduk baru dari pusat kota berbondong-bondong masuk, membeli tanah dan membangun rumah baru di atas bekas tanah kebun buah-buahan, karena harga tanah disana masih relatif murah dibandingkan dengan harga di pusat kota. Hal ini mengejutkan pemerintah DKI, sehingga mereka perlu memberikan perhatian yang khusus untuk daerah Condet ini. Ketika itulah Pemerintah menyadari bahwa lingkungan Condet sedang dalam proses kehancuran karena kedatangan penduduk baru dari pusat kota merusak budaya dan lingkungan alamnya yang awalnya sebuah komuniti yang khas Betawi asli dipenuhi oleh kebuh buah-buahan menjadi berubah. Pemerintah DKI Jakarta merasa sayang bila kawasan asli ini menjadi rusak, karena itu pada tahun 1976 dilancarkan Proyek Cagar Budaya Condet (Jakarta 1978). Tujuan dari proyek ini adalah untuk mele3starikan Condet sebagai sebuah komuniti yang dihuni oleh penduduk asli Betawi, yang hidup secara tradisional sebagai petani buah-buahan. Jadi ini adalah semacam proyek konservasi budaya dan lingkungan alam melalui 6 kegiatan, yaitu:
-          Pembentukan koperasi simpan pinjam
-          Pembangunan jalan raya dan jalan setapak
-          Renovasi rumah tradisional Betawi
-          Penghijauan
-          Penggalakan kegiatan kebudayaan
-          Pembangunan industri kerajinan tangan, kolam ikan dan cara pertanian modern
Hal ini kentara sekali dalam ancaman Gubernur DKI Jakarta, barang siapa yang memotong pohon dukuh dan salah akan disunat oleh Gubernur. Di antara kegiatan-kegiatan tersebut di atas, hanya kelanjutan pembangunan jalan raya dan jalan setapak dan renovasi rumah tradisional yang berjalan dengan baik. Kegiatan-kegiatan lain tidak begitu lancar, baik karena kekurangan biaya maupun kurang sambutan dari masyarakat asli Betawi setempat (Jakarta t.t.).
Dengan makin lancarnya komunikasi antara daerah pusat dengan Condet dan di dalam lingkungan internal Condet sendiri, pendatang baru dari pusat kota makin meningkat. Rumah-rumah baru semakin banyak dibangun di atas bekas kebun buah-buahan. Sementara itu Gubernur Ali Sadikin, yang katanya akan “menyunat” pelanggar, telah pensiun dari jabatannya pada tahun 197. Maka akhirnya Condet tidak dapat lagi bertahan sebagai komunitas asli Betawi yang dipenuhi oleh kebun salak dan dukuh. Condet pada tahun 1982, ketidak diteliti oleh Amri Marzali untuk kedua kalinya, telah berubah menjadi semacam komunitas komuter, tempat bermukim penduduk yang bekerja di pusat kota. Perubahan sosial dan lingkungan alam bersebut telah digambarkan secara lebih rinci dalam tulisan Marzali (1989a).
Apa yang diuraikan di atas, disebut dilema pembangunan, yaitu satu kontradiksi antara harapan dan kenyataan, antara “perubahan yang direncanakan” dengan perubahan yang sesungguhnya terjadi”. Salah satu faktor penting yang bertanggung jawab atas munculnya dilema ini adalah cara Pemerintah DKI Jakarta mengabaikan impak dari hubungan antara sebuah kota yang sedang berkembang seperti Jakarta dengan komunitas-pinggiran (urban fringe). Ini adalah persoalan sosial.
Jadi strategi Pemerintah DKI membangun jalan raya dan jalan setapak yang memudahkan perhubungan Condet dengan pusat kota Jakarta dan perhubungan di dalam lingkungan internal Condet yang bertujuan untuk memudahkan transportasi hasil pertanian Condet ke pusat kota, maka ini berarti bahwa Pemerintah DKI telah salah perkiraan. Pemerintah DKI mengabaikan sifat komunikasi yang dua arah. Dampak yang lebih nyata dan berarti dari pembangunan sarana transportasi ini adalah justru aliran masuk penduduk dari daerah pusat kota Jakarta ke Condet. Akhirnya, Proyek Cagar Budaya Condet gagal mencapai tujuannya.

2.3   Persebaran Teknologi Tepat Guna
Kasus selanjutnya yang dikemukakan oleh Amri Marzali bersama tiga orang mahasiswa Antropologi FISIP-UI mengevaluasi Program Pembangunan dan Penyebaran Teknologi Tepat Guna pada tiga pesantren di Jawa, yaitu An Nuqoyah di Sumenep, Cipasung di Tasikmalaya, dan Darunnajah di Kebayoran Lama pada tahun 1983-84 (Marzali dkk. 1984). Program ini melibatkan LP3ES sebagai koordinator, The Asia Foundation sebagai pemberi dana dan pesantren-pesantren sebagai pelaksana program di daerah. Di antara pesantren-pesantren yang terlibat dalam program ini termasuk An Nuqoyah di Sumenep, Al Asyari di Tebu Ireng, Nurul Jadid di Probolinggo, Maslakul Huda di Pati, Paleban di Magelang, Darunnajah di Kabayoran Lama, Cipasung di Tasikmalaya, Sukorejo di Asembagus, Darussalam di Banyuwangi, Termas di Paiton, Asunniyah di Kencong, Al Ma’hadal Islami di Langitan.
Setelah santri-santri kader dari suatu pesantri yang terlibat dalam program ini diberi pelatihan cara membuat beberapa jenis peralatan yang dikategorikan sebagai teknologi tepat guna oleh klien LP3ES, pesantren tersebut kemudian memilih masyarakat desa ke mana teknologi tersebut akan diperkenalkan atau disebarkan. Jenis teknologi tepat guna yang disebarkan antara lain; tungku lorena, fiber semen, bambu semen, pompa tali, pompa hidram, penjernihan air, pompa kincir angin, biogas, fero semen, kompos, teknik pemanfaatan pekarangan, peternakan ayam dan kelinci, pertanian jjamur merang, penetas telur, penjilidan buku dan alat perontok padi dengan tenaga sepeda. Sebagian dari proyek memperoleh keberhasilan yang memuaskan, seperti teknologi penjernihan air di Cipasung, tapi sebagian lain kurang memenuhi harapan. Kekurang berhasilan terjadi karena beberapa faktor, khususnya yang berhubungan dengan strategi dan pelaksanaan proyek pedesaan.
Salah satu faktor sosial yang bertanggung jawab dalam kekurang berhasilan tersebut adalah cara memilih lokasi persebaran yang tidak memperhitungkan hubungan kota dengan desa. Teknoologi peenetas telur, pertanian jamur merang, peternakan ayam dan penjilidan buku gagal berkembang di desa-desa karena hasil pekerjaan dari teknologi ini memerlukan kota sebagai tempat pemasaran produk. Karena terlalu jauh biaya produksi dan pemasaran menjadi naik karena biaya transportasi. Begitu juga teknologi pompa hidram, fero semen dan bambu semen gagal berkembang karena bahan mentah teknologi hanya dapat diperoleh di kota dan memerlukan mobil untuk mengangkutnya sehingga membuat biaya lebih mahal.
Alat perontok padi yang dijalankan dengan tenaga sepeda yang diperkenalkan santri-santri Pesantren Darunnajah kepada petani Pondok Pinang dan Pondok Kacang di Tangerang sukar diterima. Karena desa-desa tersebut terletak di pinggiran kota, sementara itu perkembangan perumahan real estate di daerah tersebut membuat tanah pertanian makin ciut. Tanah pertanian menjadi kurang subur karena sistem pengairan sudah rusak oleh pembangunan perumahan dan lingkungan sudah terpolusi. Sementara itu harga tanah terus naik, karena permintaan akan fasilitas perumahan dan usaha. Semua ini membuat petani mengalami penurunan semangat kerja dan memilih menjual tanah pertanian untuk beralih ke lapangan pekerjaan yang bersifat perkotaan seperti pedagang kecil. Sehingga teknologi apa pun untuk meningkatkan hasil dan efisiensi pertanian sawah tidak mendapat tanggapan yang positif di daerah tersebut.
Faktor sosiokultural lain yang menghambat perjalanan program ini adalah apa yang disebut sebagai budaya petani peisan, atau the subculture of peasantry (Rogers 1969). Masyarakat desa Indonesia yang sebagian besar adalah petani pesain sudah terbiasa hidup dalam budaya gotong royong, kekeluargaan dan kebersamaan. Di dalam masyarakat yang seperti itu setiap orang berusaha untuk tidak terlalu jauh menyimpang dari pola umum. Seseorang tidak baik untuk terlalu kreatif, berinisiatif, ambisius dalam harta dan pangkat, mendahului dan mengkritik pemimpin dan sebagainya (budaya anti-enrepreneurial). Pola kebudayaan ini sejalan dengan pola kepemimpinan desa (lurah dan kyai) bersifat patrimonial. Semua kegiatan yang menyangkut masyarakat luas harus mendapat lampu hijau dari pemimpin. Hal yang wajar jika semua inisiatif dan perintah datang dari pimpinan. Semenatara itu program pengembangan dan penyebaran teknologi tepat guna hanya dapat berhasil kalau didukung dan disertai oleh para entrepreneur desa. Akibatnya program ini hanya marak pada masa awal saja, yaitu ketika diselenggarakan proyek percontohan, setelah itu rakyat desa kembali ke kehidupan semua dengan menggunakan teknologi tradisional.



2.4   Ketegangan Sosial di Cilegon
Terakhir Amri Marzali ingin mengungkapkan pengalaman beliau bersama trainee LP3ES meneliti masyarakat desa di sekitar pabrik waja PT Krakatau Steel, Cilegon (Marzali 1976). Pabrik waja ini mulai dibangun tahun 1962. Namun akhir zaman pemerintahan Sukarno 1966, bangunan pabrik ini masih terbengkalai, bahkan seperti mau ditinggalkan. Tahun 1970, zaman pemerintahan Suharto, hasil kajian ulang menelurkan keputusan bahwa pabrik waja ini perlu dilanjutkan pembangunannya. Pada tahun 1974, Amri Marzali dan kawan-kawan melakukan penelitian sosial pada masyarakat Cilegon di sekeliling pabrik tersebut. Ketika itu semua bangunan pabrik yang pokok dan mesin-mesin hampir selesai rekonservasinya.
Hasil penelitian survei yang kami lakukan dengan sampel yang terdiri dari kepala rumah tangga, anak sekolah dan pengusaha lokal memperlihatkan bahwa sekitar 80 persen anggota masyarakat setempat menyambut dengan gembira kehadiran pabrik waja ini. Namun penelitian tidak hanya melalui kuestioner saja sebagai dasar untuk menarik kesimpulan. Dilakukan teknik penelitian khas antropologi, yaitu wawancara mendalam dan observasi partisipasi. Sebagian dari anggota peneliti disuruh nongkrong di warung-warung kopi, ngobrol di langgar dan pasar dengan penduduk setempat dan mendatangi pemimpin-pemimpin informal. Hasilnya sungguh mengejutkan, di sini terungkap bahwa sebagian masyarakat Banten, khusunya para pemuda dan ulama, sangat merasa kesal dengan cara pabrik waja PT Krakatau Steel membebaskan tanah penduduk dan mengangkat pegawai. Pembebasan tanah penduduk dilakukan dengan cara yang dipandang seperti setengah memaksa dan menipu. Sementara itu, cara pengangkatan pegawai dipandang seperti mengabaikan kepentingan penduduk setempat, yaitu Orang Banten. Sedangkan kaum ulama mengkhawatirkan efek negatif dari pabrik ini dalam perkembangan pelacuran.
Ketegangan situasi sosial di Cilegon pada waktu itu hanya dapat dirasakan oleh sebagian dari anggota peneliti yang bertugas dengan teknik antropologis. Mereka mendengar langsung ancaman serbuan kelompok tertentu di kalangan penduduk setempat terhadap pabrik tersebut. Meskipun hasil survey kuestioner memperlihatkan fakta bahwa sekitar 80 persen responden menyatakan sikap senang pada pabrik waja ini, proporsi sesungguhnya masih menjadi tanda tanya, karena jawaban terhadap pertanyaan dengan kuestioner sangat mungkin mengandung bias, dalam arti responden “terpaksa” menjawab “senang” karena peneliti adalah mahasiswa dari Jakarta, yang dipandang sebagai wakil pemerintah pusat. Jadi mereka menjawab “tidak senang” ada kekhawatiran jawaban tersebut dapat membahayakan diri mereka. Bias juga mungkin datang dari para peneliti (interviewer) yang pada waktu itu baru pertama kali mendapat pelatihan penelitian sosial, sehingga mereka belum menguasai teknik wawancara dengan baik.
Dengan demikian, dua hal dapat disimpulkan dari pengalaman penelitian ini. Pertama, betapa masih pentingnya faktor solidaritas etnik (faktor kultural) dalam hubungan sosial di negeri kita, dan hal ini perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah jika pembangunan tersebut ingin berjalan lancar. Kedua, betapa pentingnya teknik penetlitian antropologis (wawancara mendalam dan observasi-partisipasi) dalam menggali dimensi kultural dalam pelaksanaan pembangunan.




BAB III
PENUTUP

3.1   KESIMPULAN
Dari 4 kasus peristiwa pembangungan di atas, terlihat faktor sosiokultural memainkan peranan yang sangat berarti. Mengabaikan faktor tersebut dalam berbagai tingkat pembangunan (penentuan tujuan, pilihan strategi dan pelaksaan proyek pembangunan) dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan, mulai dari kerusuhan rasial yang membawa efek kepada kemandegan pembangunan (kasus Malaysia), hasil pembangunan yang bertentangn dengan rencana (kasus Condet), kegagalan-kegagalan proyek (kasus pembangunan dan penyebaran teknologi tepat guna), sampai kepada rasa tidak puas penduduk lokal terhadap proyek yang dibangun di daerah mereka (kasus Cilegon).
Meskipun dalam kehidupan yang nyata, sebagimana yang terlihat dalam kasus-kasus di atas, kedua unsur yaitu struktur sosial dan sistem kultural, sangat erat berkaitan sehingga sukar memilah yang satu dari yang lain, namun dalam pekerjaan analisis masing-masing unsur harus didudukkan pada tempatnya sendiri-sendiri. Ini sesuai dengan anjuran ahli-ahli sosiologi dan antropologi seperti Talcott Parsons, A.L. Kroeber (1958), C. Geertz (1957), Victor Turner, Roger Keesing (1989). Persons melihat pembedaan antar mkedua konsep di atas sebagai suatu yang mutlak tidak dapat dielakkan. Bahwa struktur sosial adalah berbeda dari kultur, namun saling terkait erat satu sama lain dalam kehidupan nyata. Geertz menggambarkan hubungan tersebut sebagai berikut; “Kultur adalah jaringan makna, yang digunakan oleh manusia untuk menafsirkan pengalaman dan untuk menuntun tindakan mereka; sementara itu struktur sosial adalah wujud dari tindakan manusia tersebut, ... yaitu jaringan hubungan sosial. Kultur dan struktur sosial adalah ... abstraksi yang berbeda dari fenomena yang sama” (1957: 33-34).
Turner lebih jauh mengumpamakan hubungan antara kultur dengan struktur sosial seperti hubungan antara partitur musik dengan orkestra. Partitur adalah kultur yang terdiri atas sistem kode yang penuh makna yang berfungsi memandu penampilan pemain-pemain dengan peranan yang berbeda-beda tapi tersusun ke dalam satu sistem yang harmonis, adalah struktur sosial. Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa pandangan di atas mengasumsikan bahwa kultur adalah variabel independen yang memengaruhi struktur sosial; bahwa pola perilaku aktor-aktor sosial dipandu, dipengaruhi, dibentuk atau dicetak oleh kultur. Dalam kasus-kasus yang diuraikan di muka, Amri Marzali mencoba memilah faktor sosial dari faktor kultural secara sederhana. Mengingat termpat yang terbatas dalam karangan ini, beliau tidak menguraikan secara rinci bagaimana faktor sosial berhubungan dengan faktor kultural.






DAFTAR PUSTAKA

Marzali, Amri. 2005. ANTROPOLOGI DAN PEMBANGUNAN INDONESIA. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)