Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim....
Welcome guys,
hari ini mau berbagi Ilmu Pengetahuan lagi nih. Semoga dengan berbagi Ilmu yang
bermanfaat dapat menjadi Amal Jariah yang tidak terputus amal pahalanya,
Amin... Langsung aja yah, ni ada postingan saya mengenai Pengaruh Sosiokultural
dalam Pembangunan, kayaknya ini perlu kita perhatikan dalam pembangunan karena
dampaknya besar guys. Salah satu hasil Tinjauan Pustaka sendiri pada Jumat, 28
November 2014.
Semoga dapat
membantu serta mohon komentar, kritik dan saran membangunnya. Silahkan dishare
ya, biar sama-sama dapat Pahala, Amiiin... Terima kasih ^_^
TUGAS PAPER
PENGANTAR
ANTROPOLOGI
DIMENSI
SOSIOKULTURAL DALAM PEMBANGUNAN
Oleh:
Yogi Sudirman
SEKOLAH
TINGGI ILMU ADMINISTRASI
LEMBAGA
ADMINISTRASI NEGARA
JAKARTA TAHUN
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................... 2
ABSTRAK........................................................................................ 3
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................... 4
1.1. Pengantar...................................................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN..................................................................... 5
2.1. Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik di Malaysia........... 5
2.2. Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik di Malaysia........... 8
2.3. Persebaran Teknologi Tepat Guna............................................... 9
2.4. Ketegangan Sosial di Cilegon....................................................... 11
BAB III. PENUTUP.......................................................................... 12
3.1. Kesimpulan.................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 13
ABSTRAK
Pembahasan ini
mulanya merupakan bahan kuliah untuk Peserta TMPD di Lembaga Penelitian Ekonomi
dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan mahasiswa
Pascasarjana Program Antropologi, Universitas Indonesia, tahun 1993. Kemudian
diterbitkan dalam jurnal Bisnis dan Birokrasi, No. 3 Vol. IV, September 1994.
Dimensi atau faktor sosial-kultural dalam pembangunan ekonomi adalah sebuah konsep
yang sudah cukup tua, hampir setua ilmu pembangunan ekonomi. Bert F. Hoselitz,
seorang ahli ekonomi pembangunan dari University of Chicago, menyebut faktor
ini dengan istilah “Non-economic Barriers to Economic Development” (1952).
Sedangkan ahli-ahli ilmu sosial dan ekonomi Indonesia menyebutnya sebagai
“faktor sosialk-budaya” atau “faktor non-ekonomi” (Sual 1972; Mangkusuwondo
1972). Dalam bab ini Amri Marzali berusaha untuk menjelaskan arti dari konsep
di atas dengan cara merujuknya kepada contoh-contoh kajian yang konkret yang
pernah beliau lakukan. Dengan contoh konkret berdasarkan pengalaman sendiri,
uraian tentang konsep tersebut diharapkan dapat lebih hidup dan jelas.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
Konsep “pembangunan”
pada mulanya dan pada dasarnya diacukan kepada pengertian pembangunan ekonomi.
Dari sudut ilmu ekonomi, “pembangunan” berarti suatu proses di mana real per capita income dari suatu negara
meningkat dalam suatu masa panjang dan dalam masa yang bersamaan jumlah
penduduk yang “di bawah garis kemiskinan” tidak bertambah dan distribusi
pendapatan tidak makin senjang (Meier 1989). Dari sudut ilmu-ilmu sosial,
“pembangunan” sering kali diartikan sangat umum, yaitu “perubahan sosiokultural
yang direncanakan” (Arensberg dan Niehoff 1964).
Secara garis besar
usaha pembangunan ini mengandung beberapa peringkat pengambilan keputusan
yaitu; penentuan tujuan pembangunan, pemilihan strategi pembangunan dan
pelaksanaan pembangunan. Dalam setiap peringkat pengambilan keputusan di atas
dipercayai adanya keterlibatan faktor-faktor sosiokultural. Namun demikian,
sampai kini masih banyak saja sarjana-sarjana sosial di Indonesia yang kurang
memahami secara nyata hal yang dimaksud dengan faktor-faktor sosiokultural
dalam pembangunan, meski hal ini telah dibicarakan dalam berbagai forum. Makah
ini tidaklah bertujuan untuk memberi kuliah tentang faktor sosiokultural dalam
pembangunan, tapi bertujuan untuk memperkenalkan konsep tersebut melalui
presentasi beberapa kasus nyata yang penulisnya pernah terlibat atau
mengalaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pembangunan Ekonomi dan Hubungan Etnik di Malaysia
Pada point ini menceritakan satu kasus
tentang bagaimana teori ekonomi yang berorientasif pertumbuhan telah dilaksanakan
oleh sebuah negara, yang ternyata menghasilkan satu bencana sosial, yaitu
peristiwa kerusuhan rasial 13 Mei 1969 di Malaysia. Dalam kasusu ini terlihat
bagaimana faktor sosiokultural memainkan peranannya dalam menyandung
pembangunan negara tersebut dan bagaimana negara itu terpaksa harus merevisi
model pembangunannya.
Rancangan Malaysia Kedua (1971-1975)
atau Repelita Kedua Malaysia, dalam hal ini Malaysia merombak prioritas tujuan
pembangunan dari pertumbuhan ke pemerataan. Bahkan dalam tujuan pembangunan ini
asas pembasmian kemiskinan saja tidak cukup, pengurangi dan seterusnya
menghapus kemiskinan, harus dilaksanakan melalui peningkatan pendapatan dan
perluasan kesempatan kerja bagi semua rakyat Malaysia. Butir penting dalam
tujuan ini adalah membangun susunan masyarakat Malaysia yang baru di mana
ketidakseimbangan ekonomi antara kaum (antar kelompok etnik dan ras) berkurang
dan seterusnya menghilang (Malaysia 1971).
Disini terlihat tujuan pembangunan
secara tradisional yang dilancarkan Malaysia sebelumnya (Malaysia 1966), yaitu
peningkatan pendapatan bersama dengan perluasanm kesempatan kerja, turun
derajatnya menjadi strategi untuk menghapus kemiskinan. Sementara itu tujuan
kedua yaitu pembangunan struktur masyarakat Malaysia yang baru, yaitu kedudukan
ekonomi antar kaum menjadi lebih seimbang. Kedua tujuan utama pembangunan ini
adalah hasil dari Dasar Ekonomi Baru yang diciptakan pada tahun 1970, sebagai
akibat langsung dari peristiwa kerusuhan parsial 13 Mei 1969. Faktor
sosiokultural yang berdiri dibelakang kelahiran Dasar Ekonomi Baru ini adalah
ketidakseimbangan kemakmuran ekonomi antara kaum, khusunya antara orang
Malaysia keturunan Cina dan India yang pada umumnya lebih kaya dari pribumi Melayu.
Situasi ini pada gilirannya telah melahirkan peristiwa kerusuhan perkauman Mei
1969.
Untuk melihat bagaimana perkauman ini
memainkan peranan dalam institusi dan perilaku ekonomis sampai tahun 1970,
dilihat struktur kependudukan dari masing-masing kaum, sebagai berikut:
a.
Penduduk Semenanjung
Malaysia menurut Golongan Etnik
Disini terlihat bahwa Malaysia
(khususnya Semenanjung Malaysia) dihuni oleh 3 golongan besar masyarakat, yaitu
kaum Melayu, Cina dan India, dengan jumlah orang Melayu hampir seimbang dengan
non-pribumi (Cina dan India).
Situasi perkauman ini berfungsi dalam
segregasi soial. Masing-masing kaum cenderung menetap di perkampungan sendiri,
sehingga tingkat hubungan sosial antar kaum sangat rendah. Secara umum di
angregat angka stratistik, Orang Cina cenderung menetap di perkotaan, Orang
Melayu di pedesaan dan Orang India di pemukiman-pemukiman perkebunan. (Ratnam
1969: 10; Arasaratnam 1970: 41).
b.
Penduduk Malaysia
menurut Golongan Etnik dan Desa-Kota (1970)
Disini terlihat bahwa
dari 100 persen Orang Melayu, hanya 15 persen yang tinggal di daerah perkotaan,
sisanya 85 persen tinggal di daerah pedesaan. Sebaliknya dari 100 persen Orang
Cina, 46.3 persen tinggal di daerah perkotaan dan sisa 53.7 persen tinggal di
daerah pedesaan.
c.
Penduduk Malaysia
menurut Golongan Etnik di Kawasan Desa dan Kota (1970)
Disini terlihat bahwa dari 100 persen
penduduk daerah perkotaan, 26.4 persen adalah Orang Melayu, 59 persen adalah
Orang Cina dan 11.7 persen adalah Orang India.
d.
Tenaga Kerja
Berpengalaman di Semenanjung Malaysia menurut Golongan Etnik dan Sektor Kerja,
1970 (%)
Segregasi tempat tinggal di atas
disebabkan oleh perbedaan pola pekerjaan antar kaum. Orang Cinta bergerak
secara dominan dalam sektor pertambangan, manufaktur, bangunan, perdagangan.
Orang India sebagian besar bekerja dalam sektor buruh perkebunan dan listrik,
gas dan ledeng. Akibat dari segregasi sosial ini, baik dalam aspek tempat
tinggal maupun pekerjaan, maka komunikasi antar kaum adalah jarang. Anggota
setiap kaum bergaul di kalangan sendiri, karena itu mereka lebih pasih berbahasa
sendiri dan lebih mengenal adat sendiri. Sampai 1970 banyak kaum non-Melayu
yang tidak bisa bercakap dalam bahasa nasional (bahasa Melayu) dalam
berkomunikasi formal.
e.
Murid Sekolah
Berbahasa Inggris di Semenanjung Melayu menurut Golongan Etnik (1924)
Keterkaitan terhadap bahasa kaum
diperkuat oleh sistem pendidikan yang tidak seragam berdasarkan sistem vernacular (Cheng 1973). Masing-masing
kaum terdidik dalam sekolah yang
menggunakan bahasa pengantar masing-masing kaum. Satu-satunya sekolah nasional
di luar jalur perkauman sampai 1967 adalah Sekolah Inggris, yang berlokasi di
daerah perkotaan, dan karena itu lebih ramai dimasuki oleh anak-anak Cina.
f.
Mahasiswa
Universitas Malaya menurut Kaum dan Fakultas (1959-1971)
Selanjutnya, pendidikan tinggi tingkat
universitas dijalankan dalam bahasa Inggris, dan karena itu juga lebih ramai
dimasuki oleh anak-anak Cina yang sebelumnya memang sudah terdidik pada sekolah
menengah berbahasa Inggris. Sampai 1970 Sekolah Inggris ini penting untuk
pencapaian pendidikan dan lowongan pekerjaan bergaji tinggi. Akibat selanjutnya
adalah bahwa tingkat pendidikan anak-anak Melayu relatif lebih rendah dari
non-Melayu yang pada gilirannya memberikan kesukaran bagi mereka untuk
memperoleh jabatan yang tinggi di perkantoran.
g.
Distribusi Jumlah
Keluarga menurut Pendapatan Per Bulan di Semenanjung Malaysia, 1970 dan Pemilikan
Saham pada Perusahaan Swasta di Malaysia Barat.
Selanjutnya dalam bidang keagamaan
setiap kaum terpecah lagi makin jauh; Orang Melayu beragama Islam, Orang India
beragama Hindu dan Orang Cina Konfusius. Begitu juga dalam memperjuangkan nasib
secara politis setiap kaum bergerak dalam organisasi politis yang ekslusif; MIC
(Malaysian Indian Congress) untuk orang India, MCA (Malaysian Chinese
Association) untuk orang Cina dan UMNO (United Malayan National Organization)
dan PAS (Partai Islam Semalaya). Pada dasawarsa 1960-an sejumlah partai politik
makin berkembang, namun sifat eksklusif per;kauman tetap bertahan dalam dunia
perpolitikan (Goh 1971; Vasil 1972).
Akibat yang paling berpengaruh dari
struktur sosial masyarakat Malaysia yang plural ini adalah dalam bidang
pendapatan di mana ketertinggalan Orang Melayu cukup mencolok. Ketertinggalan
dalam bidang ekonomi ini juga tercermindalam komposisi pemilikan saham dalam
perusahaan swasta modern.
Hubungan perkauman antara warga negara pribumi Melayu dan warga negara
keturunan asing Cina dan India di Malaysia adalah hasil dari penjajahan Orang
Eropa, khususnya Inggris. Penjajah Inggris telah menciptakan situasi yang
kondusif, bahkan boleh dikatakan telah menggalakkan kedatangan migran Cina dan
India ke wilayah Malaysia, tanpa memikirkan dampak sosial bagi penduduk
setempat. Salah satu dari berbagai dampak sosial dari kemasukan migran asing
Asia ini adalah berubahnya susunan masyarakat setempat dari masyarakat homogen
menjadi satu “masyarakat majemuk” (Furnivall 1948: 304). Yaitu keadaan Orang
Pribumi, migran Cina dan India dan penjajah Eropa hidup bersama dalam suatu
daerah, tapi kehidupan mereka tidak menyatu.
Dari gambaran di atas kiranya dapat diperkirakan apa yang akan terjadi
bila pembangunan sebuah negara semata-mata ditujukan untuk mendapai pertumbuhan
ekonomi. Yang akan mendapat keuntungan lebih dahulu dan lebih besar adalah
sektor modern perkotaan (manufaktur dan jasa) dan sektor modern pedesaan
(perkebunan besar) yang dikuasai oleh Orang Non-Pribumi. Sementara itu sektor
pertanian tradisional yang digeluti oleh Pribumi Melayu tetap tertinggal di
belakang. Situasi ketidakseimbangan perolehan hasil pembangunan ini tentu akan
menimbulkan rasa tidak puas dikalangan Orang Melayu, meskipun tingkat
pencapaian pembangunan ekonomi Malaysia secara umum sangat baik.
Sementara itu diketahui sampai 1970 Malaysia menjalankan sistem politik
yang lebih dekat ke demokrasi liberal yang diturunkan dari Inggris, yang
memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk menyatakan pendapatnya. Akhir nya
puncak rasa ketidakpuasan ini pecah juga pada 13 Mei 1969, beberapa hari
setelah Pemilu diumumkan, dimana Partai Aliansi (gabungan kaum Melayu, Cina dan
India moderat) menderita penurunan suara berat. Dalam peristiwa pertentangan
rasial 13 Mei 1969 ini protagonistnya adalah Melayu melawan non-Melayu.
Akibatnya negara goncang dan ekonomi mandek.
Sebagai konsekuensinya Malaysia harus menata kembali sistem perekonomian
dan perpolitikan mereka. Dalam bidang ekonomi lahir apa yang disebut Dasar
Ekonomi Baru, dan dalambidang politik lahir Rukun Negara (Dasar Negara).
Demikianlah dapat dilihat bagaimana faktor sosiokultural telah mengubah tujuan
dan strategi pembangunan sebuah negara. Kini situasi perkauman selalu menjadi
perhitungan serius dalam menyusun tujuan dan strategi Repelita di Malaysia.
2.2 Strategi
Pembangunan Cagar Budaya Condet
Kasus kedua adalah mengenai kesalahan dalam
menyusun strategi pembangunan, yang pada gilirannya menghasilkan “dilema
pembangunan”. Kasus contoh cukup banyak tapi yang dibahas saat ini adalah kasus
Proyek Cagar Budaya Condet zaman Ali Sadikin (1966-197). Sampai tahun 1970,
Condet yang terletak sekitar 15 km dari pusat kota Jakarta (Monumen Nasional),
masih berada di luar daerah perkotaan, meskipun secara administratif berada
dalam lingkungan DKI Jakarta. Karena tidak ada jalan aspal, listrik dan
berbagai kemudahan perkotaan lain.
Secara sosiologis Condet dapat disebut
pada masa itu sebagai daerah pedesaan yang sebagaian besar penduduknya adalah
Orang Betawi yang hidup sebagai petani. Situasi yang ambigius ini diakui oleh
Pemerintah DKI, bahwa meskipun Jakarta adalah sebuah kota metropolitan namun di
pinggir-pinggirnya secara ekologis, ekonomi, maupun sosial, melingkar daerah
pedesaan. Tahun 1972 dibawah program Pembangunan Masyarakat Desa, Pemerintah
Daerah DKI Jakarta melaksanakan pembangunan jalan raya membelah Condet,
membentang dari stasiun bus Cililitan di utara terus ke Cijantung di selatan
dengan pembangunan jalan aspal setapak yang bercabang ke berbagai penjuru
kampung di Condet. Tujuannya adalah untuk melancarkan pemasaran hasil
pertanian, khususnya buah-buahan, dari Condet ke pusat kota Jakarta.
Dengan pembangunan jalan-jalan ini maka
Condet menjadi terbuka isolasinya dari pusat kota. Penduduk baru dari pusat
kota berbondong-bondong masuk, membeli tanah dan membangun rumah baru di atas
bekas tanah kebun buah-buahan, karena harga tanah disana masih relatif murah
dibandingkan dengan harga di pusat kota. Hal ini mengejutkan pemerintah DKI,
sehingga mereka perlu memberikan perhatian yang khusus untuk daerah Condet ini.
Ketika itulah Pemerintah menyadari bahwa lingkungan Condet sedang dalam proses
kehancuran karena kedatangan penduduk baru dari pusat kota merusak budaya dan
lingkungan alamnya yang awalnya sebuah komuniti yang khas Betawi asli dipenuhi
oleh kebuh buah-buahan menjadi berubah. Pemerintah DKI Jakarta merasa sayang
bila kawasan asli ini menjadi rusak, karena itu pada tahun 1976 dilancarkan
Proyek Cagar Budaya Condet (Jakarta 1978). Tujuan dari proyek ini adalah untuk
mele3starikan Condet sebagai sebuah komuniti yang dihuni oleh penduduk asli
Betawi, yang hidup secara tradisional sebagai petani buah-buahan. Jadi ini
adalah semacam proyek konservasi budaya dan lingkungan alam melalui 6 kegiatan,
yaitu:
-
Pembentukan koperasi
simpan pinjam
-
Pembangunan jalan
raya dan jalan setapak
-
Renovasi rumah
tradisional Betawi
-
Penghijauan
-
Penggalakan kegiatan
kebudayaan
-
Pembangunan industri
kerajinan tangan, kolam ikan dan cara pertanian modern
Hal ini kentara sekali dalam ancaman
Gubernur DKI Jakarta, barang siapa yang memotong pohon dukuh dan salah akan
disunat oleh Gubernur. Di antara kegiatan-kegiatan tersebut di atas, hanya
kelanjutan pembangunan jalan raya dan jalan setapak dan renovasi rumah
tradisional yang berjalan dengan baik. Kegiatan-kegiatan lain tidak begitu
lancar, baik karena kekurangan biaya maupun kurang sambutan dari masyarakat
asli Betawi setempat (Jakarta t.t.).
Dengan makin lancarnya komunikasi antara
daerah pusat dengan Condet dan di dalam lingkungan internal Condet sendiri,
pendatang baru dari pusat kota makin meningkat. Rumah-rumah baru semakin banyak
dibangun di atas bekas kebun buah-buahan. Sementara itu Gubernur Ali Sadikin,
yang katanya akan “menyunat” pelanggar, telah pensiun dari jabatannya pada
tahun 197. Maka akhirnya Condet tidak dapat lagi bertahan sebagai komunitas
asli Betawi yang dipenuhi oleh kebun salak dan dukuh. Condet pada tahun 1982,
ketidak diteliti oleh Amri Marzali untuk kedua kalinya, telah berubah menjadi
semacam komunitas komuter, tempat bermukim penduduk yang bekerja di pusat kota.
Perubahan sosial dan lingkungan alam bersebut telah digambarkan secara lebih
rinci dalam tulisan Marzali (1989a).
Apa yang diuraikan di atas, disebut
dilema pembangunan, yaitu satu kontradiksi antara harapan dan kenyataan, antara
“perubahan yang direncanakan” dengan perubahan yang sesungguhnya terjadi”.
Salah satu faktor penting yang bertanggung jawab atas munculnya dilema ini
adalah cara Pemerintah DKI Jakarta mengabaikan impak dari hubungan antara
sebuah kota yang sedang berkembang seperti Jakarta dengan komunitas-pinggiran
(urban fringe). Ini adalah persoalan sosial.
Jadi strategi Pemerintah DKI membangun
jalan raya dan jalan setapak yang memudahkan perhubungan Condet dengan pusat
kota Jakarta dan perhubungan di dalam lingkungan internal Condet yang bertujuan
untuk memudahkan transportasi hasil pertanian Condet ke pusat kota, maka ini
berarti bahwa Pemerintah DKI telah salah perkiraan. Pemerintah DKI mengabaikan
sifat komunikasi yang dua arah. Dampak yang lebih nyata dan berarti dari
pembangunan sarana transportasi ini adalah justru aliran masuk penduduk dari
daerah pusat kota Jakarta ke Condet. Akhirnya, Proyek Cagar Budaya Condet gagal
mencapai tujuannya.
2.3 Persebaran
Teknologi Tepat Guna
Kasus selanjutnya yang dikemukakan oleh
Amri Marzali bersama tiga orang mahasiswa Antropologi FISIP-UI mengevaluasi
Program Pembangunan dan Penyebaran Teknologi Tepat Guna pada tiga pesantren di
Jawa, yaitu An Nuqoyah di Sumenep, Cipasung di Tasikmalaya, dan Darunnajah di
Kebayoran Lama pada tahun 1983-84 (Marzali dkk. 1984). Program ini melibatkan
LP3ES sebagai koordinator, The Asia Foundation sebagai pemberi dana dan
pesantren-pesantren sebagai pelaksana program di daerah. Di antara
pesantren-pesantren yang terlibat dalam program ini termasuk An Nuqoyah di
Sumenep, Al Asyari di Tebu Ireng, Nurul Jadid di Probolinggo, Maslakul Huda di
Pati, Paleban di Magelang, Darunnajah di Kabayoran Lama, Cipasung di
Tasikmalaya, Sukorejo di Asembagus, Darussalam di Banyuwangi, Termas di Paiton,
Asunniyah di Kencong, Al Ma’hadal Islami di Langitan.
Setelah santri-santri kader dari suatu
pesantri yang terlibat dalam program ini diberi pelatihan cara membuat beberapa
jenis peralatan yang dikategorikan sebagai teknologi tepat guna oleh klien
LP3ES, pesantren tersebut kemudian memilih masyarakat desa ke mana teknologi
tersebut akan diperkenalkan atau disebarkan. Jenis teknologi tepat guna yang
disebarkan antara lain; tungku lorena, fiber semen, bambu semen, pompa tali,
pompa hidram, penjernihan air, pompa kincir angin, biogas, fero semen, kompos,
teknik pemanfaatan pekarangan, peternakan ayam dan kelinci, pertanian jjamur
merang, penetas telur, penjilidan buku dan alat perontok padi dengan tenaga
sepeda. Sebagian dari proyek memperoleh keberhasilan yang memuaskan, seperti
teknologi penjernihan air di Cipasung, tapi sebagian lain kurang memenuhi
harapan. Kekurang berhasilan terjadi karena beberapa faktor, khususnya yang
berhubungan dengan strategi dan pelaksanaan proyek pedesaan.
Salah satu faktor sosial yang
bertanggung jawab dalam kekurang berhasilan tersebut adalah cara memilih lokasi
persebaran yang tidak memperhitungkan hubungan kota dengan desa. Teknoologi
peenetas telur, pertanian jamur merang, peternakan ayam dan penjilidan buku
gagal berkembang di desa-desa karena hasil pekerjaan dari teknologi ini
memerlukan kota sebagai tempat pemasaran produk. Karena terlalu jauh biaya
produksi dan pemasaran menjadi naik karena biaya transportasi. Begitu juga
teknologi pompa hidram, fero semen dan bambu semen gagal berkembang karena
bahan mentah teknologi hanya dapat diperoleh di kota dan memerlukan mobil untuk
mengangkutnya sehingga membuat biaya lebih mahal.
Alat perontok padi yang dijalankan
dengan tenaga sepeda yang diperkenalkan santri-santri Pesantren Darunnajah
kepada petani Pondok Pinang dan Pondok Kacang di Tangerang sukar diterima.
Karena desa-desa tersebut terletak di pinggiran kota, sementara itu
perkembangan perumahan real estate di
daerah tersebut membuat tanah pertanian makin ciut. Tanah pertanian menjadi
kurang subur karena sistem pengairan sudah rusak oleh pembangunan perumahan dan
lingkungan sudah terpolusi. Sementara itu harga tanah terus naik, karena
permintaan akan fasilitas perumahan dan usaha. Semua ini membuat petani
mengalami penurunan semangat kerja dan memilih menjual tanah pertanian untuk
beralih ke lapangan pekerjaan yang bersifat perkotaan seperti pedagang kecil.
Sehingga teknologi apa pun untuk meningkatkan hasil dan efisiensi pertanian
sawah tidak mendapat tanggapan yang positif di daerah tersebut.
Faktor sosiokultural lain yang menghambat
perjalanan program ini adalah apa yang disebut sebagai budaya petani peisan,
atau the subculture of peasantry (Rogers
1969). Masyarakat desa Indonesia yang sebagian besar adalah petani pesain sudah
terbiasa hidup dalam budaya gotong royong, kekeluargaan dan kebersamaan. Di
dalam masyarakat yang seperti itu setiap orang berusaha untuk tidak terlalu
jauh menyimpang dari pola umum. Seseorang tidak baik untuk terlalu kreatif,
berinisiatif, ambisius dalam harta dan pangkat, mendahului dan mengkritik pemimpin
dan sebagainya (budaya anti-enrepreneurial). Pola kebudayaan ini sejalan dengan
pola kepemimpinan desa (lurah dan kyai) bersifat patrimonial. Semua kegiatan
yang menyangkut masyarakat luas harus mendapat lampu hijau dari pemimpin. Hal
yang wajar jika semua inisiatif dan perintah datang dari pimpinan. Semenatara
itu program pengembangan dan penyebaran teknologi tepat guna hanya dapat
berhasil kalau didukung dan disertai oleh para entrepreneur desa. Akibatnya program ini hanya marak pada masa awal
saja, yaitu ketika diselenggarakan proyek percontohan, setelah itu rakyat desa
kembali ke kehidupan semua dengan menggunakan teknologi tradisional.
2.4 Ketegangan
Sosial di Cilegon
Terakhir Amri Marzali ingin
mengungkapkan pengalaman beliau bersama trainee
LP3ES meneliti masyarakat desa di sekitar pabrik waja PT Krakatau Steel,
Cilegon (Marzali 1976). Pabrik waja ini mulai dibangun tahun 1962. Namun akhir
zaman pemerintahan Sukarno 1966, bangunan pabrik ini masih terbengkalai, bahkan
seperti mau ditinggalkan. Tahun 1970, zaman pemerintahan Suharto, hasil kajian
ulang menelurkan keputusan bahwa pabrik waja ini perlu dilanjutkan
pembangunannya. Pada tahun 1974, Amri Marzali dan kawan-kawan melakukan
penelitian sosial pada masyarakat Cilegon di sekeliling pabrik tersebut. Ketika
itu semua bangunan pabrik yang pokok dan mesin-mesin hampir selesai
rekonservasinya.
Hasil penelitian survei yang kami
lakukan dengan sampel yang terdiri dari kepala rumah tangga, anak sekolah dan
pengusaha lokal memperlihatkan bahwa sekitar 80 persen anggota masyarakat
setempat menyambut dengan gembira kehadiran pabrik waja ini. Namun penelitian
tidak hanya melalui kuestioner saja sebagai dasar untuk menarik kesimpulan.
Dilakukan teknik penelitian khas antropologi, yaitu wawancara mendalam dan
observasi partisipasi. Sebagian dari anggota peneliti disuruh nongkrong di
warung-warung kopi, ngobrol di langgar dan pasar dengan penduduk setempat dan
mendatangi pemimpin-pemimpin informal. Hasilnya sungguh mengejutkan, di sini
terungkap bahwa sebagian masyarakat Banten, khusunya para pemuda dan ulama,
sangat merasa kesal dengan cara pabrik waja PT Krakatau Steel membebaskan tanah
penduduk dan mengangkat pegawai. Pembebasan tanah penduduk dilakukan dengan
cara yang dipandang seperti setengah memaksa dan menipu. Sementara itu, cara
pengangkatan pegawai dipandang seperti mengabaikan kepentingan penduduk
setempat, yaitu Orang Banten. Sedangkan kaum ulama mengkhawatirkan efek negatif
dari pabrik ini dalam perkembangan pelacuran.
Ketegangan situasi sosial di Cilegon
pada waktu itu hanya dapat dirasakan oleh sebagian dari anggota peneliti yang
bertugas dengan teknik antropologis. Mereka mendengar langsung ancaman serbuan
kelompok tertentu di kalangan penduduk setempat terhadap pabrik tersebut.
Meskipun hasil survey kuestioner memperlihatkan fakta bahwa sekitar 80 persen
responden menyatakan sikap senang pada pabrik waja ini, proporsi sesungguhnya
masih menjadi tanda tanya, karena jawaban terhadap pertanyaan dengan kuestioner
sangat mungkin mengandung bias, dalam arti responden “terpaksa” menjawab
“senang” karena peneliti adalah mahasiswa dari Jakarta, yang dipandang sebagai
wakil pemerintah pusat. Jadi mereka menjawab “tidak senang” ada kekhawatiran
jawaban tersebut dapat membahayakan diri mereka. Bias juga mungkin datang dari
para peneliti (interviewer) yang pada
waktu itu baru pertama kali mendapat pelatihan penelitian sosial, sehingga
mereka belum menguasai teknik wawancara dengan baik.
Dengan demikian, dua hal dapat
disimpulkan dari pengalaman penelitian ini. Pertama, betapa masih pentingnya
faktor solidaritas etnik (faktor kultural) dalam hubungan sosial di negeri
kita, dan hal ini perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah
jika pembangunan tersebut ingin berjalan lancar. Kedua, betapa pentingnya
teknik penetlitian antropologis (wawancara mendalam dan observasi-partisipasi)
dalam menggali dimensi kultural dalam pelaksanaan pembangunan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari 4 kasus peristiwa pembangungan di
atas, terlihat faktor sosiokultural memainkan peranan yang sangat berarti.
Mengabaikan faktor tersebut dalam berbagai tingkat pembangunan (penentuan
tujuan, pilihan strategi dan pelaksaan proyek pembangunan) dapat mengakibatkan
berbagai dampak yang merugikan, mulai dari kerusuhan rasial yang membawa efek
kepada kemandegan pembangunan (kasus Malaysia), hasil pembangunan yang
bertentangn dengan rencana (kasus Condet), kegagalan-kegagalan proyek (kasus
pembangunan dan penyebaran teknologi tepat guna), sampai kepada rasa tidak puas
penduduk lokal terhadap proyek yang dibangun di daerah mereka (kasus Cilegon).
Meskipun dalam kehidupan yang nyata,
sebagimana yang terlihat dalam kasus-kasus di atas, kedua unsur yaitu struktur
sosial dan sistem kultural, sangat erat berkaitan sehingga sukar memilah yang
satu dari yang lain, namun dalam pekerjaan analisis masing-masing unsur harus
didudukkan pada tempatnya sendiri-sendiri. Ini sesuai dengan anjuran ahli-ahli
sosiologi dan antropologi seperti Talcott Parsons, A.L. Kroeber (1958), C.
Geertz (1957), Victor Turner, Roger Keesing (1989). Persons melihat pembedaan
antar mkedua konsep di atas sebagai suatu yang mutlak tidak dapat dielakkan.
Bahwa struktur sosial adalah berbeda dari kultur, namun saling terkait erat
satu sama lain dalam kehidupan nyata. Geertz menggambarkan hubungan tersebut
sebagai berikut; “Kultur adalah jaringan makna, yang digunakan oleh manusia
untuk menafsirkan pengalaman dan untuk menuntun tindakan mereka; sementara itu
struktur sosial adalah wujud dari tindakan manusia tersebut, ... yaitu jaringan
hubungan sosial. Kultur dan struktur sosial adalah ... abstraksi yang berbeda
dari fenomena yang sama” (1957: 33-34).
Turner lebih jauh mengumpamakan hubungan
antara kultur dengan struktur sosial seperti hubungan antara partitur musik
dengan orkestra. Partitur adalah kultur yang terdiri atas sistem kode yang
penuh makna yang berfungsi memandu penampilan pemain-pemain dengan peranan yang
berbeda-beda tapi tersusun ke dalam satu sistem yang harmonis, adalah struktur
sosial. Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa pandangan di atas mengasumsikan
bahwa kultur adalah variabel independen yang memengaruhi struktur sosial; bahwa
pola perilaku aktor-aktor sosial dipandu, dipengaruhi, dibentuk atau dicetak
oleh kultur. Dalam kasus-kasus yang diuraikan di muka, Amri Marzali mencoba
memilah faktor sosial dari faktor kultural secara sederhana. Mengingat termpat
yang terbatas dalam karangan ini, beliau tidak menguraikan secara rinci
bagaimana faktor sosial berhubungan dengan faktor kultural.
DAFTAR PUSTAKA
Marzali,
Amri. 2005. ANTROPOLOGI DAN PEMBANGUNAN
INDONESIA. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
mohon kritik dan saran yang membangun ya... tq ^_^ (jangan makian, ingat dosa)